Manokwari, TABURAPOS.CO – Paulus K. Simonda, SH, selaku penasehat hukum 6 penambang emas tradisional kelompok ‘kaki abu’ menilai putusan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Manokwari yang diketuai, Markham Faried, SH, MH, sangat luar biasa.
Seperti diketahui, majelis hakim memutuskan keenam penambang emas tradisional berinisial JT, PHB, AT, DLM, SH, serta MB dengan pidana 6 bulan penjara dan denda Rp. 50 juta subsider 1 bulan kurungan, Selasa (13/9) siang.
Hukuman itu tentu jauh lebih ringan dibandingkan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU), yang menuntut keenam terdakwa dengan pidana 2 tahun penjara dan denda Rp. 2 miliar subsider 6 bulan kurungan.
“Saya melihat pertimbangan hakim di sini, mereka melihat dari segi kemanusiaan. Luar biasa hakimnya, karena itulah konstitusi kita yang ada di Indonesia,” tandas Simonda kepada Tabura Pos di PN Manokwari, kemarin.
Menurutnya, dengan putusan itu, berarti hukum tidak hanya berbicara soal hal-hal normatif semata, tetapi juga ada azas lain yang dipakai, yakni azas kemanfaatan dan keadilan.
Diterangkannya, hukum tertinggi di Indonesia adalah konstitusi, lebih tinggi dibandingkan KUHP dengan kata kunci dari konstitusi adalah mufakat dan musyawarah.
“Penyelesaian segala sesuatu dengan mufakat. Dalam mufakat itu sudah menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan antara keadilan, kemanusiaan, dan pendekatan sosiologi,” tambah Simonda.
Ia mempertanyakan, hukuman berat terhadap keenam penambang emas tradisional ini, justru memunculkan pertanyaan, apa sih yang dibuat mereka, sehingga merugikan orang banyak atau bersifat fantastis.
“Kan tidak. Kalau hakim memutuskan tinggi, maka keadilan tidak ada di Republik ini. Hakim juga melihat dari segi kemanusiaan,” katanya.
Dirinya menambahkan, istri dari para penambang emas tradisional ini juga mengaku, mereka juga jarang makan atau tidak makan dalam sehari sesuai pengakuannya.
Hal itu terjadi, lanjut dia, ketika suami mereka mendekam di tahanan semenjak April 2022 lalu, setelah ditangkap tim gabungan, Ditreskrimsus dan Satbrimob Polda Papua Barat dalam perjalanan pulang usai menambang emas.
Di sisi lain, kata Simonda, keluarga para penambang emas tradisional ini hanya tinggal di kos-kosan dan ketika suaminya ditahan, maka sudah 3-4 bulan ini mereka tidak lagi bisa membayar uang kosan.
“Bahkan, ada yang anaknya putus sekolah karena suami mereka sedang menjalani hukuman terkait masalah tambang ilegal ini dan itu disampaikan langsung di hadapan majelis hakim dan jaksa penuntut umum,” papar Simonda.
Dicecar apakah dirinya bisa memberikan garansi jika nantinya mereka telah menyelesaikan masa hukuman, sekitar 1-2 bulan lagi, tidak akan mengulangi perbuatannya, melakukan penambang emas ilegal?
“Saya yakin. Dalam fakta persidangan, dengan ketulusan dan kepolosan mereka di hadapan yang mulia, dengan tangisan dan air mata, saya pastikan mereka tidak akan membuat kesalahan yang sama,” tegas Simonda.
Hal itulah, sambung dia, yang menjadi salah satu pertimbangan yang dimaksudkan konstitusi bahwa tujuan hukum yang utama dan paling utama adalah mufakat.
Disinggung apakah penasehat hukum dan keluarga dari keenam terdakwa sudah merasa puas dengan putusan majelis hakim? Simonda mengatakan, keluarga keenam penambang emas tradisional ini sudah tentu sangat bahagia.
“Mereka merasa terharu sekali dengan putusan yang dibacakan majelis hakim yang mulia. Luar biasa sekali,” tuturnya.
Pada kesempatan itu, ia menyampaikan pesan para istri dari keenam penambang emas tradisional ini, sekaligus mengucapkan terima kasih atas kebaikan, khikmat, dan kebijaksaan yang diambil majelis hakim.
“Mereka katakan, kiranya Tuhan yang membalas setiap kebaikan dan hikmat dalam memutuskan perkara ini. Biarlah Tuhan yang akan membalas apa yang dilakukan majelis hakim ini,” katanya.
Ditegaskan Simonda, putusan majelis hakim ini sudah sangat tepat, apalagi keenam penambang emas tradisional ini adalah korban atau tumbal dan kasus ini sesungguhnya tidak layak dinaikkan ke pengadilan.
BACA JUGA: ‘Kaka Besar’ Digadang-gadang Maju Pilkada Papua Barat 2024
“Di sana itu kan sudah banyak sekali penambang ilegal, dengan jumlah ratusan, bahkan mungkin sudah ribuan orang. Excavator juga, kalau tidak salah sudah ada ribuan ka, ratusan ka, tetapi tidak ditindak,” katanya.
Dengan tebang pilih pemberantasan penambang emas secara ilegal di Wariori, Kampung Waserawi, Distrik Masni, Kabupaten Manokwari, ia menduga pasti ada kongkalikong untuk memuluskan maraknya penambang emas ilegal itu.
“Pasti ada kongkalikong di dalam itu. Makanya, saya jengkel juga. Terus, kenapa pengusaha atau bos-bos besar di lokasi tambang tidak diganggu? Padahal, mereka beroperasi dengan excavator yang sangat banyak sekali,” pungkas Simonda. [HEN-R1]