Manokwari, Taburapos.co – Sepanjang Januari-Juli 2022, Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Satreskrim Polres Manokwari menerima 84 laporan yang didominasi 44 laporan terkait kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Namun, tentu jumlah ini masih lebih kecil dibandingkan jumlah kasus yang terjadi di masyarakat.
Kanit PPA, Satreskrim Polres Manokwari, Ipda Deviaryanti mengakui, kekerasan terhadap perempuan paling banyak terjadi dalam rumah tangga, sedangkan anak paling banyak menjadi korban eksploitasi seksual.
Ironisnya, kata dia, para pelaku ternyata orang-orang terdekat, keluarga, bahkan orangtuanya sendiri. Diakuinya, tidak sedikit laporan yang diterima korban baru dilaporkan setelah beberapa kali mengalami perlakuan kekerasan.
Menurut dia, pemicunya berbeda-beda, ada akibat pengaruh minuman keras (miras), faktor ekonomi, cemburu, bahkan ada beberapa yang hanya masalah sepele.
Ia memaparkan, masalah kekerasan ini cukup mengkhawatirkan, tetapi sudah seperti tradisi dan budaya yang umumnya biasa terjadi, karena ada beberapa laporan yang diterima, tidak sedikit korban yang hanya meminta dimediasi, bahkan mencabut laporan dan enggan dilanjutkan ke proses hukum.
Hal tersebut, tambah dia, tidak berbeda dengan kasus eksploitasi seksual terhadap anak, misalnya kasus pencabulan. Oleh sebab itu, ia menegaskan, dibutuhkan upaya bersama untuk mencegah dan menanganinya.
Deviaryanti berharap para korban dan keluarga tidak segan melaporkan kasus kekerasan dan eksploitasi seksual yang terjadi. Di samping itu, kata dia, korban dan keluarga yang sudah melaporkan kasus yang dialaminya, tidak mudah mengambil langkah penyelesaian secara kekeluargaan.
“Jangan masalah-masalah itu dibiakan terus terjadi, sehingga terkesan sudah menjadi tradisi atau budaya,” kata Deviaryanti kepada Tabura Pos di Polres Manokwari, Senin (1/8).
Sekaitan dengan penanganan kasus yang ditempuh dengan restorative justice, kata Deviaryanti, Unit PPA juga terkadang dilema. Sebab, jelas dia, pihak korban sendiri yang meminta, tetapi sesungguhnya itu tidak disarankan, sehingga seharusnya ada efek jera terhadap para pelakunya.
Sementara Kapolres Manokwari, AKBP Parasian H. Gultom mengatakan, fenomena masalah kekerasan terlebih khusus kasus eksploitasi seksusal terhadap anak, jumlahnya jauh lebih besar dibandingkan jumlah kasus yang dilaporkan, begitu pula kasus kekerasan lain, baik verbal dan non verbal.
Dirinya mengapresiasi korban yang berani melapor untuk ditangani lebih lanjut. Untuk itu, Kapolres meminta masyarakat, siapa pun yang mengalami kekerasan, tidak perlu takut atau merasa khawatir untuk melaporkan, meski diancam pelaku.
“Tidak hanya polres, polsek pun setidaknya sudah menyampaikan informasi adanya perbuatan itu dan kami dari Polres Manokwari, akan diteruskan ke polsek jajaran untuk menindaklanjuti setiap laporan yang terkait KDRT atau adanya perbuatan lain terhadap anak di bawah umur,” terang Gultom kepada para wartawan di Polres Manokwari, Senin (1/8).
Dia memandang fenomena ini sangat krusial dan menjadi penting, karena masyarakat sebagai korban atau saksi, masih banyak yang takut melapor, karena kemungkinan berkaitan budaya atau tekanan dengan kejadian yang dialaminya.
Namun, kata Gultom, terlepas apapun alasannya, masyarakat diimbau berani memberikan laporan atau setidaknya memberikan informasi atas perbuatan kejahatan yang diterimanya, baik oerorangan, kelompok atau keluarga terdekat.
“Ironi, sudah menjadi korban tindak kejahatan, tetapi tidak berani melaporkan,” katanya.
Ia mengungkapkan, penanganan secara restorative justice dilakukan untuk kejadian yang bersifat atas permintaan korban, seperti kasus KDRT, karena penyelesaian hanya bisa dilakukan jika ada permintaan dan kesepakatan di antara korban dan pelaku.
Baca juga: Kementerian PUPR Terima Usulan 5 Program Tim Percepatan Pembangunan Manokwari
Namun, tegas Kapolres, untuk kasus yang bersifat memang harus ditindaklanjuti, tetap disidik dan diproses sampai akhir.
Ia menerangkan, dalam penanganan perkara, hal paling utama dan pertama adalah bagaimana melanjutkan setiap perkara yang ditangani sampai selesai, dalam hal ini sampai persidangan sampai putusan sejak diterimanya laporan.
“Tujuan utama dari proses penyidikan untuk membuat efek jera dan menindaklanjuti perkara sampai ke tahap selanjutnya, sidang. Apabila ada upaya mediasi, itu datangnya bukan dari penyidik, tetapi dari para pihak, baik korban maupun pelaku,” katanya.
Ditegaskan Kapolres, pintu penanganan restorative justice itu karena tidak semua harus sampai ke persidangan, tetapi ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi. Lanjut dia, apabila ada satu saja yang tidak terpenuhi, penyidik tidak akan menyelesaikan dengan cara restorative justice.
Hakikatnya, ia mengatakan, penyelesaian secara restorative justice untuk mengembalikan hak-hak para korban.
“Misalkan suatu perkara yang dilaporkan, kemudian korban dan pelaku kembali datang untuk melakukan mediasi atau penyelesaian, maka penyidik akan melakukan assessment atau menilai bahwa syarat untuk dilakukan RJ sudah terpenuhi atau tidak. Apabila tidak, tentu kita akan menolak untuk RJ,” klaim Gultom. [AND-R1]