Manokwari, TABURAPOS.CO – Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Papua Barat masih menemukan adanya indikasi pungutan liar (pungli) dalam proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2023.
Dari hasil monitoring di wilayah Provinsi Papua Barat dan Papua Barat Daya, indikasi pungli hanya terjadi di Manokwari dan ironisnya, temuan ini hampir terjadi di semua tingkatan, mulai PAUD, SD, SMP, sampai SMA.
Kepala Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Papua Barat, Musa Y. Sombuk membeberkan, Ombudsman belum menerima pengaduan terkait proses PPDB 2023, tetapi dari hasil monitoring lapangan, maka Ombudsman segera mengadakan rapat dengan para staf dan menuju beberapa titik yang masih tidak mengikuti edaran pemerintah.
Diakuinya, sesuai monitoring dari Ombudsman, proses PPDB pada 2023 ini belum membaik, dengan artian masih ditemukan indikasi pungutan.
Untuk itu, ia mengaku akan segera memanggil para pihak terkait untuk dimintai klarifikasi dan apabila terpenuhi unsur indikasi pungli, maka Ombudsman meminta segera diselesaikan.
“Kita sudah monitoring, hanya ada di Manokwari masih indikasi. Jadi, kita bertanya-tanya, ini ada apa dengan Manokwari,” kata Sombuk kepada para wartawan di RSUD Provinsi Papua Barat, Kamis (20/7).
Oleh sebab itu, Sombuk mempertanyakan, kapan dibuat peraturan? Apabila peraturan sudah dibuat, seharusnya peraturan disosialisasikan supaya masyarakat dan semua orang bisa mengetahuinya.
Sekaitan dengan temuan Ombudsman tersebut, lanjut dia, lantaran tidak ada perhatian pemerintah untuk dunia pendidikan. Padahal, sambung dia, Ombudsman telah mengingatkan persoalan ini beberapa kali sejak 3 tahun terakhir.
Dikatakannya, terkait temuan ini, Ombudsman masih akan mengundang para pihak untuk meminta klarifikasi, paling tidak mereka mengikuti edaran yang ada dan jika memang peraturannya belum sesuai.
Sebelumnya, tambah dia, Ombudsman telah mengingatkan, jangan sampai terjadi pungutan sebagai syarat masuk. Apabila memang ada kebutuhan sekolah, nanti bisa dibicarakan dengan Komite Sekolah, termasuk seragam dan lain-lain, setelah anak diterima.
Selanjutnya, ungkap dia, persoalan kewajaran. Apabila memang anak harus membayar seragam, setidaknya sekolah bisa membicarakannya lebih awal dan tidak menentukan harga, misalnya Rp. 400.000 atau Rp. 500.000.
Sombuk menerangkan, jika sekolah memang melakukan pungutan, uang itu disimpan di rekening mana? Sebab, jelas dia, apabila uang disimpan di rekening sekolah, maka itu masuk pada pungli, karena tidak ada kewenangan sekolah menyimpan uang masyarakat.
“Kalau kita temukan, kita bisa ambil sikap, diminta untuk diambil langkah-langkah penertiban dari Inspektorat. Kemudian, jika ada indikasi tindak pidana, dipidanakan,” ujar Sombuk.
Disesalkan Sombuk, hal yang perlu dilakukan adalah pengendalian oleh pemerintah berupa regulasi, karena sangat disayangkan, hal ini tidak dilakukan bertahun-tahun.
Dia menambahkan, jika memang ada kebutuhan, itu disalurkan melalui jalur Komite Sekolah, jangan kepala sekolah atau bendahara sekolah yang menerima, karena mereka itu pegawai negeri yang harus tunduk pada aturan disiplin pegawai negeri, termasuk kewenangan menerima uang.
Menurutnya, temuan ini sebagai bentuk ketidakseriusan pemerintah, berdasarkan keterlambatan pembuatan peraturan dan tidak ada ketegasan.
“Jadi seragam itu urusan orang per orang, tidak ada urusan negara di situ. Kami hanya ingin kasih tahu warnanya ini begini bentuknya. Kalau dipaksa beli, silakan beli dan tidak boleh lagi sekolah melakukan pengadaan. Itu bukan urusan sekolah. Ini melampaui kewenangan,” pungkas Sombuk. [AND-R1]