Dituntut JPU 2 Tahun Pidana Penjara, Denda Rp. 2 Miliar Subsider 6 Bulan
Manokwari, TABURAPOS.CO – Jaksa penuntut umum (JPU) telah membacakan tuntutan terhadap keenam terdakwa penambangan emas tradisional kelompok ‘kaki abu’ di Pengadilan Negeri (PN) Manokwari, Selasa, 6 September 2022 silam.
Pembacaan tuntutan itu, dilanjutkan dengan pledoi lisan dari penasehat hukum keenam terdakwa, Paulus K. Simonda, SH dan masing-masing terdakwa, yaitu: JT, PHB, AT, DLM, SH, dan MB diiringi isak tangis, hampir semua yang menghadiri persidangan.
Di hadapan majelis hakim PN Manokwari yang diketuai, Markham Faried, SH, MH, JPU, Ryan Ardiansyah, SH menegaskan, para terdakwa ini terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ‘melakukan penambangan tanpa izin sebagaimana dalam dakwaan kedua jaksa penuntut umum’.
Selanjutnya, menjatuhkan pidana terhadap para terdakwa dengan pidana penjara selama 2 tahun dikurangkan dengan masa penangkapan dan masa penahanan yang telah dijalani para terdakwa.
“Dan, pidana denda sebesar Rp. 2 miliar dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan,” kata JPU.

Selanjutnya, memerintahkan agar para terdakwa tetap ditahan atau tetap berada dalam tahanan, menetapkan barang bukti berupa butiran-butiran emas yang dirampas untuk negara serta menetapkan agar para terdakwa dibebani untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 5.000.
Menanggapi tuntutan terhadap 6 penambang emas tradisional ini yang terlalu berat, apalagi mereka hanya orang kecil yang bekerja mendulang emas tanpa alat berat, seperti excavator dan hanya mencari butiran-butiran emas untuk menghidupi keluarganya?
JPU menjelaskan, penuntut umum telah mempertimbangkan hal-hal subjektif dan objektif terkait bagaimana berat atau ringannya perkara. Apa yang diperoleh penuntut, klaim Ardiansyah, sudah sesuai fakta persidangan yang diperoleh penuntut umum selama sidang.
Dicecar tentang kendala atau alasan sidang beragenda pembacaan tuntutan yang ditunda berkali-kali, bahkan sampai 4 kali tersebut, tegas JPU, sebenarnya tidak ada kendala.
“Hanya saja JPU-nya berhalangan hadir karena diklat kemarin, dua minggu,” jawab Ardiansyah seraya mengakui bahwa dirinya hanya JPU pengganti dalam perkara keenam penambang emas tradisional ini.
Hal berbeda diungkapkan penasehat hukum keenam terdakwa, Paulus K. Simonda, SH. Ia mengatakan, kliennya ini didakwa Pasal 158 UU No. 3 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, dimana ancaman hukumannya 5 tahun.
“Bagi saya, saya terima, tetapi terima dalam arti, harapan saya bukan nanti putusannya 2 tahun. Saya punya harapan besar, kiranya, majelis yang memeriksa perkara ini dapat mempertimbangkan dari segi kemanusiaan,” pinta Simonda yang dikonfirmasi Tabura Pos di PN Manokwari, belum lama ini.
Untuk itu, Simonda mengaku, dalam persidangan, dia sudah menyampaikan pledoi atau pembelaan secara lisan bahwa di negara ini berlaku bukan hanya azas kepastian hukum semata.
“Bukan hanya corong undang-undang, bukan hanya corong normatif, tetapi kita juga harus bisa lihat dari azas keadilan dan kemanfaatan,” tandas Simonda.
Mengapa, kata Simonda, mereka ini sepatutnya dikasihani dan semua itu sudah disampaikan masing-masing terdakwa di persidangan.
“Saya sendiri pun tidak bisa membantah pledoi mereka, karena itu kewenangan mereka. Tetapi, harapan saya bahwa hakim dapat mempertimbangkan dari segi kemanusiaan,” pintanya.
BACA JUGA: Sebanyak 589 Mahasiswa/i Asal Manokwari Terima Bantuan Pendidikan
Disinggung keenam kliennya ini hanya penambang emas kelompok ‘kaki abu’ yang tidak bekerja memakai alat berat, seperti yang masih terjadi di wilayah Papua Barat ini, tegas Simonda, sebenarnya ini tidak ada keadilan.
