Warinussy: Bagaimana kalau kita punya anak perempuan juga mengalami kejadian serupa?
Manokwari, TABURAPOS.CO – Kasus pemerkosaan yang diduga dilakukan 8 pelaku terhadap seorang siswi SMA di Kabupaten Manokwari, Papua Barat, tidak terlepas dari pengaruh perkembangan di era digital sekarang.
Direktur Eksekutif LP3H Manokwari, Yan C. Warinussy, SH mengatakan, saat ini semua bisa diakses secara mudah melalui telepon seluler atau handphone, termasuk hal yang berkaitan dengan pornografi.
“Maka, sebagai orangtua, kita harus ikut mengontrol anak-anak kita dalam penggunaan media sosial. Jadi, ini istilahnya kurang kontrol dari orangtua terhadap anak-anaknya,” ujar Warinussy kepada Tabura Pos di Pengadilan Negeri (PN) Manokwari, pekan lalu.
Ia menegaskan, dalam mendidik anak, bukan hanya dibebankan ke pihak sekolah, tetapi orangtua juga ikut berperan penting dalam tumbuh kembang anaknya.
Namun, Warinussy menilai, pihak sekolah juga harus dikoreksi, karena saat jam sekolah, banyak anak justru tidak masuk ke sekolah, tetapi berkeliaran ke mana-mana pada jam sekolah.
“Pengalaman di sebelah kami punya Kantor LP3BH, ada rumah kosong dan tidak terawat, maka dari pagi sampai siang, ada anak-anak sekolah yang nongkrong di situ. Mereka berkumpul di situ, merokok dan ada yang mabuk-mabukan,” ungkap Warinussy.
Namun terkait kasus pemerkosaan ini, Warinussy menegaskan, itu merupakan suatu perbuatan tindak pidana pemerkosaan yang dilakukan secara terencana dan bersama-sama, sehingga tidak ada alasan pemaaf terhadap para pelaku pemerkosaan.
“Dengan keluguan dia, dia datang, dikasih minum minuman keras, sementara laki-laki banyak di situ, maka korban digerayangi dan segala macamnya, kemudian terjadilah pemerkosaan,” jelas Warinussy.
Untuk itu, ia meminta pihak kepolisian supaya bisa memberikan efek jera terhadap para pelaku tanpa terkecuali, baik yang sudah dewasa maupun yang masih di bawah umur.
“Yang di bawah umur juga harus dihukum sebagai bagian dari penjeraan. Itu kejahatan luar biasa dan dilakukan secara terencana, seperti sudah profesional dalam melakukan suatu tindak pidana pemerkosaan. Ini bukan situasional, tetapi terencana,” tandas Warinussy.
Warinussy juga berharap, penyidik kepolisian dalam menangani kasus ini, sudah sepantasnya menjerat para pelaku dengan pasal-pasal yang cukup berat.
“Tidak boleh dan jangan kasih kemungkinan orangtua datang menyelesaikan kasus ini secara adat atau restorative justice (RJ). Ini perbuatan bejad,” tukas Warinussy.
Dikatakannya, desakan ini lantaran dirinya sebagai orangtua juga merasakan apa yang dialami orangtua dari korban, seandainya ada anak perempuannya mengalami peristiwa serupa.
“Bagaimana kalau kita punya anak perempuan juga mengalami kejadian serupa? Jadi, kita tidak boleh kasih peluang kasus ini diselesaikan di luar jalur hukum,” tegas Warinussy.
Menurut dia, orangtua dari para pelaku juga harus menerima kenyataan dan anaknya harus diberikan pelajaran, akibat kelalaian orangtua mengawasi anaknya, sehingga anak-anaknya ikut terlibat dalam kasus pemerkosaan tersebut.
“Bagaimana kalau dia punya saudara perempuan sendiri diperkosa. Coba dibayangkan, tidak bisa dibiarkan. Sudah banyak kasus-kasus seperti ini, tetapi banyak juga diselesaikan dengan alasan restorative justice,” sesal Warinussy.
Ditanya tentang langkah pihak sekolah yang sempat mengeluarkan korban pemerkosaan dari sekolah, Warinussy menilai, Dinas Pendidikan harus memanggil kepala sekolah atas tindakan mengeluarkan korban pemerkosaan dari sekolah.
