
Manokwari, TP – Sepanjang 2021-2022 ini, terdapat ribuan anak yang mengalami penyakit gagal tumbuh pada anak atau disebut Stunting di Kabupaten Manokwari, Provinsi Papua Barat.
Kepala Bidang Kesejahteraan Masyarakat, Dinas Kesehatan Kabupaten Manokwari, Suharso mengatakan, pada 2021, sasaran pengukuran dan pemantauan pertumbuhan bayi dan balita dari usia 5-59 bulan untuk mendeteksi stunting sebanyak 16.473 bayi atau balita yang tersebar di wilayah 15 puskesmas.
Diungkapkannya, dari sasaran 16.473 bayi dan Balita, sampai Desember 2021, yang tercatat melakukan pemantauan pertumbuhan dengan mendatangi posyandu atau puskesmas sebanyak 55,3 persen atau sebanyak 9.112 bayi dan balita dengan persentase prevalensi Stunting sebesar 14,1 persen atau 1.307 bayi dan balita yang dinyatakan mengalami Stunting.
“Artinya, masih ada 50 persen yang tidak datang melakukan pemantauan pertumbuhan bayi dan balita ke pelayanan kesehatan di tahun 2021,” sebut Suharso kepada Tabura Pos di kantornya, Senin (25/7).
Ia menambahkan, sementara pada 2022, ada 16.000 bayi dan balita yang menjadi sasaran pengukuran dan pemantauan guna mengetahui angka Stunting.
Diungkapkannya, berdasarkan sumber data aplikasi Elektronik Pencatatan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat (EPPGBM) dari setiap puskesmas sampai 27 Juni 2022, persentase bayi dan balitya yang melakukan pemantauan dan pertumbuhan sebesar 42,1 persen atau 7.650 bayi dan balita dari sasaran 16.000 bayi dan balita.
Ia merincikan, hasil pemantauan pertumbuhan dari 7.650 bayi dan balita, sebanyak 1.128 bayi dan balita atau 14,7 persen yang mengalami Stunting.
“Kita tidak dapat mengestimasi, apakah terjadi peningkatan status atau tidak di 2022 ini, karena bayi dan balita yang datang untuk ditimbang, yang banyak ditemukan masalah gizi, sedangkan Stunting itu ada ketegorinya, sehingga kita tidak bisa mengestimasi angka Stunting di Manokwari bagaimana,” jelas Suharso.
Ia mengungkapkan, kategori Stunting dari beberapa indikator yang digunakan, yakni berdasarkan berat badan dan tinggi badan bayi dan balita sesuai umur.
“Berdasarkan berat badan umur itu kita akan ketahui status gizi sangat kurang, kurang, atau normal atau resiko lebih dan yang masuk kategori Stunting adalah indikatornya berdasarkan tinggi badan per umur, sehingga dapat kriteria, apakah sangat pendek, pendek, normal atau tinggi. Indikatornya berbeda-beda,” tandas Suharso.
Sebenarnya, sambung dia, para orangtua yang mempunyai bayi dan balita bisa memantau perkembangan anaknya melalui buku Kartu Menuju Sehat (KMS), karena di KMS ada penjelasan anak masuk kategori Stunting atau tidak.
“Di situ kan ada perbandingan. Kalau tinggi badan di umur sekian, dia berada di garis hijau, kuning atau garis merah. Kalau sudah berada di bawah minus dua sampai minus tiga standar, maka masuk kategori Stunting. Jadi, kita masyarakat awam pun selama kita mau membaca KMS, kita bisa tahu status anak-anak kita seperti apa,” paparnya.
Menurut Suharso, belum tercapainya sasaran pada 2021 akibat minimnya kesadaran orangtua untuk membawa bayi dan balita untuk melakukan pemantauan pertumbuhan di layanan posyandu atau puskesmas.
Apabila datang ke posyandu atau puskesmas, tidak hanya mendapat pelayanan pemantauan pertumbuhan anak, juga akan diberikan imunisasi, konseling, dan PMT untuk perbaikan gizi, dengan harapan sasaran 16.000 bayi dan balita pada 2022 bisa tercapai.
“Kalau kita sudah membuka pelayanan, harapan kami para orangtua yang mempunyai bayi dan balita datang memanfaatkan,” harap dia.
Dia mengimbau para orangtua untuk menyempatkan waktu membawa anaknya minimal 1 bulan sekali untuk melakukan pemantauan pertumbuhan bayi dan balita di posyandu atau puskesmas.
Dijelaskan Suharso, Stunting adalah penyakit akibat dampak kurangnya akumulasi gizi yang diterima anak sejak dalam kandungan sampai usia 2 tahun. Sebab, ia menerangkan, pada usia tersebut merupakan waktu pembentukan dan pertumbuhan otak.
Ia menegaskan, Stunting hanya bisa dicegah dengan memberikan asupan gizi lengkap sejak masa kehamilan sampai usia 2 tahun.
Baca juga:
Risnawati Menjadi Tulang Punggung Keluarga dan Anak Laki-lakinya Terpaksa Putus Sekolah
Ditanya penanganan terhadap bayi dan balita yang mengalami Stunting, Suharso mengatakan, pihaknya sudah melakukannya dengan cara memberikan asupan gizi.
“Jadi, mulai 9 bulan 10 hari sampai usia 2 tahun, betul-betul perbaikan gizinya, sehingga pertumbuhan otaknya bisa mencapai maksimal,” kata Suharso.
Diungkapkannya, berdasarkan data, paling banyak ditemukan Stunting di Distrik Tanah Rubuh sebanyak 32,2 persen atau 69 bayi dan balita dari 214 bayi dan balita yang dipantau dan dilakukan pengukuran pertumbuhan. [SDR-R1]