Manokwari, TABURAPOS.CO – Anggota DPD-RI dari Provinsi Papua Barat, Filep Wamafma menilai, kepentingan politik pemerintah, dalam hal ini Kemendagri, sangat terlibat dalam penentuan penjabat gubernur Papua Barat.
Diutarakan Wamafma, sebelumnya DPR Papua Barat sudah mengusulkan 3 nama calon, yaitu: Yacob S. Fonataba, Velix V. Wanggai, Vernando Wanggai, dan Valentinus S. Sumito, Kamis (5/10).
Menurutnya, Pemerintah Pusat mempunyai kunci untuk melemahkan calon penjabat gubernur yang diusulkan DPR sesuai Permendagri No. 4 Tahun 2023 tentang penjabat gubernur, bupati, dan wali kota.
Lanjut dia, dalam Pasal 4, pengusulan penjabat gubernur dilakukan menteri, DPRD melalui ketua DPRD provinsi, dimana DPRD mengusulkan 3 nama, sehingga total ada 6 nama calon penjabat yang diusulkan.
Selanjutnya, jelas Wamafma, pada Pasal 5, disebutkan bahwa menteri melakukan pembahasan terhadap 6 nama, melibatkan kementerian atau lembaga pemerintah non kementerian, baik Mensesneg, Menpan RB, Sekretaris Kabinet, BKN dan BIN.
Kemudian, dari keenam nama tersebut, dikerucutkan menjadi 3 nama oleh menteri untuk diserahkan ke presiden. Selanjutnya, Presiden menetapkan 1 nama dari 3 nama yang diusulkan.
“Proses seperti itu sama saja dengan menihilkan ruang calon penjabat gubernur Papua Barat usulan DPR Papua Barat yang dibahas dalam rapat paripurna,” jelas Wamafma dalam press release yang diterima Tabura Pos via WhatsApp, kemarin.
Ditambahkannya, seharusnya ini menjadi pertanyaan, mengapa dalam Permendagri memberikan ruang bagi pemerintah ikut mengusulkan nama calon penjabat gubernur?
“Itu seolah memperlihatkan adanya kepentingan politik supaya penjabat gubernur harus sejalan dengan kata pemerintah. Padahal, Permendagri ini lahir karena putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 15/PUU-XX/2022,” ungkapnya.
Ia mengungkapkan, gugatan terhadap Pasal 201 Ayat 10 dan Ayat 11 UU No. 10 Tahun 2016, dalam pertimbangan hukumnya, MK menegaskan bahwa pemerintah harus memetakan kondisi riil masing-masing daerah dan kebutuhan penjabat kepala daerah dan juga memperhatikan kepentingan daerah.
Disebutkan Wamafma, MK kemudian memerintahkan supaya dibuat peraturan teknis tentang pengangkatan penjabat kepala daerah, sehingga lahirlah Permendagri No. 4 Tahun 2023.
“Perintah MK ini sebenarnya mau menegaskan bahwa DPR Papua Barat berikut usulannya merupakan representasi riil masyarakat Papua Barat. Nah, kalau pemerintah juga memberi usulan, lalu di mana ruang Otonomi Khusus itu,” tanya Wamafma.
Dirinya menerangkan, Pasal 4 dan 5, Permendagri tersebut sudah mengunci mati semua, sehingga dalam konteks Permendagri, tidak ada keharusan memakai usulan hasil rapat paripurna DPRD, karena menteri diperbolehkan mengusulkan 3 nama.
Wamafma mengungkapkan, jika hasilnya tidak sesuai usulan DPRD, tidak ada konsekuensi hukum lain, selain menerimanya. “Di sinilah kita orang Papua hanya bisa menjadi penonton di tanah sendiri,” sesalnya.
Untuk itu, ia meminta Kemendagri untuk mengingat bahwa secara politik, rakyat di daerah lebih mempercayai keputusan lembaga wakil rakyat dibandingkan usulan pemerintah.
Dari persoalan ini, lanjut dia, dalam konteks Otonomi Khusus, sudah terlihat bahwa secara perlahan, Pemerintah Pusat terkesan mengebiri kewenangan dan aspirasi rakyat Papua.
“Jadi saya ingatkan, jangan mengebiri Otsus Papua, terlebih di saat rakyat sedang tidak percaya,” tutup Wamafma. [*FSM-R1]