“Tidak boleh. Itu korban, dia kan korban, bahwa dia dikasih minuman keras, benar dia minum, tetapi dalam situasi begitu, bisa saja korban dalam keadaan terpaksa atau dalam ancaman. Apalagi di situ banyak laki-laki dan tidak ada perempuan lain di situ, selain dia sendiri,” papar Warinussy.
Dikatakan Warinussy, seharusnya pihak sekolah justru memberikan perlindungan terhadap korban, bukan dikeluarkan dari sekolah, meski sekarang korban sudah diterima lagi untuk bersekolah.
Ia mengakui, dengan tindakan seperti ini, dimana korban pemerkosaan dikeluarkan dari sekolah, membuktikan masih banyak kepala sekolah atau guru BP yang tidak memahami tentang perlindungan terhadap anak-anak yang menjadi korban dari suatu tindak pidana atau kejahatan.
Padahal, sambung Warinussy, pihak sekolah juga mempunyai tanggung jawab terhadap para siswa dan siswinya, apalagi kalau kasus pemerkosaan itu terjadi pada jam sekolah.
“Kalau terjadi di jam sekolah, maka pihak sekolah juga harus bertanggung jawab. Sekarang juga kan ada grup WhatsApp, orangtua dan guru di sekolah, sehingga apapun informasi bisa di-share di grup tersebut,” pungkas Warinussy.
Berdasarkan catatan Tabura Pos, seorang siswi SMA diduga diperkosa dan digilir 8 remaja di rumah salah satu pelaku berinisial H, Desember 2022 lalu.
Ironisnya, para pelaku pemerkosaan ini ada yang masih di bawah umur, alumni dari SMA tersebut, dan teman korban. Mereka yang diduga melakukan pemerkosaan, yaitu: AL (20 tahun), H (19 tahun), GIL (19 tahun), A (20 tahun), GW (15 tahun), M (15 tahun), Y (15 tahun), dan C (16 tahun).
Kapolresta Manokwari, Kombes Pol. R.B. Simangungsong mengungkapkan, kasus dugaan pemerkosaan terhadap korban yang masih di bawah umur terjadi di rumah pelaku berinisial H pada Desember 2022 lalu.
Dijelaskan Simangungsong, setelah kejadian itu, korban merasa takut, kemudian melaporkan apa yang menimpanya kepada orangtuanya.
Tidak terima dengan kejadian yang menimpa anaknya, orangtua korban melaporkan kasus ini ke Polresta Manokwari pada Februari 2023.
Kapolres menerangkan, dalam kasus ini, ada 2 permasalahan, yakni pemerkosaan untuk para pelaku yang sudah dewasa, sedangkan persetubuhan anak yang para pelakunya masih di bawah umur.
Namun, tegas Simangungsong, perlakuan terhadap para pelaku tetap sama, sebagaimana diatur dalam undang-undang. Dengan demikian, ungkap Kapolresta, kedelapan orang ini sudah ditetapkan menjadi tersangka, dimana 4 orang dewasa dan 4 orang masih di bawah umur, termasuk seorang pelaku yang masih duduk di bangku SMP.
“Dari delapan pelaku, empat pelaku duluan kami tahan karena beda perlakuannya. Yang empat orang karena masa penahanan diatur hanya 15 hari harus sudah P.21, jadi nanti sambil berjalan, mereka wajib lapor, tetapi perkaranya tetap berjalan. Begitu dari jaksa sudah menerima, baru kami langsung melakukan penahanan,” papar Simangungsong dalam jumpa pers di Polresta Manokwari, Jumat (3/3).
Ditegaskannya, dalam penanganan kasus ini, penyidik mengikuti prosedur, bukan perlakuan yang berbeda, tetapi undang-undang yang mengaturnya.
Ditanya soal motif dari dugaan pemerkosaan dan persetubuhan ini, Kapolresta menjelaskan, diduga para pelaku terbuai dengan kecantikan korban yang selama ini aktif di media sosial (medsos).
Dari situlah, sambung Kapolresta, para pelaku merencanakan aksi bejatnya dengan mengajak korban ke rumah salah satu tersangka berinisial H.
Dijelaskan Kapolresta, setelah tiba di rumahnya H, ternyata ada pelaku lain, kemudian memaksa korban untuk menenggak minuman keras (miras) meski korban menolaknya.
Setelah korban dalam pengaruh miras, sambung Simangungsong, korban dibawa para pelaku ke kamar, kemudian disetubuhi secara bergiliran.
