Divonis 6 Bulan Penjara, Denda Rp. 50 Juta Subsider 1 Bulan Kurungan
Manokwari, TABURAPOS.CO – Isak tangis dan keharuan kembali mewarnai persidangan beragenda putusan dalam kasus penambangan emas ilegal terhadap kelompok ‘kaki abu’ di Pengadilan Negeri (PN) Manokwari, Selasa (13/9) siang.
Pasalnya, majelis hakim yang diketuai, Markham Faried, SH, MH memberikan hukuman ‘diskon jumbo’ terhadap keenam penambang emas kelompok ‘kaki abu’, yaitu: terdakwa JT, PHB, AT, DLM, SH, dan MB.
Pemberian hukuman ‘diskon jumbo’ terhadap keenam terdakwa lantaran majelis hakim mempunyai pertimbangan lain, berbeda dengan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) Kejati Papua Barat, Fransinka L. Wonmaly, SH.
Sebelumnya, JPU menuntut para terdakwa dengan tuntutan pidana selama 2 tahun, dikurangkan dengan masa penangkapan dan masa penahanan yang telah dijalani para terdakwa.
Selain itu, pidana denda sebesar Rp. 2 miliar dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan.
Meski demikian, majelis hakim tetap menyatakan para terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana melakukan usaha penambangan tanpa izin sebagaimana dalam dakwaan kedua maupun dakwaan alternatif penuntut umum, terhadap para terdakwa.

“Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 6 bulan dan denda Rp. 50 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 1 bulan,” kata ketua majelis hakim.
Selanjutnya, menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan, menetapkan terdakwa tetap ditahan, barang bukti butiran-butiran emas dirampas untuk negara.
“Membebankan kepada terdakwa membayar biaya perkara sejumlah Rp. 5.000,” tambah Markham Faried.
Setelah membacakan satu per satu putusan terhadap para terdakwa, majelis hakim memberikan kesempatan penasehat hukum terdakwa, Paulus K. Simonda, SH, keenam terdakwa, dan JPU untuk menanggapi putusan majelis hakim.
Tentu, putusan yang dianggap sudah memenuhi rasa keadilan terhadap masyarakat, terutama keenam terdakwa di tengah maraknya penambangan emas ilegal di Waserawi yang diduga ‘dipelihara’ oknum-oknum tertentu, tidak disia-siakan penasehat hukum maupun keenam terdakwa.
Paulus Simonda maupun keenam terdakwa berinisial JT, PHB, AT, DLM, SH, dan MB, langsung menyatakan menerima putusan majelis hakim. Sedangkan JPU, Fransinka Wonmaly masih menyatakan pikir-pikir terhadap putusan majelis hakim, apakah akan menerima atau menyatakan banding.
Sebelum menutup persidangan, Markham Faried menegaskan, dengan demikian, putusan ini belum berkekuatan hukum tetap dan masih ada kesempatan para pihak untuk menyatakan sikap, apakah menerima putusan atau mengajukan banding.
Usai Markham Faried mengetuk palu tiga kali menandai berakhirnya persidangan, istri, anak, dan menantu dari para terdakwa langsung menghampiri. Keharuan dan isak tangis tidak tertahankan lagi saat mereka saling berpelukan satu sama lain, meluapkan kegembiraan terhadap putusan majelis hakim yang dianggap sudah sangat memenuhi rasa keadilan terhadap anggota keluarganya.
Namun waktu untuk melepaskan kerinduan dengan anggota keluarga yang kini mendekam di Lapas Kelas II B Manokwari, tidak berlangsung lama, meski mereka sempat berfoto bersama.
Sebab, petugas dari kejaksaan langsung mengarahkan keenam terdakwa untuk kembali ke ruang tahanan sementara di PN Manokwari.
Sebelumnya, di dalam persidangan beragenda tuntutan, penasehat hukum keenam terdakwa mengaku, para terdakwa didakwa Pasal 158 UU No. 3 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, dimana ancaman hukumannya 5 tahun.
“Saya punya harapan besar, kiranya, majelis yang memeriksa perkara ini dapat mempertimbangkan dari segi kemanusiaan,” pinta Simonda.
Dalam pledoinya, ia menyampaikan bahwa di negara ini berlaku bukan hanya azas kepastian hukum semata.
“Bukan hanya corong undang-undang, bukan hanya corong normatif, tetapi kita juga harus bisa lihat dari azas keadilan dan kemanfaatan,” tandas Simonda.
Ditambahkannya, azas kemanfaatan itu adalah ketika mereka ini dihukum atau dipenjarakan, apa manfaatnya mereka dihukum atau dipenjara. “Sedangkan, mereka masih punya anak yang harus dihidupi, istri mereka juga harus dihidupi,” tukas Simonda.
Apakah keenam kliennya menjadi korban atau dikriminalisasi untuk menutupi hal-hal besar, terutama para permainan atau pengusaha besar yang terus beroperasi?
BACA JUGA: Satlantas Polres Manokwari Gelar Bhakti Sosial
“Mereka ini kan menjadi tumbal sebenarnya untuk menutupi perkara-perkara yang besar. Pengusaha-pengusaha yang besar, yang sementara ini masih merajalela di lokasi. Jadi, mereka ini dikorbankan, ditumbalkan begitu, agar mungkin, saya tidak tahu ya supaya menutupi yang gede begitu. Jadi, mereka ini tumbal-lah,” kata Simonda, tidak membantah pertanyaan tersebut.
Sedangkan dalam pledoinya, para terdakwa secara bergiliran berdiri untuk menyampaikan permohonan. Keenam terdakwa pun mengaku bersalah melakukan penambangan emas tanpa izin dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya lagi.
Mereka pun menyampaikan kegundahan hati dan kegelisahannya secara langsung dengan isak tangis. Ada terdakwa yang mengaku anaknya terpaksa putus sekolah, karena tidak ada lagi biaya melanjutkan pendidikan setelah ayahnya kini berstatus terdakwa itu, ditangkap polisi.
Penangkapan terhadap para penambang emas ilegal kelompok ‘kaki abu’ sebagai tulang punggung keluarga itu dilakukan dalam perjalanan pulang dari Kali Wariori, Kampung Waserawi, Distrik Masni, Kabupaten Manokwari, April 2022 silam. [HEN-R1]