Sidang berlangsung terbuka untuk umum, sudah jelas wartawan bisa meliput proses persidangan
Manokwari, TABURAPOS.CO – Sikap dan tindakan arogan oknum Panitera Pengganti Pengadilan Militer III-19 Jayapura terhadap 2 wartawan yang sedang melakukan peliputan sidang di peradilan militer, di Pengadilan Negeri Manokwari, Senin (17/10), sangat disayangkan.
Kala itu, kedua wartawan, Henry Sitinjak dari Tabura Pos dan Safwan Ashari dari Tribun Papua Barat sedang meliput sidang kasus penembakan atas terdakwa, Sertu AFFJ yang berstatus pengawal pribadi (walpri) Pangdam XVIII Kasuari terhadap korban, almarhum Rafael I. Balaweling di Kampung Aimasi, Distrik Prafi, Manokwari, 4 Juni 2022 silam.
Sidang dipimpin majelis hakim militer, Kolonel Chk Rudy Dwi Prakamto dan hakim anggota, Letkol Chk A. Fitriansyah dan Mayor Chk Dandi A. Sitompul serta Panitera Pengganti, Kapten Sus Budi Santosa.
Di akhir persidangan yang dinyatakan terbuka dan dibuka untuk umum, oknum Panitera Pengganti memerintahkan stafnya untuk mengambil paksa handphone kedua wartawan, lalu menghapus rekaman video dan foto-foto proses persidangan.
Tidak puas, oknum Panitera Pengganti juga menyita kartu pers dari wartawan Tabura Pos dan meminta identitas diri berupa KTP (kartu tanda penduduk) untuk difoto.
Salah satu praktisi hukum di Manokwari, Abraham Wainarisi, SH mengatakan, dalam sidang militer, memang mempunyai aturan tersendiri. Namun, sambung dia, hal pertama yang harus diketahui terkait status persidangan, apakah bersifat terbuka untuk umum atau tertutup untuk umum.
Apabila pimpinan sidang militer saat itu sudah menyatakan sidang berlangsung tertutup untuk umum, maka sudah jelas wartawan tidak diperbolehkan melakukan peliputan.
Namun, ia menegaskan, jika pimpinan sidang militer saat itu dalam pernyataan pembukaan sidang menyatakan sidang berlangsung dan terbuka untuk umum, maka sudah jelas wartawan bisa meliput proses persidangan.
Wainarisi berpandangan, apabila status sidang militer sudah dinyatakan terbuka untuk umum, lalu ada oknum yang melakukan perampasan handphone, menyita kartu pers, dan KTP ketika sedang meliput, maka oknum itu sudah menunjukkan sikap arogansi dan semena-mena kepada wartawan karena merasa diri sebagai anggota TNI.
“Kalau proses sidang yang terjadi saat itu bersifat umum dan terbuka, maka oknum tersebut sudah melakukan perbuatan tidak menyenangkan, menyalahgunakan kapasitas dan merugikan lembaga pers itu sendiri, sehingga harus ada semacam sanksi dari institusi anggota itu bernaung,” jelas Wainarisi kepada Tabura Pos via ponselnya, Senin (24/10).
Dia berpendapat, baik TNI maupun pers mempunyai dasar hukum dan aturan yang digunakan masing-masing pihak sebagai pijakan untuk menjalankan tugas saat di lapangan.
BACA JUGA: Polres Manokwari Tahan 3 Pejabat NRFPB terkait Kasus Dugaan Makar
“Jika oknum anggota TNI itu melanggar, maka sudah seharusnya mendapatkan sanksi dari institusinya, karena kalau benar terjadi, itu sebuah perbuatan melecehkan wartawan yang kinerjanya sudah diakui dan diatur Undang-undang Pers dan undang-undang lain,” jelas Wainarisi.
Selaku advokat, ia berharap kedua wartawan yang menjadi korban merasa perbuatan oknum TNI tidak menyenangkan, bisa saja mengajukan laporan ke Dewan Pers di Jakarta supaya ada langkah hukum yang tegas.
Di samping itu, tegas Wainarisi, dibutuhkan langkah tegas terkait perkara ini supaya menjadi penegasan kode etik agar setiap institusi atau lembaga bisa saling menghargai maupun profesional dalam menjalankan tugas masing-masing.
“Harus ada langkah hukum yang nyata, kemudian bisa ditendak tegas, sehingga menjadi contoh bagi institusi lain, karena proses yang terjadi saat itu adalah sifatnya umum seperti yang disampaikan oleh pimpinan sidang saat itu,” tutup Wainarisi. [SDR-R1]