“Dengan tuntutan 2 tahun ini, sebenarnya mereka tidak melakukan pendekatan secara segi kemanusiaan. Mereka jaksa ini hanya memfokuskan pada normatif. Mereka hanya memfokuskan hanya pada azas kepastian hukumnya, pasal ini, bunyi ini, hukumannya begini, itu. Tetapi, mereka tidak memfokuskan pada azas kemanfaatannya,” sesal Simonda.
Menurutnya, azas kemanfaatan itu adalah ketika mereka ini dihukum atau dipenjarakan, apa manfaatnya mereka dihukum atau dipenjara, dimana hal itu sama sekali tidak dipertimbangkan dari segi kemanusiaannya.
“Sedangkan, mereka punya anak-anak harus dihidupi, istri mereka juga harus dihidupi,” tukas Simonda.
Apakah keenam kliennya menjadi korban atau dikriminalisasi untuk menutupi hal-hal besar, terutama para permainan atau pengusaha besar yang terus beroperasi?
“Mereka ini kan menjadi tumbal sebenarnya untuk menutupi perkara-perkara yang besar. Pengusaha-pengusaha yang besar, yang sementara ini masih merajalela di lokasi. Jadi, mereka ini dikorbankan, ditumbalkan begitu, agar mungkin, saya tidak tahu ya supaya menutupi yang gede begitu. Jadi, mereka ini tumbal-lah,” kata Simonda, tidak membantah pertanyaan tersebut.
Untuk itu, dirinya pun membenarkan bahwa dalam perkara keenam kliennya sebagai penambang emas tradisional, sesungguhnya tidak ada keadilan dan kemanusiaan.
Berdasarkan catatan Tabura Pos, Selasa, 6 September 2022 lalu, isak tangis mewarnai sidang kasus tambang ilegal terhadap 6 penambang emas tradisional atau tanpa modal dengan agenda pembacaan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU).
Cucuran air mata dari keluarga, pengunjung, dan keenam terdakwa masing-masing berinisial JT, PHB, AT, DLM, SH, dan MB, setelah Paulus K. Simonda, SH selaku penasehat hukum para terdakwa menyampaikan pembelaan secara lisan.
Padahal, para penambang yang terkesan menjadi ‘tumbal’ dari penegakkan hukum di Republik ini, hanya menambang untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga dan tidak memakai alat berat.
Mereka melakukan penambangan emas yang konon sampai sekarang tetap berjalan mulus itu, berbekal wajan, linggis, dan peralatan seadanya, bukan memakai alat berat, seperti excavator yang diduga ‘dipelihara’ oknum-oknum aparat di negeri ini.
Apalagi, di dalam persidangan, mereka ditangkap polisi bukan di saat melakukan penambangan, tetapi dalam perjalanan pulang, setelah melakukan penambangan dengan peralatan seadanya.
Sedangkan dalam pledoinya, para terdakwa secara bergiliran berdiri untuk menyampaikan permohonan. Keenam terdakwa pun mengaku bersalah melakukan penambangan emas tanpa izin dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya lagi.
Mereka pun menyampaikan kegundahan hati dan kegelisahannya secara langsung dengan isak tangis. Ada terdakwa yang mengaku anaknya terpaksa putus sekolah, karena tidak ada lagi biaya melanjutkan pendidikan setelah ayahnya kini berstatus terdakwa itu, ditangkap polisi.
Penangkapan terhadap para penambang emas ilegal kelompok ‘kaki abu’ sebagai tulang punggung keluarga itu, dilakukan tim gabungan, Ditreskrimsus dan Satbrimob Polda Papua Barat dalam perjalanan pulang dari Kali Wariori, Kampung Waserawi, Distrik Masni, Kabupaten Manokwari, April 2022 silam.
Di samping itu, ada terdakwa yang mengaku terpaksa meninggalkan orangtuanya di kampung untuk mencari pekerjaan sebagai penambang emas. Namun, dengan penangkapan ini, mereka sudah tidak mengetahui lagi siapa yang harus menghidupi orangtua, keluarga, dan anak-anaknya.
Untuk itulah, mereka meminta majelis hakim yang memeriksa dan menangani perkara ini bisa memberikan hukuman seringan-ringannya dan seadil-adilnya.
Keenam terdakwa menyampaikan permohonan dengan isak tangis yang tak mampu lagi terbendung. [HEN-R1]


















