
Manokwari, TP – Ratusan warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIB Manokwari sebagian besar adalah orang-orang usia produktif. Sehingga sangat disayangkan, karena berdampak pada nilai kompetitif dengan bangsa lain.
Selain itu, dengan terus bertambahnya warga binaan di Lapas tentu berdampak juga pada Negara karena tidak bisa bekerja mencari nafkah. Dan, sebaliknya selama di dalam penjara menjadi tanggungan Negara karena harus mencukupi kebutuhan konsumsi para warga binaan.
Untuk itu para penegak hukum baik dari Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan bisa menggunakan Restorative Justice (RJ) sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang masing-masing ada otoritasnya sehingga diharapkan bisa berdampak dengan isi di Lapas.
“Melihat hal itu, dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) seyogyanya tidak mengharapkan sebanyak-banyaknya orang di penjara,” ucap Kepala Lapas (Kalapas) kelas IIB Manokwari, Yulius Paath kepada Tabura Pos di kantornya belum lama ini.
Menurut Paath, perlu adanya konsep pembinaan mengeluarkan mereka sebanyak-banyaknya seperti asimilasi rumah misalnya. Sehingga jika hukuman yang sudah sesuai ketentuan maka setengah dari masa pidananya bisa di jalani di luar, dan tentunya sesuai prosedur yang tepat.
Jika tidak memenuhi syarat asimilasi rumah, Paath mengatakan, yang dua per tiganya bisa diberikan bebas bersyarat, ada cuti bersyarat. Selain itu ijin-ijin lain juga diberikan, untuk memulihkan dalam rangka RJ sesuai kontkes kewenangan Kemenkumham.
“Kita harap masyarakat juga melihat itu, jangan semua di presure, kalau kita mendapatkan pressure di Lapas untuk bergerak tidak bisa itu juga berdampak, kalau berdampak tidak aman di daerah maka semua terganggu. Itu diharapkan dari semua masyarakat paling tidak membantu kita dalam melaksanakan fungsi kemasyarakatan. Memang di satu dua institusi ada kelemahan tapi kalau di tindak kita atasi bersama, jangan kita saling menghujat, saling menjatuhkan,” ucap Kalapas.
Kalapas juga berharap, penanganan perkara penegak hukum lain dengan perangkat hukumnya, setidaknya bisa memilah, bahwa penjara adalah ultimun meremedium atau upaya terakhir untuk penegakkan hukum. Sehingga, tidak semua harus berujung di penjara. Misalnya, jika hanya perkelahian, dan penghinaan bisa dilakukan dengan RJ atau kearifan lokal atau misalnya hukum adat yang tidak harus dilanjutkan.
“Jadi RJ di Kepolisian ada Perkapolri, Perjagung sudah ada RJ juga untuk pidana dewasa, kalau pidana anak kan sudah ada, kemudian Mahkamah Agung (MA) juga sudah mengeluarkan Perman-Nya bagaimana caranya supaya bisa dipilah mana yang dilanjutkan mana yang tidak. Jadi tidak semua harus melalui pidana penjara, artinya agar kita ada nilai kompetitif dengan bangsa lain, karena yang dipenjara ini umumnya orang-orang produktif,” tandasnya. [AND-R3]