
Bintuni, TP – Kasus malaria di Kabupaten Teluk Bintuni tahun 2022 naik atau meningkat menjadi 161 kasus. Capacity Building Tim EDAT Kabupaten Teluk Bintuni, dari International SOS, Dr Yuriko Limmade, menilai, penyebab terbesar penularan malaria berasal dari populasi khusus yaitu, perambah hutan yang kebanyakan dari luar Bintuni.
Dia mengungkapkan, kasus malaria yang disebabkan dari perambah hutan hingga bulan Juni tahun 2022 yaitu, sebanyak 141 kasus dan pada 2021 sebanyak 155 kasus. Jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya justru lebih rendah.
“Alasan itulah kita memilih fokus menanggulangi penularan malaria dari populasi khusus penyebab kasus malaria di daerah ini mengalami peningkatan. Dengan meningkatnya kasus malaria yang dibawa oleh orang dari luar Bintuni melalui populasi khusus tersebut menyebabkan kasus lokal orang tertular di Bintuni sendiri juga meningkat. Dibandingkan dengan tahun-tahun lalu kasus lokal sampai bulan Juni 2022 ada 61 kasus, tahun lalu malah dibawah 50 kasus itu menunjukkan adanya peningkatan kasus lokal,” ungkapnya kepada media ini usai digelarnya pertemuan lintas sektor dalam rangka mengeliminasi malaria di Kabupaten Teluk Bintuni pada tahun 2023 mendatang, belum lama ini.
Yuriko menjelaskan, penderita malaria di Bintuni semuanya usia produktif yang lokasinya paling banyak di wilayah Top 5 yang meliputi Fafurwar, Tembuni, Kuri, Manimeri dan Bintuni. Dimana, yang paling banyak terkena malaria adalah para perambah hutan yang populasi pekerjanya ada 50 persen terkena malaria.
Lanjutnya, mengungkapkan, jika dilihat populasi khusus daerah Top 5, para perambah hutan 55 persen, kalau distrik Kuri itu special ada anak-anak dan ibu-ibu karena merupakan perbatasan dengan lokal lain.
Sedangkan dia area Top 4 perambah hutannya tinggi, dimana kalau di Bintuni 10 orang positif malaria maka kurang lebih ada 5 orang adalah perambah hutan dan 1 orang buruh proyek seperti, pekerja infrastruktur jalan, rumah, jembatan dan lainnya.

Sedangkan, di daerah Top 5 yaitu Fafurwar, Kuri, Tembuni, Bintuni dan Manimeri yaitu dari 10 orang yang terinfeksi malaria maka 7 adalah perambah hutan, sehingga perambah hutan ini disebut populasi khusus.
Populasi khusus adalah kelompok masyarakat yang mempunyai resiko lebih tinggi terkena malaria dibanding masyarakat umumnya. Makanya, pihaknya fokus melakukan pencegahan penularan dari populasi khusus ini terlebih dahulu dengan melakukan pemeriksaan sekaligus pengobatan.
“Kita punya lokal-lokal ini banyak yang tinggal di sekitar lokasi dimana pupulasi khusus ini melakukan aktifitasnya dalam mengeloah kayu, dengan dengan diketahuinya terjadinya peningkatan malaria maka itu bisa cegah pada kelompok lokal.
Misalnya prusahaan kayu atau HPH yang ada di kampung Tirasai ini memiliki EDAT yaitu pencarian kasus dengan pengobatan standar yang dilakukan di Bintuni. Dimana EDAT sudah ada sehingga peningkatan malaria yang terjadi di tahun 2021 sampai bulan Juni 2022 dilakukan pemeriksaan rutin di sana sehingga setiap kasus malaria meningkat itu langsung turun kembali,” jelasnya.
Lanjutnya, berbeda dengan kasus malaria yang ada di Tembuni selama ini tidak ada kasus malaria yaitu nol terus disebabkan selama ini tidak ada pemeriksaan rutin di perusahan kayu yang ada di sana.
“Tiba-tiba di bulan Desember 2021 karyawan perusahaan kayu pada turun mungkin mau libur dan lain-lain dan itu kebanyakan orang baru atau orang dari luar Bintuni. Sehingga pada bulan Januari baru penyakit malaria yang dibawa dari karyawan-karyawan itu meledak.
Hal itu terjadi karena selama ini tidak ada pemeriksaan rutin. Setelah kita melakukan koordinasi dengan pihak Puskesmas Tebuni untuk melakukan pemeriksaan rutin di perusahaan tersebut baru kemudian kasus malaria yang ada di sana mulai turun,” jelasnya.
Oleh sebab itu, kata dia, untuk melakukan pencegahan penularan malaria sangat penting bagi orang-orang baru yang datang dari luar dan bekerja di perusahaan kayu diperiksa melalui puskesmas dilakukan pemeriksaan rutin setiap 3 bulan sekali.
Pihaknya berharap, kedepan adanya pemeriksaan malaria rutin (PMR) kepada semua kelompok populasi khusus yang masuk di Bintuni dan ketika mereka baru masuk langsung dilakukan pemeriksaan malaria di populasi tersebut terlebih dulu.
Setelah itu, setiap 3 bulan sekali dilakukan pemeriksaan lagi kepada mereka agar tidak terjadi penularan di kelompok lokal.
Dia mengaku, sudah menyampaikan itu kepada pihak Dinas PUPR maupun Kantor Cabang Dinas Kehutan Bintuni kalau bisa harus ada regulasi penanganan malaria yang didukung oleh instansi lainnya untuk melakukan pemeriksaan malaria bagi setiap orang baru yang datang ke Bintuni dan selanjutnya setiap 3 bulan dilakukan pemeriksaan.
“Kami berharap dengan adanya pemeriksaan rutin kepada populasi khusus ini maka mereka dapat tercegah dari malaria atau tidak kena malaria. Sehingga masyarakat disekitarnya yaitu kelompok lokal juga tidak ada yang malaria karena tidak ada penularan. Dan kedepannya apabila pemeriksaan rutin ini berjalan dengan baik maka diharapkan kabupaten Teluk Bintuni bisa mencapai eliminasi malaria mulai tahun 2023,” jelasnya.
Menurutnya, puskesmas di Bintuni tahun ini sangat aktif sekali mencari kasus malaria di masyarakat. Ada atau tidak ada kasus malaria mereka tetap turun ke masyarakat di kampung-kampung melakukan pemeriksaan malaria dan targetnya setiap tahun 12 persen penduduk kampung itu diperiksa malaria.
Dia menambahkan, di Teluk Bintuni paling tinggi malaria terjadi di Fafurwar dan saat ini gambaran kesakitan malaria dalam hal ini annual parasite insidence (API) malaria Kabupaten Teluk Bintuni berada di 2,2 yang artinya dari 1000 orang di kabupaten Bintuni ada 2 orang yang terkena malaria.
BACA JUGA : https://taburapos.co/2022/08/02/tim-eliminasi-malaria-gelar-pertemuan-lintas-sektor-cegah-lonjakan-malaria/
“Kabupaten Teluk Bintuni saat ini berada di urutan 8 tingkat kesakitan malarianya dari 12 kabupaten dan 1 kota di Provinsi Papua Papua Barat,” jelasnya. [ABI-R4]