Manokwari, TABURAPOS.CO – Tim Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia (PPHAM) Papua Berat di masa lalu telah mengunjungi para korban dan keluarga kasus Wasior Berdarah di Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat.
Ketua Tim PPHAM Papua, Letjen (Purn) Kiki Syahnakri mengungkapkan, tidak hanya mengunjungi para korban dan keluarga, tim juga melakukan focus group discussion (FGD) bersama tokoh masyarakat dan forkopimda Kabupaten Teluk Wondama.
“Tim PPHAM sudah mengunjungi korban dan keluarga korban kasus pelanggaran HAM Berat di Wasior sebanyak 55 orang. Di Wasior, Tim PPHAM melaksanakan FGD yang dihadiri sekitar 41 orang. Tim PPHAM mendapat sejumlah rekomendasi untuk ditindaklanjuti,” ungkapnya dalam FGD di salah satu hotel di Manokwari, Sabtu (5/11).
Menurut dia, Tim PPHAM hadir karena penyelesaian kasus pelanggaran HAM Berat masa lalu tidak kunjung selesai, meski bolak-balik di antara Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Komnas HAM.
Di samping itu, upaya penyelesaian melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) juga sampai saat belum ada kepastian kapan akan terselesaikan.
Untuk itulah, lanjut dia, Tim PPHAM sedang berusaha menyelesaikan masalah ini secara non judicial, tetapi tidak menutup penyelesaian secara yudisial, karena upaya penyelesaian secara yudisial dan upaya penyelesaian melalui rekonsiliasi, tampaknya masih panjang, sedangkan para korban perlu segera mendapatkan sentuhan dari pemerintah.
Diungkapkannya, tugas Tim PPHAM melakukan pengungkapan, bukan investigasi. Pengungkapan, jelas dia, dimaksudkan untuk medata para korban dan memvalidasi korban dan apa yang menjadi aspirasi para korban.
Dikatakannya, upaya penyelesaian non judicial pelanggaran HAM Berat masa lalu berdasarkan data dan rekomendasi yang ditetapkan Komnas HAM sampai 2020.
“Kami bekerja berdasarkan rekomendasi Komnas HAM. Ada 13 kasus yang direkomendasikan Komnas HAM, mulai dari barat itu di Aceh ada 3 kasus, lalu ada di Lampung, kemudian di Jakarta ada 4 kasus dan di Papua ini ada 3 kasus sebenarnya, yakni Paniai, Wamena, dan Wasior. Paniai sekarang sedang berjalan lewat yudisial, peradilannya sedang berjalan di Makassar,” rincinya.
Lanjut Syahnakri, tugas dari Tim PPHAM adalah merekomendasikan pemulihan bagi korban atau keluarganya, seperti rehabilitasi fisik, jaminan kesehatan, beasiswa, dan kebutuhan lain sesuai aspirasi yang disampaikan korban.
Bukan itu saja, sambung dia, Tim PPHAM juga bertugas merekomendasikan langkah-langkah, bukan hanya pemulihan, tetapi juga langkah pencegahan agar pelanggaran HAM serupa tidak terjadi lagi di masa akan datang.
“Bagi saya secara pribadi, ini sebenarnya jauh lebih penting dari pada pemulihan. Oleh karena itu melalui FGD ini, kita perlu mendiskusikan ini semua,” katanya.
Sementara Asisten Tim PPHAM, Agus Sumule menyebut, Tim PPHAM telah melakukan kunjungan ke Wasior selama 2 hari.
Diterangkannya, dari kunjungan ke Wasior, Teluk Wondama, ada beberapa catatan dan temuan, baik melalui wawancara dengan para korban maupun FGD, diantaranya para korban atau keluarga korban mengkonfirmasi bahwa laporan yang dikeluarkan Komnas HAM tentang rangkaian peristiwa dan data korban, diperoleh beberapa nama korban yang belum tercantum dalam laporan Komnas HAM.
Dalam pertemuan tersebut, ungkap Sumule, para korban menyampaikan kekecewaan yang mendalam, karena peristiwa yang terjadi pada 21 tahun lalu, seperti baru memperoleh perhatian dari pemerintah.
