
Bintuni, TP – Dengan adanya pembangunan pabrik pengalengan hasil laut Bintuni disambut baik oleh warga Teluk Bintuni yang kesehariannya berprofesi sebagai nelayan. Khususnya penghasil udang terbesar di Teluk Bintuni yaitu masyarakat distrik Taroi.
“Kami memberikan apresiasi atas dibangunnya pabrik pengalengan hasil laut di Bintuni oleh Pemerintah Kabupaten Teluk Bintuni melalui Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Kampung.
Kami nelayan sangat senang kalau pemerintah daerah membangun pabrik pengalengan hasil laut untuk memberdayakan masyarakat Bintuni yang selama ini mencari nafkah dari melaut.
Karena selama ini yang menjadi kendala bagi nelayan yaitu soal jejaring pemasaran udang dan kepiting maupun ikan itu belum ada yang pasti.
Dimana masyarakat nelayan seperti di distrik Taroi itu 100 persen masyarakatnya hidup sebagai nelayan atau penangkap udang yang selama ini hasilnya melimpah tetapi masih terkendala pada pasar atau pembeli,” ungkap Direktur Bumdes Tareso Mati Tapei distrik Taroi Abdul Talib Bauw, Kamis (12/01/2023) kepada media ini ketika dikonfirmasi di Bintuni.
Direktur Bumdes Tareso Mati Tapei atau Taroi Pasti Bisa itu menjelaskan bahwa hasil laut di Taroi seperti kepiting, undang, ikan sembilan termasuk ikan congge itu melimpah.
“Biasanya masyarakat pergi mencari ikan congge setelah hasil mereka bawa pulang dagingnya mereka hanya bagi-bagi karena tidak ada yang membeli.
Sedangkan gelembungnya mereka pergi jual di distrik Weriagar sebab belum ada penadah atau penampung di distrik Taroi. Dengan adanya pengalengan hasil laut seperti ikan ini tentunya marketingnya sudah pasti. Karena hasil laut mereka nantinya langsung diambil oleh pabrik pengalengan milik pemerintah kabupaten Teluk Bintuni yersebut,” papar Talib Bauw.
Abdul Talib Bauw yang juga adalah Ketua Karang Taruna distrik Taroi itu mengungkapkan bahwa saat distrik Taroi musim udang 1 (satu) hari masyarakat Taroi bisa mengumpulkan udang sebanyak 1 (satu) ton.
“Dan setiap nelayan udang yang ada di sana bisa mendapatkan jasil tangkapan sampai 80 Kg udang per hari. Mayoritas warga masyarakat distrik Taroi berprofesi sebagai nelayan namun di sana belum ada kelompok-kelompok nelayan udang yang dibentuk.
Dimana masyarakat Toroi dalam mencari hasil laut seperti udang itu masih bersifat pribadi-pribadi atau per keluarga. Selama ini Bumdes membeli udang langsung dari masyarakat dan pemasarannya bekerja sama dengan perusahaan udang yang ada di kota Bintuni seperti perusahaan Harda Indo Perkasa (HIP) yang berada di Bina Desa Bintuni atau kota Bintuni.
Namun kerja sama dengan HIP ini tidak berjalan lama karena tidak sesuai dengan kontrak kerja sama maka Bumdes Taroi untuk sementara stagnan atau berhenti penimbangan.
Disamping itu Bumdes Taroi juga stagnan karena kapasitas tempat penampungan udang milik Bumdes kita juga sudah tidak bisa menampung udang dari masyarakat.

“Kalau kita mau kembali beroperasi maka minimal kita harus membangun gedung penampungan udang terlebih dulu. Kemudian soal pengawet udang yang menggunakan es batu selama ini kita ambil es dari kota Bintuni.
Karena pabrik es yang kita gunakan selama ini di Taroi biaya operasionalnya lebih besar dibanding kalau kita datangkan es dari Bintuni.
Yaitu ongkos BBM jenis solar yang digunakan untuk mengoperasikan pabrik es yang dibangun oleh Pemkab Teluk Bintuni melalui dinas terkait itu cukup besar dimana solar yang terpakai sebanyak 50 liter hanya untuk beroperasi selama 3 sampai 4 jam saja.
Apalagi kita perlu pendingin 6 sampai 10 jam sehingga 1 hari kita bisa menggunakan ratusan liter solar yang harganya di kampung sangat tinggi.
Dan bila dihitung dengan membeli es batu di kota Bintuni 200 sampai 300 es balok untuk kebutuhan 3 sampai 4 hari itu lebih ekonomis.
Dimana sekali kita pasarkan udang ke kota Bintuni balik ke distrik atau kampung kita bisa membeli es batu sehingga biayanya tidak terlalu besar atau membengkak sehingga Bumdes bisa mendapatkan keuntungan dan ada perputaran ekonomi di distrik Taroi,” tutur Talib.
Menurut Direktur Bumdes itu bahwa selama ini Bumdes membeli udang dari masyarakat kemudian hasil tersebut dipasarkan di Bintuni yaitu ke perusahaan udang HIP dan HMJ.
