Manokwari, TABURAPOS.CO – Plt. Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Papua Barat, Dance Sangkek mengatakan, hadirnya sebuah Organisasi Perangkat Daerah (OPD) berbasis pada kebijakan otonomi daerah (Otda) yang merupakan penyelenggara urusan.
“Jadi Otonomi itu intinya, urusan-urusan atau kewenangan yang diberikan. Otda menyasar urusan-urusan yang sifatnya wajib, baik wajib sosial dasar urusan pilihan dan urusan bersama,” terang Sangkek kepada wartawan di Kantor Gubernur Papua Barat, belum lama ini.
Menurutnya, berdasarkan urusan-urusan inilah pemerintah daerah diberikan ruang untuk mengidentifikasi persoalan di daerah yang paling menonjol terutama urusan sosial dasar.
“Nah, dari identifikasi persoalan-persoalan inilah, maka dikaji. Karena kalau kita bicara pendidikan, IPM kita rendah. Dari kajian-kajian ini ternyata persoalan kita sangat besar, maka harus diurus lembaga-lembaga, maka dibentulah OPD-OPD,” terang Sangkek.
Diungkapkannya, penduduk Papua Barat sedikit tetap wilayahnya sangat luas, maka untuk menjangkau masyarakat dalam memberikan pelayanan dasar, pihaknya memakai pendekatan wilayah.
“Setelah hadirnya Papua Barat Daya, maka cakupan wilayah bawahan dari Papua Barat berkurang demikian juga jumlah penduduk berkurang. Artinya, beban layanan yang membutuhkan konsentrasi kelembagaan juga pastinya akan berkurang,” katanya seraya menambahkan, anggaran atau APBD Papua Barat juga berkurang.
Lebih lanjut, Sangkek mengatakan, anggaran Papua Barat sudah berkurang karena dibagi ke Provinsi Papua Barat Daya. Sedangkan, sambung dia, OPD di Papua Barat untuk esalon II berjumlah 51 dan 47 SKPD.
“Biasanya pembagian anggaran berdasarkan alokasi dasar, satu dinas atau badan minimal Rp 20 miliar kalau dikalikan dengan sekian OPD dan SKPD, maka berapa jumlah anggaran yang dikelola OPD dalam urusan rutin, bayar jasa, perjalanan dinas, bagi, belum lagi TPP dan lainnya, hampir senilai triliun, itu baru alokasi dasar, belum lagi dinas yang mengelola layanan dasar menjadi prioritas, infrastruktur misalnya,” ujar Sangkek.
Sejalan dengan pembagian anggaran ke provinsi baru, anggaran yang tersisa pun berkurang sementara jumlah kelembagaan tetap. Sehingga membutuhkan pertimbangan dalam pengalokasiannya.
“Nah, apakah pemerintahan ini untuk OPD saja? untuk orang menduduki jabatan saja? tidak. Karena itu, kita mau cari formula yang tepat, tidak mungkin kita pecat pegawai, pegawai ini kita pertahankan, bahkan ada yang mau pindah kita bantu mereka, karena itu beban, ada beban OPD dan beban pegawai,” terangnya.
Sangkek menambahkan, pihaknya lagi mencari solusi salah satunya dengan pola strukturisasi kelembagaan.
“Miskin struktur, kaya fungsi, fungsinya tetap ada, makanya birokrasi struktural akan habis dan tinggal fungsional saja. Nah, ini dalam rangka mempersiapkan kita untuk panggilan fungsional menjadi professional mengelola layanan kepada masyarakat. Bagi saya secara pribadi, melihat restrukturisasi bukanlah sesuatu yang tabu, bencana atau malapetakan. Tetapi ini adalah sesuatu yang kita butuh, bukan diada-adakan atau ada tendensi tertentu, tidak ada. Tapi ini juga menjawab fakta bahwa hari ini kita mekar,” tandas Sangkek. [FSM-R3]