Manokwari, TABURAPOS.CO – Badan Pusat Statistik (BPS) Papua Barat, memotret kemiskinan ekstrem di Papua Barat. Hal itu, sesuai amanat Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 4 Tahun 2022, di mana, BPS mendapatkan kepercayaan untuk melakukan pendataan.
Statistisi Ahli Muda BPS Papua Barat, Ika R. Widiyasari menyampaikan, jumlah dan persentase kemiskinan dan kemiskinan ekstrem di Papua Barat, diperoleh melalui pendataan dengan menggunakan metode kebutuhan dasar, meliputi; garis kemiskinan makanan, garis kemiskinan bukan makanan, dan penduduk miskin pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan.
Pendataan kemiskinan ekstrem di Papua Barat, berdasarkan konsep paritas daya beli atau purchasing power parity (PPP) dan nilai garis kemiskinan yang telah ditetapkan oleh bank dunia (word bank), yaitu sebesar US$ 1,90 PPP atau Rp 10.739 per kapita per hari pada 2022 dan sebesar Rp 11.571,21 pada 2023.
“Jika pengeluaran perkapita per bulan kurang dari garis kemiskinan, maka dikategorikan penduduk miskin. Namun, jika kurang dari garis kemiskinan, maka dikategorikan penduduk miskin ekstrem,” jelas Ika Widiyasari, dalam seminar tentang memahami kemiskinan ekstrem dan potretnya di Papua Barat, di Aula BPS, Senin (25/9).

Ika menerangkan, persentase miskin ekstrem secara nasional, tertinggi ada di Provinsi Papua Barat dan Provinsi Papua. Di Papua Barat pada 2021 sebesar 8,64 persen dan 2022 sebesar 8,35 persen. Sementara, di Papua pada 2021 sebesar 10,25 persen dan 2023 sebesar 10,92 persen.
Secara provinsi, tingkat kemiskinan ekstrem di Papua Barat (9,43 persen) lebih tinggi dibandingkan dengan Papua Barat Daya (7,37 persen).
Sementara, jika dilihat dari sebaran di kabupaten/kota di Papua Barat, kemiskinan tertinggi di Kabupaten Pegunungan Arfak (Pegaf) 33,71 persen diikuti Teluk Wondama 30,06 persen, Teluk Bintuni 29,73 persen, Manokwari Selatan 28,55 persen, Fakfa 22,06 persen, Manokwari 19,9 persen dan Kaimana 15,29 persen.
Sedangkan, kemiskinan ekstrem tertinggi di Kabupaten Teluk Bintuni 20,91 persen atau 14,38 ribu jiwa, diikuti Manokwari Selatan 16,87 persen atau 4,54 ribu jiwa, Teluk Wondama 12,04 persen atau 4,18 ribu jiwa , Pegaf 10,19 persen atau 3,59 ribu jiwa, Fakfak 9,38 persen atau 7,71 ribu jiwa, Kaimana 5,12 persen atau 3,39 ribu jiwa, dan Manokwari 4,77 persen atau 8,38 ribu jiwa.
“Kemiskinan tinggi bukan berarti bahwa kemiskinan ekstrem juga tinggi,” jelas Ika Widiyasari.

Lebih lanjut, dijelaskan Ika Widiyasari, di tengah upaya percepatan penurunan kemiskinan ekstrem, terdapat kabupaten yang sukses menurunkan kemiskinan ekstrem, yaitu Manokwari -3,48 persen, Fakfak -4,15 persen, dan Mansel -1,31 persen,
Namun, ada pula kabupaten yang tingkat kemiskinan ekstrem justru meningkat, yaitu Kaimana 1,21 persen, Teluk Wondama 2,47 persen, Teluk Bintuni 3,42 persen dan Pegaf 4,94 persen.
Ika Widiyasari menambahkan, dari segi karateristik, kemiskinan ekstrem merupakan fenomena multidimensi, meliputi; aspek ekonomi, individu, lingkungan, dan sosial.
Dijelaskan, separuh karateristik miskin ekstrem di Papua Barat, berpendidikan SD ke bawah (50,72 persen), SMP (18,26 persen), dan SMA ke atas (31, 01 persen).
Dari segi pekerjaan, mayoritas bekerja sebagai pekerja informal (63,33 persen), formal (26,00 persen) dan pengangguran (10,68 persen).
Dari kategorinya, jumlah penduduk miskin ekstrem terbanyak adalah Nonmigran (OAP) 74,90 persen dan Migran (nusantara) 25,10 persen.
“Dari kepemilikan dokumen, untuk masuk ke sektor formal tentunya diperlukan dokumen legal, seperti KTP dan akta lahir, data menunjukkan bahwa 5,08 persen penduduk 18 tahun ke atas miskin ekstrem belum memiliki NIK. Sementara itu, 36,72 tidak memiliki akta lahir,” jelas Ika.
Dari segi kelayakan rumah tinggal, BPS mencatat, 4 dari 10 rumah tinggal miskin ekstrem, tidak layak. Diperparah dengan dengan kondisi rumah yang tidak dilengkapi sanitasi, kecakupan luas lantai dan air bersih. Selain itu, penggunaan internet, kepemilikan handphone dan penggunaannya.
Di tempat yang sama, Plt Kepala BPS Papua Barat, Lasmini berharap, data potret kemiskinan ekstrem yang disajikan dalam seminar Hari Statistik Nasional 2023, dapat bermanfaat bagi masyarakat lebih khusus bagi pemerintah dalam rangka pengentasan kemiskinan agar lebih tepat sasarannya.
Terlebih, tambah Lasmini, sebagaimana prioritas Presiden RI Joko Widodo, yang menargetkan nol miskin ekstrem di tahun 2024.
“Harapannya dengan memahami seminar ini, akan lebih terarah kebijakan-kebijakan dari pemerintah dalam pengentasan kemiskinan. Kalau sampai nol mungkin susah, tapi setidaknya menurun,” harap Lasmini. [SDR-R4]