“Namun saat ini Bumdes Taroi sementara stagnan atau kita stop untuk sementara dan sekarang yang jalan hanya perusahaan udang HMJ di kampung Taroi.
Dimana perusahaan tersebut mengambil 3 jenis udang namun masyarakat masih mengeluh masalah harga.
Dimana Bumdes selama ini membeli udang dari masyarakat Rp. 55 ribu per kilo itu masih dengan kepala udang belum dibersihkan atau disortir. Dimana dalam membeli udang dari masyarakat Bumdes timbang dengan tidak pilah-pilah nanti kita bawa jual ke Bintuni baru udang mereka sortir.
Kita ambil resikonya mengingat kalau kita sortir nelayan sudah pulang melaut sudah capek lalu sortir lagi dan kalau musim udang kecil maka penghasilan yang didapat masyarakat kalau disortir kecil. Sehingga hasil masyarakat langsung kita timbang tanpa disortir agar hasil yang didapat sama-sama enak dengan masyarakat,” ujar Talib Bauw.
Talib Bauw juga menjelaskan bahwa Bumdes kampung Taroi ini berdiri sejak bulan April 2021 sehingga usianya sudah hampir 2 (dua) tahun. “Mudah-mudahan setelah beroperasi terhenti untuk sementara akan kembali beroperasi dimana minggu ini kita akan lakukan pertemuan untuk membongkar gedung kemudian membangun kembali gedung penampungan yang lebih besar dan ini atas perintah dari Kepala Distrik Taroi sebagai Badan Pengawas Bumdes agar Bumdes dioperasikan kembali.
Bumdes kampung Taroi ini awalnya mendapat modal dana pendampingan dari dana kampung sebesar Rp. 50 juta. Dimana dana tersebut digunakan untuk membeli gedung Bumdes, membeli udang dari masyarakat lalu kita pasarkan.
Adapun kendala yang dihadapi Bumdes pertama masalah transportasi saat drop udang ke kota Bintuni. Dimana kita sudah memiliki perahu fiber dari pemerintah distrik hanya saja kita terkendala belum memiliki motor jhonson.
Kadang mesin jhonson ini kita pinjam-pinjam dan ini menjadi hambatan terbesar kita. Dan biasanya yang kita gunakan itu mesin 40 PK.
Saat ini tenaga Bumdes Tareso Mati Tepei sudah mencapai 23 orang anggota pengurus yaitu mulai dari beberapa bagian yaitu ada bagian produksi, sortir termasuk ada cleaning service, termasuk pengawas, direktur hingga komisaris.
Bumdes kampung Taroi ini masih bergerak di bidang pengelolaan udang. Karena Taroi memiliki potensi udang yang cukup besar atau melimpah,” terang Talib Bauw.
Lanjut Talib Bauw bahwa Bumdes kampung Taroi dalam perjalannnya membeli hasil udang dari masyarakat kadang penghasilan turun naik. “Sebab di Taroi juga ada penada atau penampung lain dimana Bumdes Taroi sendiri memiliki saingan pembeli.
Dan biasanya kalau Bumdes sudah berjalan saingan ini akan menyesuaikan harga penjualan sama dengan Bumdes. Tetapi ketika kita tidak beroperasi atau stagnan maka pembeli atau pengumpul itu membeli dengan harga yang lebih rendah.
Daripada masyarakat buang hasil tangkapannya maka lebih baik mereka jual kepada pembeli atau penada yang ada.
Kalau pabrik pengalengan jalan kami harap pemerintah bisa memfasilitasi hambatan yang kami hadapi seperti tambatan perahu harus ada, alat transportasi harus ada untuk memperlancar pendropan udang ke pabrik pengalengan yang ada di kota Bintuni.
Disamping itu saya melihat mesin es yang ada di Taroi memproduksi es curah itu cepat habis sehingga minimal ada mesin es bentuk kristal. Kalau itu diadakan maka kualitas es lebih bagus dibanding es curah seperti es diparut itu cepat mencair. Dan lebih bagus lagi kalau pabrik itu kedepan bisa membuat es balok seperti di kota Bintuni,” harapnya.
Talib Bauw juga mengatakan bahwa sewaktu pak Yadin Bauw menjadi Plt. Kepala Kampung Taroi operasional Bumdes selalu dimasukkan saat ada Musrenbang kampung. “Tetapi sekarang dana untuk Bumdes sudah tidak masuk sejak beliau tidak lagi menjabat kepala kampung Taroi.
Pendirian Bumdes kampung Taroi masih ada pro dan kontra sehingga sampai sekarang tidak bisa berjalan dengan baik.
Sehingga kita butuh dukungan dari Pemkab Teluk Bintuni agar Bumdes kampung Taroi ini dapat berjalan dengan baik dan lancar agar bisa meningkatkan perekonomian masyarakat di sana,” ujar Talib Bauw. [ABI-R4]