Manokwari, TP – Masyarakat Adat Peduli Seleksi Calon Anggota Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) periode 2023-2028 menggelar unjuk rasa damai di depan Kantor Badan Kesbangpol Provinsi Papua Barat dan Kantor DPR Papua Barat, Senin (26/6).
Dalam aksinya, puluhan masyarakat adat dari Teluk Wondama ini mendesak Penjabat Gubernur Papua Barat, Paulus Waterpauw agar tidak menyetujui hasil seleksi calon anggota MRPB dari Kabupaten Teluk Wondama dan mengadakan seleksi ulang, khusus di Kabupaten Teluk Wondama.
Sebab, para pengunjuk rasa menilai proses maupun tahapan seleksi calon MRPB dari unsur perempuan dan adat sarat kepentingan, kolusi, dan nepotisme.
Kedatangan puluhan masyarakat adat disambut Kepala Badan Kesbangpol Provinsi Papua Barat, Thamrin Payapo.
Setelah menyampaikan aspirasi dan berorasi, masyarakat adat dan perempuan peduli seleksi calon anggota MRPB, langsung menyerahkan aspirasinya dan diterima, Thamrin Payapo.
Kepala Badan Kesbangpol mengatakan, pihaknya akan segera membahas aspirasi yang disampaikan masyarakat adat dan perempuan peduli seleksi calon anggota MRPB periode 2023-2028.
“Kami bersama Biro Hukum, Biro Otsus, dan instansi lain yang terlibat akan membuat telaah untuk selanjutnya menjadi bahan pertimbangan bagi bapak gubernur,” katanya.
Setelah menyampaikan aspirasi, para pengunjuk rasa melakukan longmarch dari Kantor Badan Kesbangpol menuju Kantor DPR Papua Barat untuk menyampaikan aspirasi yang sama.
Namun sayang, ketika para pengunjuk rasa tiba di kantor para wakil rakyat ini, tidak ada satu pun anggota dewan, karena dikabarkan mereka sedang menjalankan agenda kunjungan dalam daerah.

Sekitar 1 jam lamanya menunggu kedatangan pimpinan atau anggota dewan, tetapi mereka tak kunjung menjumpai para pengunjung rasa yang hendak menyerahkan aspirasinya.
Akhirnya, Kasubbag Perlengkapan dan Pemeliharaan Setwan Provinsi Papua Barat, Sefnat Jitmau mewakili Sekretaris DPR Papua Barat, Frenky K. Muguri yang menerima aspirasi masyarakat adat Teluk Wondama ini.
Pemegang hak warisan adat Diopui, Teluk Wondama, Andarias Ingensi mengatakan, sebagai masyarakat adat, mereka merasa dirugikan, karena sudah mempunyai dan merekomendasikan calon perwakilan adat dan perempuan dari Teluk Wondama, tetapi tidak dilibatkan lagi dalam proses selanjutnya.
“Kami menilai ada penyimpangan dalam mekanisme dan aturan yang berlaku dan faktanya begitu,” sesal Andarias kepada Tabura Pos di Kantor DPR Papua Barat usai menyampaikan aspirasi.
Menurutnya, Panpel dan Panwas Calon Anggota MRPB tidak bijaksana, seakan-akan mereka telah mempunyai tujuan tertentu. “Jadi lainnya memilih, sedangkan mereka sudah menentukan orang lain. Itu yang terjadi,” ujar Andarias.
Sementara itu, calon anggota MRPB dari unsur perempuan Teluk Wondama, Aleda E. Yoteni menjelaskan, aksi serupa sudah dilakukan di Teluk Wondama, tetapi pihaknya tidak diberikan ruang.
“Kami dapat informasi bahwa Mendagri berikan ruang kepada masyarakat untuk memberi tanggapan terhadap calon anggota MRPB, maka kami sebagai duta-duta keadilan dan kebenaran dari Teluk Wondama, bukan saya sendiri secara pribadi, tapi ada masyarakat adat,” klaim Aleda Yoteni kepada Tabura Pos di sela-sela aksi unjuk rasa di Kantor DPR Papua Barat, kemarin.
Dia mengungkapkan, pengalaman ini merupakan kali kedua, dimana dalam proses rekrutmen calon anggota MRPB pada 2017 dan 2022, hal serupa dialaminya.