“Korban diajak salah satu pelaku, GW yang merupakan teman dekat korban. Diarahkanlah korban ke rumah H yang selama ini memang tempat mereka kumpul-kumpul. Di rumah itu, korban dipaksa menenggak miras, setelah mabuk, kemudian para pelaku menyetubuhi korban secara bergantian,” papar Kapolresta.
Ia menegaskan, kasus yang dialami korban sudah menjadi atensi penyidik sebagaimana perintah dari Kapolda Papua Barat, Irjen Pol. Daniel T.M. Silitonga, dan berjanji akan menuntaskan kasus ini dengan serius karena sangat meresahkan.
“Kepada orangtua korban, terima kasih karena sudah koperatif selama pemeriksaan. Percayalah, kami tidak pernah main-main dengan perkara-perkara yang menjadi atensi. Kami tidak mempermainkannya, ini tetap berjalan,” tandas Kapolresta.
Diutarakan Simangungsong, kalau pihak korban mau berkomunikasi dengan tersangka, silakan saja, tetapi pihak kepolisian tetap jalan terus dan Kapolda sudah mengingatkan, jangan main-main dengan perkara ini. “Jadi, ini perkara atensi, karena ini cukup meresahkan,” tukasnya.
Lanjut Simangungsong, atas perbuatannya, para pelaku dijerat UU No. 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun penjara dengan denda Rp. 5 miliar, jo Pasal 81 Ayat 1, Pasal 55 KUHPidana Ayat 1 dan 2 dan Pasal 56 KUHPidana.
“Teman sekolah korban ini ada dua orang, yang lain ada dari sekolah lain, ada yang sudah berkeluarga, dan ada yang pengangguran. Rumah itu memang tempat berkumpul para pelaku, tapi otaknya ini berinisial GW,” jelas Kapolresta.
Korban Sempat Dikeluarkan dari Sekolah
Kapolresta mengakui, setelah kasus pemerkosaan itu, korban langsung dikeluarkan pihak sekolah, padahal korban sebentar lagi harus mengikuti ujian.
Untuk itu, kata Simangungsong, dia sudah bertemu pihak sekolah dan meminta supaya korban bisa diterima kembali. Dari pertemuan itu, sambung Kapolresta, pihak sekolah mengaku bersedia menerima korban kembali sampai selesai mengikuti ujian.
“Setelah itu, kalau korban mau pindah terserah. Kalau memang tidak ada sekolah mau menerima atau ada yang intimidasi, sampaikan saja, kami yang akan bicara. Korban ini seperti kambing yang masuk di kandang singa, dia di sana tidak berdaya. Namanya pelaku, tetap kita akan proses,” tegas Kapolresta.
Sementara Kasat Reskrim Polresta Manokwari, Iptu Arifal Utama menerangkan, dalam kasus ini, penyidik sudah mengamankan sejumlah barang bukti, diantaranya 1 hoodie berwarna hitam dan 1 celana jogger berwarna hijau tua.
Selanjutnya, tambah Utama, ada juga 1 kaos berwarna hitam, 1 BH berwarna putih, 1 celana dalam berwarna cokelat, 1 lembar hasil visum dari rumah sakit, 1 lembar kartu keluarga, dan 1 lembar surat akte kelahiran.
Sedangkan orangtua korban menjelaskan, kasus ini dilaporkan ke polisi setelah kejadian yang cukup lama, karena pihak keluarga sendiri setelah mengetahui kejadian itu, sempat sudah putus asa.
Namun, kata orangtua korban, dengan dukungan dari kerabat dan jemaat gereja, akhirnya keluarga menguatkan diri untuk melaporkan kejadian ini ke pihak kepolisian. Dirinya juga mengakui, pihak sekolah juga sudah bersedia menerima anaknya untuk kembali masuk sekolah.
Namun, ungkap orangtua korban, meskipun sudah diterima kembali oleh pihak sekolah, tetapi anaknya hanya bisa belajar di rumah dan nanti saat ujian baru bisa bergabung ke sekolah.
“Kami sangat berterima kasih, karena polisi sudah mau proses kasus kami dan membantu kami, sehingga anak kami yang tadinya dikeluarkan oleh sekolah karena kasus ini, sudah diterima kembali. Terima kasih kepada Polresta Manokwari yang terus mendukung kami,” tutur orangtua korban di Polresta Manokwari, kemarin. [HEN-R1]