Ia mengutarakan, para korban dan keluarga menyebut, selama ini sudah beberapa kali dikunjungi para pihak atau non pemerintah, seperti lembaga swadaya masyarakat yang mengumpulkan data, tetapi solusi konkrit tidak diperoleh selama ini.
“Pada umumnya mereka minta perhatian dan tanggung jawab pemerintah. Mereka minta penggantian rumah-rumah yang dibakar, anak-anak korban diangkat menjadi PNS, masuk TNI dan Polri. Mereka juga bicara soal pekerjaan bagi anak-anak mereka yang selama ini tidak bisa bersekolah atau tidak bisa memiliki ijazah. Mereka juga menyampaikan perlu ada denda adat dalam bentuk uang tunai dan jaminan pendidikan bagi anak-anak mereka,” ungkap Sumule.
Bahkan, jelas Sumule, keluarga korban meminta penjelasan mengapa sampai menjadi sasaran operasi dari aparat saat itu. Padahal, mereka tidak mengetahui atau tidak terlibat dalam peristiwa pembunuhan sejumlah anggota Brimob, termasuk hilangnya 6 puncuk senjata api.
“Tapi yang tidak kalah pentingnya, ada juga di antara para korban yang meminta agar proses yudisial tetap diberlakukan,” tukasnya.
Dirinya menambahkan, rekomendasi sementara yang disusun tim, diantaranya mengusulkan agar diberikan tanda nyata solidaritas ke korban dan keluarganya dari pemerintah dalam waktu dekat, karena ini menjelang Natal 2022, pemulihan nama baik korban ini.
Selain itu, lanjut dia, akan dilakukan pendataan terkait permintaan pembayaran dan melalui kerjasama dengan lembaga adat, gereja, dan pemerintah di Teluk Wondama. Ditambahkannya, untuk proses penggantian, perlu melibatkan pihak yang dipercaya oleh korban dan keluarga korban.
“Jadi, disadari bahwa proses ini tidak mungkin berlaku singkat perlu waktu. Oleh karena itu perlu ada lembaga yang dibentuk di Teluk Wondama. Tidak kalah penting, pemerintah perlu menyampaikan secara terbuka kepada masyarakat luas, khususnya para korban, keluarga korban bahwa proses non judicial, penyelesaian kasus Wasior ini tidak menghilangkan proses yudisial,” tambah dia.
Sumule mengungkapkan, rekomendasi lain yakni upaya pencegahan agar kasus serupa tidak terjadi lagi dengan tidak melibatkan pihak TNI dan Polri.
BACA JUGA: Kafilah MTQ VI Korpri Papua Barat akan Ikuti 9 Cabang Lomba
“Peristiwa Wasior Berdarah itu terjadi karena kelengahan aparat yang tidak melaksanakan protab di samping karena lemahnya control pimpinan. Oleh karena itu, pembinaan dan pendampingan bagi aparat yang bertugas di lapangan, perlu menjadi perhatian dari pimpinan,” terang Sumule.
Menurutnya, diperlukan pembenahan, misalnya pembentukan Pusat Pendidikan Hukum dan HAM (Pusdikum HAM).
Sementara untuk pembenahan kultural di lingkungan TNI dan Polri, perlu dilakukan melalui pendidikan hukum, pembenahan kembali kurikulum pelatihan dan metode pelatihan, serta menerbitkan buku saku HAM bagi setiap prajurit atau anggota kepolisian.
Sebelumnya, Staf Ahli Gubernur Papua Barat yang membidangi pemerintahan umum dan Otonomi Khusus (Otsus), Thamrim Payapo menjelaskan, tragedy Wasior Berdarah pada 21 tahun silam adalah kasus pelanggaran HAM Berat dan bisa dikatakan bola panas yang setiap tahun muncul, apalagi di akhir tahun.
Oleh sebab itu, kata dia, kehadiran Tim PPHAM di Papua Barat, diharapkan bisa menggali informasi serta mencari benang merah untuk penyelesaian kasus itu, sebab negara dan pemerintah membutuhkan dukungan untuk menyelesaikan masalah tersebut. [AND-R4]