“Saya diabaikan dalam prosesnya, mulai dari tahapan, jadwal, dan persyaratan itu tidak sesuai Perdasi Nomor 8 Tahun 2022,” ujarnya.
Aleda Yoteni menambahkan, di dalam regulasi itu sudah menyatakan bahwa masyarakat adat dan perempuan yang memilih, tetapi yang terjadi di Teluk Wondama justru berbeda, mulai tahapan penjaringan, sudah ada indikasi kurang baik, tapi Panwas tetap diam dan tidak berbuat apa-apa.
Di samping itu, ungkap dia, dari total 10 Dewan Adat Suku (DAS) di Teluk Wondama, hanya DAS Diopui yang melaksanakan musyawarah adat untuk memberikan rekomendasi terhadap calon anggota MRPB dari DAS Diopui.
“Dalam penjaringan itu, untuk adat 12 kampung memilih saudara Kuritorey, sedangkan masyarakat di 10 kampung memilih saya, Aleda Yoteni, tapi dalam mekanismenya, ada undangan untuk pemaparan visi dan misi, sekaligus musyawarah pemilihan di antara peserta seleksi dan itu tidak ada dalam aturan. Yang ada dalam aturan, dipilih oleh masyarakat adat,” tandas Aleda Yoteni.
Lanjut dia, ketika memilih, dia memilih dirinya sendiri dan salah satu perwakilan perempuan dan perwakilan perempuan yang dipilih memilih orang lain, akhirnya dirinya tidak lolos.
“Dalam regulasi tidak ada aturan yang menjelaskan bahwa ada pemilihan di antara sesama kandidat atau peserta dengan peserta ini berlangsung di tahapan akhir. Padahal, masyarakat adat yang mewakili untuk memilih kami, masa kami peserta baru saling memilih,” sesalnya.
Calon anggota MRPB dari unsur adat Kabupaten Teluk Wondama, Penias Kuritorey menjelaskan, dirinya adalah orang yang pertama ribut, karena tidak puas dengan mekanisme dan tahapan yang dijalankan Panpel dan Panwas di Teluk Wondama.
“Dari sosialisasi awal Panpel, ada tahapan dan mekanisme yang berjalan sampai tahapan perangkingan. Ternyata, tidak ada tahapan itu, di tahapan terakhir tidak ada tahapan perangkingan, tiba-tiba Panpel bagi kertas dengan dua pilihan, pilihan pertama pilih diri sendiri dan nomor dua pilih teman atau peserta lain,” ungkap Kuritorey.
Dikatakannya, jika tahapan seperti ini, ada dugaan money politic yang dimainkan Panpel dan Panwas di Teluk Wondama, sehingga siapa yang berduit, dialah yang memperolehnya.
“Saya tegur perwakilan akademisi yang datang, karena dia tidak menilai visi, misi, makalah, dan tahapan lain. Dia hanya berdiri bicara dan bagikan kertas untuk kita peserta saling memilih. Di situ saya langsung tegur akademisi itu, karena dia dibayar mahal-mahal, memang orang Wondama tidak tahu menghitung,” tanyanya.
Ia menambahkan, ada tahapan dan mekanisme yang tidak berjalan sesuai Perdasi Nomor 8 Tahun 2022, tetapi Panwas tidak menegur Panpel dan terkesan mereka membiarkan proses pemilihan berjalan begitu saja.
“Contoh dalam seleksi administrasi, ada calon yang baru pindah saat itu, mereka tidak gugurkan, karena dalam regulasi minimal berdomisili 6 bulan, tetapi yang baru pindah hari itu juga diterima dan masuk dalam calon jadi anggota MRPB,” ujar Kuritorey dengan nada kesal.
Dari pantauan Tabura Pos, dalam aksi unjuk rasa ini, pengunjung rasa membawa spanduk yang bertuliskan ‘Kami Masyarakat Adat dan Perempuan, Peduli Seleksi Calon Anggota MRPB Periode 2023-2028 Menolak Hasil Seleksi Perwakilan Adat dan Perempuan Kabupaten Teluk Wondama Provinsi Papua Barat’. [FSM-R1]