Manokwari, TABURAPOS.CO – Proses mediasi sengketa tanah adat antara pemerintah dan masyarakat adat Sub Suku Djopari-Wero, Suku Wamesa, Distrik Wamesa dan Distrik Nikiwar sudah kelima kalinya, tetapi belum membuahkan hasil.
Bahkan, dalam proses mediasi di Pengadilan Negeri (PN) Manokwari, Jumat (13/10), dihadiri Penjabat Sekda Provinsi Papua Barat, Jacob Fonataba, belum tercapai kesepakatan.
Apalagi, pemerintah menyatakan masih memerlukan data-data pendukung, terutama terkait kesepakatan di antara masyarakat adat dan pemerintah sejak 2021.
“Kita membutuhkan data lengkap dan akan dilaporkan ke bapak gubernur untuk dibahas bersama, barulah dibuat resume sesuai apa yang menjadi tuntutan masyarakat adat,” jelas Fonataba kepada Tabura Pos di PN Manokwari, usai mediasi, kemarin.
Dikatakannya, dalam proses mediasi itu, masyarakat meminta pemerintah agar memperhatikan dan menghargai hak-hak dari masyarakat adat. “Sebagai pemerintah, kita harus fasilitasi supaya tidak ada pihak-pihak yang dirugikan. Itulah yang paling penting,” tukasnya.
Ditanya tentang tuntutan masyarakat, Penjabat Sekda menerangkan, masyarakat meminta supaya pemerintah bisa menghargai dan menghormati apa yang menjadi hak masyarakat adat.
Namun, kata dia, untuk menghormati hak masyarakat adat, pemerintah tidak serta-merta memberikan secara langsung, harus dihitung sesuai aturan hukum.
Secara terpisah, coordinator tim kuasa hukum masyarakat adat dari Sub Suku Djopari-Wero, Handri Piter Poae, SH menerangkan, proses mediasi sudah cukup panjang, mulai dari pendaftaran gugatan sampai pemanggilan para pihak.
Ia menyebutkan, proses mediasi sudah lama ditunggu terutama dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua Barat, tetapi pihaknya mencoba tetap bersabar untuk mencari solusi terbaik untuk masyarakat.
Dikatakan Poae, dari mediasi tersebut, pihaknya memberikan catatan terkait Jalan Trans Papua Barat yang sudah dibangun, salah satu proyek strategis nasional di masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Ditambahkannya, jalan yang dibuka ini merupakan jalan baru, bukan jalan lama. “Jadi yang masyarakat tuntut terkait hak ulayat mereka yang dibuat untuk jalan baru. Kalau jalan lama tidak masuk di wilayah mereka,” jelas Poae yang ditemui Tabura Pos usai mediasi, kemarin.
Ia menjelaskan, terkait pembangunan jalan tersebut, seharusnya masuk dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum.
Diutarakannya, hal inilah yang menjadi dasar tuntutan, dimana ketika prosedur tersebut dijalankan, maka seharusnya dibuat prosedur pengadaan tanah dengan tahapan konsultasi dan sosialisasi. “Inilah yang tidak ada dan masyarakat protes,” ujar Poae.
Dia membeberkan sejak 2021, ada kesepakatan bersama Pemprov terkait pembentukan tim appraisal karena dalam hal pengadaan tanah untuk kepentingan umum, harus ada prosedur pengadaan tanah.
“Inilah yang membuat kami mengajukan gugatan ini ke PN Manokwari. Tadi kita sempat berdebat bahwa berkaitan dengan alih fungsi hutan, oke, tapi itu tidak dapat menghilangkan hak masyarakat adat di wilayah itu. Jangan kan di Papua, di seluruh Indonesia begitu, ada prosedur pengadaan tanah untuk kepentingan umum, termasuk pembangunan jalan,” terang Poae.
Menurutnya, standar secara umum dalam regulasi yang dipakai untuk pembangunan jalan adalah ganti rugi secara layak dan adil. “Apakah ini sudah layak dan adil, perlu diuji,” ujar Poae.
Ditegaskannya, ganti rugi secara layak dan adil inilah yang tidak pernah dibuat sampai sekarang. Namun, kata dia, karena sudah masuk ke ruang pengadilan, maka pihaknya berharap pemerintah bisa membuka ruang perdamaian dan apabila ada kesepakatan dalam ruang tersebut, harus ada kesepakatan hukum yang mengikat.
“Meski harus diundur lagi, tapi secara eksplisit pemerintah sudah mengakui hak masyarakat. Kita sesuaikan dengan waktu Pemprov sampai 27 Oktober. Kalau sudah ada resume, kami harap ada putusan perdamaian. Jika tidak tercapai akan masuk dalam perkara pokok dan ruang pembuktian,” paparnya.
Sementara Wakil Ketua I, Dewan Adat Sub Suku Wamesa Nikiwar, Raymond Djopari menegaskan, akibat dari pembangunan ruas Jalan Trans Papua Barat tanpa ada konsultasi dan sosialisasi terhadap masyarakat, maka ruang masyarakat adat dan ruang pemerintahan semakin sempit.
Dikatakan Djopari, kalau dilihat dari tata ruang dalam Perda Teluk Bintuni Nomor 4 Tahun 2012 adalah jalan alteri batas Wondama-Bintuni. Lanjut dia, sesuai peta, jalan itu di jalan logging, tetapi yang terjadi dibabat dalam wilayah adat Sub Suku Djopari-Wero.
“Ruas jalan ini sudah selesai dan melintasi dua distrik dan tujuh kampung di wilayah adat kami. Untuk itu, Sub Suku Djopari-Wero, Suku Wamesa menempuh jalur hukum agar ada satu keputusan damai yang bisa menghargai, menghormati masyarakat adat Sub Suku Djopari-Wero,” ujar Djopari. [FSM-R1]