
Manokwari, TP – Dua saksi dihadirkan jaksa penuntut umum (JPU) dalam sidang kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) atau Tindak Pidana Perlindungan Anak (TPPA) terhadap dua anak perempuan berinisial GAA (15 tahun) dan DNW (15 tahun), Selasa, 28 Juni 2022 lalu.
Dalam persidangan yang dipimpin ketua majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Manokwari, Cahyono R. Adrianto, SH, MH, JPU menghadirkan kakak korban DNW berinisial DS dan orang tua korban GAA berinisial S secara virtual dari Pati, Jawa Tengah.
Mengawali persidangan, kedua saksi mengaku tidak mengenali para terdakwa, HS alias Mama Ana, SA alias Celsi, dan NH alias Bunda Rere yang kini duduk di kursi pesakitan.
Menurut DS, setelah terungkapnya kasus ini, dia baru mengetahui jika adiknya yang berusia 14 tahun memakai identitasnya. Di KTP yang diduga dipalsukan tersebut, korban memakai nama dan dan tanggal lahir saksi, sedangkan fotonya tetap foto korban, DNW.
“Saya tidak tahu dia pakai identitas saya. Nanti setelah pulang, baru saya tahu dia pakai identitas saya,” ungkap DS.
Diakui DS, dirinya dan DNW tinggal di rumah yang berbeda dan sifat DNW memang tertutup. Ia mengatakan, adiknya itu pernah meminta dijemput sebelum diketahui berada di Manokwari, tetapi dirinya tidak bisa menjemput korban dengan suatu alasan.
Ditanya apakah saksi mengetahui pekerjaan korban, DS menyebut, DNW mengaku bekerja di Manokwari sebagai LC (wanita yang menemani tamu di ruang karaoke).
Informasi itu juga diperoleh dari ibunya yang berada di Sorong, Papua Barat. “Awalnya dia bilang kerja di toko,” tambah DS.
Dia mengisahkan, adiknya itu memang tinggal bersama mbahnya sejak kecil atau berusia 5 tahun. Sedangkan dirinya, sudah tinggal bersama suami dan anaknya setelah berkeluarga.
Soal alasan kepergian adiknya ke Karawang, ungkap DS, korban mengaku untuk menenangkan diri. Ditambahkan DS, sebelum dilaporkan pergi dari rumah, korban sering keluar malam dan nongkrong bersama teman-temannya. Informasi itu diperoleh saksi dari omnya.
Menurut DS, sewaktu korban berada di Manokwari, memang keduanya sempat berkomunikasi dengan video call.
“Waktu video call, dia bilang saya mabuk,” kata DS seraya mengatakan, selama di Manokwari, korban tidak bisa bebas berkomunikasi, karena pemakaian HP-nya dibatasi, hanya waktu tertentu saja.
Namun keterangan saksi bahwa adiknya dalam keadaan mabuk minuman keras (miras), ditepis terdakwa, Mama Ana. Saat itu, lanjut terdakwa, anak DNW menelpon dalam keadaan mabuk.
“Bukan berarti mabuk miras. Saya jemput di Bandara (Rendani, red), dia dalam keadaan mabuk kendaraan,” kilah terdakwa yang beralasan kemungkinan korban mabuk kendaraan setelah perjalanan menumpang pesawat dari Jakarta ke Manokwari.
Namun, keterangan Mama Ana dibantah DS lagi. Ditegaskan DS, adiknya itu bukan mabuk kendaraan, tetapi mabuk miras.
“Dia juga pegang dan tunjukkan uang, jadi bukan mabuk kendaraan, tapi mabuk miras sesuai di video call itu,” tegas DS membantah alibi Mama Ana.
Ditanya apakah dalam kasus ini, pihak keluarga pernah mengajukan restitusi melalui LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban), DS mengaku kurang mengetahuinya. “Mungkin lebih ke ibu,” jawab DS.
Sedangkan ayah dari GAA, mengatakan, dirinya sempat berusaha mencari anaknya, tetapi tidak ketemu. Namun, kata dia, anaknya itu sempat mengirim pesan dan mengaku pergi ke rumah temannya.
Ditanya kapan mengetahui GAA sudah ada di Manokwari, S menceritakan, setelah anaknya sampai di Manokwari, dia sempat menghubunginya.
“Dia telpon saya. Dia minta pulang, pulang. Dia bilang saya di Papua, pak. Akhirnya, saya membuat laporan polisi ke Resort Pati,” ungkap S yang menyebut anaknya masih berusia 15 tahun dan belum mempunyai KTP.
Saksi S membeberkan, ketika anaknya di Papua, GAA dan DNW sempat menghubunginya dengan video call sambil menangis.
