Manokwari, TABURAPOS.CO – Akhirnya, gugatan praperadilan yang dilayangkan Pemohon, Nugroho Dwi Prasetyo terhadap Termohon, Kapolri cq Kapolda Papua Barat cq Kapolresta Manokwari cq Kepala Satuan Resnarkoba Polresta Manokwari, diputuskan hakim tunggal Pengadilan Negeri (PN) Manokwari, Dr. Markham Faried, SH, MH, Selasa (26/9) sore.
Hakim menyatakan gugur gugatan yang dilayangkan Pemohon melalui kuasa hukumnya, Simon Banundi, SH, yang terdaftar dengan perkara Nomor: 6/Pid.Pra/2023/PN Mnk.
Selain menyatakan gugur, hakim juga menyatakan biaya yang timbul dalam perkara ini dibebankan kepada Pemohon sejumlah nihil.
Sebelumnya, Pemohon dalam petitum permohonan, meminta menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya.
Menyatakan tindakan penyitaan sebagaimana berdasarkan Perda Kabupaten Manokwari Nomor 5 Tahun 2006 tentang Larangan Pengedaran dan Penjualan Minuman Beralkohol terhadap: 10 botol minuman keras, 24 kaleng minuman keras jenis Bir Bintang Kaleng ukuran 320 ml, dan 1 unit mobil Daihatsu Sigra No Pol PB 1764 MH warna hitam adalah tidak sah.
Selanjutnya, menyatakan penetapan tersangka terhadap diri Pemohon adalah juga tidak sah atau jika PN Manokwari berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya.
Usai persidangan, kuasa hukum Pemohon, Simon Banundi yang dikonfirmasi Tabura Pos tentang proses penegakan hukum terkait peredaran minuman beralkohol, menjelaskan, dari sisi regulasi, ternyata Polda Papua Barat tidak memakai Perda Nomor 5 Tahun 2006 tentang larangan peredaran dan penjualan minuman beralkohol.
Sementara itu, lanjut dia, Polresta Manokwari masih memakai Perda Nomor 5 Tahun 2006 terhadap tindak pidana larangan pengedaran dan penjualan minuman beralkohol.

Dikatakannya, secara teknis, di dalam Perda disebut ada tim pengawas dan tim independen. Tim pengawas, kata dia, salah satunya Polresta, tetapi tim ini tidak banyak diberikan kewenangan untuk menangkap, dimana tim independen yang diberikan kewenangan menangkap.
Kemudian, sambung Banundi, sejak Perda diberlakukan pada 2006 sampai 2016, muncul Surat Keputusan (SK) Gubernur Papua Barat Nomor: 188.3-6/113/5/2026 tentang Pembatalan Perda Nomor 5 Tahun 2006.
“Putusan terkait pembatalan Perda ini sebenarnya menjadi bola liar yang disambut berbagai pihak untuk menarik keuntungan, sehingga yang terjadi adalah tebang pilih kasus,” sesal Banundi kepada Tabura Pos di PN Manokwari, Selasa (26/9).
Diungkapkan Banundi, ada ketidakprofesionalan dalam menjalankan tugas yang semestinya, ketika berpikir untuk melakukan proses penegakkan hukum ini.
Kedua, jelas Banundi, ada ketidakprofesionalan bahwa regulasi itu mengamanatkan dia sendiri, tetapi harus melibatkan pihak pemerintah daerah (pemda), karena regulasi ini adalah produk hukum pemda.
“Terakhir ketika dieksekusi, eksekusinya menjadi simpang siur. Tidak mungkin eksekusi tipiring dibayarkan ke kas negara. Gunakan produk hukum daerah, tapi dendanya masuk kas negara. Di sinilah terjadi kekacauan penegakkan hukum terkait minuman keras,” ujar Banundi.
Ia menilai, sejumlah pihak memakai kewenangannya secara berlebihan dan tidak sesuai tujuan penegakkan hukum yang semestinya, tetapi kewenangan itu dipakai untuk tujuan pribadi, memanfaatkan kekosongan hukum.
Disinggung tentang penegakkan hukum soal peredaran minuman beralkohol di wilayah hukum Polda Papua Barat, misalnya pengembalian satu kontainer berisi minuman beralkohol kelas atas, tapi pemilik 30 botol minuman beralkohol diproses hukum sampai ke pengadilan?
Banundi menanggapi, hal ini yang tadi dipersoalkan, apa dasar mereka berdiri pada tindak pidana ringan bahwa 30 botol minuman beralkohol tetap bermasalah dan segala macamnya, tetapi mereka tidak mempunyai argumentasi untuk dasar apa mengamankan 30 botol miras tersebut.
“Jadi, ada ruang kosong yang diciptakan terkait regulasi miras ini. Lalu, mereka memakai itu sebagai regulasi karet yang ditarik untuk kepentingan mereka,” tukasnya.
Dicecar apabila 30 botol minuman beralkohol diproses hukum, maka 1 kontainer berisi miras juga harus diproses sampai ke pengadilan?
Ia menegaskan, seharusnya penegakkan hukum dilakukan secara proporsional atau tebang secara merata, antara miras satu kontainer maupun 30 botol miras.
“Tapi, kemudian satu kontainer minuman beralkohol dilepas begitu saja, sedangkan 30 botol minuman beralkohol diambil dan diproses hukum. Saya pribadi mengakui Ditreskrimsus berdiri pada undang-undang khusus yang memberi ruang pada perizinan ketimbang regulasi daerah yang lebih pada pelarangan,” pungkas Banundi. [FSM-R1]


















