
Manokwari, TP – DPR Papua Barat dan Dinas Pendidikan Provinsi Papua Barat membahas Rancangan Peraturan Daerah Provinsi (Raperdasi) tentang Penyelenggaraan Pendidikan Gratis di Papua Barat.
Ketua Komisi V DPR Papua Barat, Demianus E. Rumpaidus mengatakan, ada pembahasan beberapa pasal maupun ayat dalam Raperdasi tentang Penyelenggaraan Pendidikan Gratis.
Merujuk pada poin D lampiran pertama dalam PP No. 106 Tahun 2021 tentang pendidikan, mengamanatkan penyediaan pembiayaan pendidikan diprioritaskan untuk menjamin setiap orang asli Papua mendapatkan pendidikan anak usia dini sampai tingkat pendidikan tinggi tanpa dipungut biaya.
Untuk itu, lanjut Rumpaidus, dirinya meminta segera membangun SMA yang mengakomodir anak Papua yang terkendala dari segi ekonomi. Sekolah ini, ia menegaskan, dikhususkan terhadap mereka dan tidak menerima orang yang kehidupannya sudah di tingkat menenghak atau anak pejabat.
Sementara sekolah negeri dan swasta, tegas dia, tetap harus mengakomodir anak Papua, tetapi yang dikhususkan lagi membicarakan sekolah unggulan terhadap anak Papua yang terlantar akibat kekurangan ekonomi.
Ia menegaskan, anak Papua yang menempuh pendidikan di sekolah swasta, negeri maupun sekolah unggulan, harus merujuk pada lampiran pertama PP tersebut.
“Jadi, poin-poin urgen yang tadi kita bahas adalah SMA dan SMK tetap menjadi urusan provinsi, sekolah unggulan, dan sekolah gratis bagi orang asli Papua,” tandas Rumpaidus kepada para wartawan usai pembahasan raperdasi, di salah satu hotel di Manokwari, kemarin.
Sementara Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Papua Barat, Barnabas Dowansiba, M.Pd mengatakan, pembahasan terkait regulasi sekolah gratis akan dilihat sesuai persyaratan, dimana ketika ada orang asli Papua yang tidak mampu, maka pendidikannya akan digratiskan.
“Kita setuju penyelenggaraan pendidikan gratis bagi anak-anak Papua yang tidak mampu dari sisi ekonomi. Kalau orang tuanya kontraktor, pegawai atau pengusaha, untuk apa kita gratiskan, karena itu tidak masuk logika,” tegas Dowansiba di tempat yang sama.
Ia menambahkan, sesuai kewenangan, pemerintah kabupaten mengurus pendidikan dari usia dini sampai SMP, sedangkan pemerintah provinsi mengurus SMA, SMK, dan perguruan tinggi.
Menurut Dowansiba, pemberian sekolah gratis akan diberikan dengan catatan kabupaten/kota memperbaiki sistem data pendidikan secara baik. Lanjut dia, data siswa dari tingkat RT, RW, kelurahan, distrik, dan kabupaten dengan data riil.
“Ketika peserta didik masuk dari TK ke SD, SMP dan ketika ke SMA atau SMK sampai perguruan tinggi, maka data itu akan dipakai agar ada ukuran bahwa orang-orang yang tidak mampu di Papua Barat ini ada sekian banyak,” tukasnya.
Ditanya indikator pemberian sekolah gratis, jelas Dowansiba, tentu indikator pertama adalah orang tua laki-laki sudah tidak ada dan sudah tergolong yatim piatu, lalu indikator dari sisi penghasilan orang tua.
Sementara soal usulan Komisi V, tandas Dowansiba, akan dilihat dulu seperti apa. Dikatakannya, sudah ada beberapa sekolah unggulan di Papua Barat, baik sekolah keolahragaan maupun Taruna Kasuari Nusantara.
“Nah, sekarang dibicarakan terkait sekolah gratis saja. kita tidak harus membuka sekolah sendiri, karena mereka juga punya hak berbaur dengan yang lain,” katanya.
Dowansiba menambahkan, belum tentu anak-anak berekonomi lemah berkumpul sendiri, mereka mau buat apa, dimana kemauan dan keinginan mereka tidak akan berkembang.
“Teman-teman yang punya kemampuan memiliki pengaruh positif untuk transfer ilmu kepada teman-temannya,” jelas Dowansiba.
Ditanya perihal data pendidikan khusus terhadap orang asli Papua, ia menerangkan, untuk tingkat SMA dan SMK tidak ada masalah, tetapi berbicara data pendidikan secara keseluruhan, di Papua Barat belum ada.
Ia mengutarakan, dengan adanya pembagian kewenangan, maka setiap pemerintahan berjalan sendiri, sehingga pihaknya membentuk aturan agar ada sinkronisasi data pendidikan di antara kabupetan, kota, dan provinsi.
Dirinya menegaskan, selama kehadiran provinsi ini, belum ada regulasi yang mengatur tentang pendidikan di Papua Barat.
“Maka, sekarang kita harus bekerja untuk membentuk regulasi sebagai payung hukum. Persoalan kekurangan, setiap tahun bisa direvisi atau dimunculkan dalam peraturan gubernur (pergub),” tutup Dowansiba. [FSM-R1]