“Setelah itu saya lapor polisi. Waktu video call, saya bilang coba ndok, serlok lalu dikirimkan serlok,” ungkap ayah korban seraya mengaku tidak tahu pasti bagaimana cara anaknya bisa sampai ke Papua dan anaknya membawa KK (kartu keluarga) setelah korban kembali dari Manokwari.
Ditanya penasehat hukum Mama Ana, Metuzalak Awom, SH, saksi mengatakan, informasi yang diterimanya, GAA dan DNW belum dipekerjakan. Diakuinya, Mama Ana pernah berkomunikasi dengan keluarga dan meminta maaf. “Pernah sekali,” katanya.
Dicecar penasehat hukum kedua terdakwa lain bahwa anaknya sempat mengikuti perkumpulan anak-anak punk, saksi menegaskan, dia tidak mengetahui anaknya sempat keluar selama 3 bulan mengikuti anak-anak punk. “Keluar tapi tidak pernah nginap,” tegas S.
Disinggung soal uang Rp. 19 juta, ia mengaku pernah menerima uang Rp. 19 juta untuk membeli sepeda motor untuk anaknya supaya bisa kembali bersekolah. Belakangan dikabarkan uang tersebut diberikan suami dari terdakwa, Celsi.
Ayah korban juga tidak menampik bahwa dirinya pernah mengajukan restitusi melalui LPSK. Bahkan, ungkap saksi, dirinya pernah berniat menjual rumah seharga Rp. 250 juta untuk menjemput GAA di Papua.
Kedua terdakwa, Celsi dan Bunda Rere tidak mengajukan keberatan atas keterangan kedua saksi, DS selaku kakak korban DNW dan S selaku ayah dari korban GAA.
Selanjutnya, ketua majelis menutup persidangan dan akan dilanjutkan, hari ini, Selasa (6/7) dengan agenda masih pemeriksaan saksi yang akan dihadirkan JPU, Joice E. Mariai, SH, MH.
Berdasarkan catatan Tabura Pos, kasus ini terbongkar setelah pihak keluarga korban membuat laporan polisi ke Polres Pati. Menindaklanjuti laporan itu, Polda Papua Barat pun mendatangi Lokalisasi 55 Maruni dan menemukan kedua korban.
Kasus ini sempat menjadi sorotan Ketua Umum Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait ketika berkunjung ke Manokwari. Pasalnya, kedua korban anak perempuan itu diduga sempat diperdagangkan atau dipekerjakan di Lokalisasi 55 Maruni, Agustus 2021 silam.
Sebelumnya, Humas Pengadilan Negeri (PN) Manokwari, Markham Faried, SH, MH mengakui, kedua terdakwa (SA alias Celsi dan NH alias Bunda Rere) berstatus tahanan rutan, sedangkan Mama Anak sudah mengajukan pengalihan tahanan dari tahanan rutan ke tahanan rumah.
“Alasannya sakit. Permohonan pengalihan penahanan sudah dikabulkan tadi dalam persidangan, karena alasan sakit itu juga ya. Bukan penangguhan, tetapi pengalihan dari status tahanan rutan ke tahanan rumah,” ujar Faried, Selasa, 21 Juni 2022.
Disinggung apakah penyakit yang diderita Mama Ana tergolong kronis, sehingga permohonannya dikabulkan majelis hakim, ia mengaku tidak melihat permohonan secara detail, tetapi itu sudah ada dalam surat permohonannya.
“Ada kok. Ada juga surat riwayat kesehatan dan surat keterangan dari rumah sakit. Memang riwayat terdakwa itu punya penyakit,” kata Faried.
Dirinya menambahkan, di tingkat penyidikan juga hanya 2 terdakwa yang berstatus penahanan rutan (SA alias Celsi dan NH alias Bunda Rere), sedangkan 1 terdakwa (HS alias Mama Ana) tidak ditahan atau tahanan rumah.
“Itu juga bisa dilihat di register penahanan. HS alias Mama Ana, status penahanan dialihkan dari tahanan rutan ke tahanan rumah terhitung tanggal 21 Juni 2022,” rinci Faried.
Dalam dakwaannya, JPU menuntut ketiga terdakwa dengan dakwaan kesatu, Pasal 2 Ayat 1 jo Pasal 17 jo Pasal 48 Ayat 1 UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang jo Pasal 55 Ayat 1 Ke-1 KUHPidana.
Kedua, Pasal 83 UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 55 Ayat 1 Ke-1 KUHPidana.
Untuk ancaman hukuman terhadap para terdakwa, ungkap Humas PN, ancaman hukuman antara 3 sampai 15 tahun pidana penjara disertai denda.
“Untuk Undang-undang Tindak Pidana Perdagangan Orang itu maksimal Rp. 600 juta. Kalau Undang-undang tentang Perlindungan Anak dendanya minimal Rp. 60 juta dan maksimal Rp. 300 juta. Itu untuk kedua undang-undang yang didakwakan,” pungkas Faried. [HEN-R1]