Dinilai Melebihi Tuntutan Kasus Tipikor, Humas PN: Lebih Tepat Ditanyakan kepada Penuntut Umum
Manokwari, TABURAPOS.CO – Terdakwa berinisial JCSC tidak kuasa menahan tangis setelah mendengar tuntutan yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Manokwari, Ibrahim Khalil, SH, MH, di Pengadilan Negeri (PN) Manokwari, Kamis (15/2/2024) sore.
Seorang perempuan yang didakwa atas dugaan pelanggaran Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan atau dokumen elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan atau pengancaman dengan korban seorang bupati, terus menangis dari dalam ruang sidang hingga ruang tunggu PN Manokwari.
Keluar dari ruang sidang, seorang keluarga terdakwa hanya bisa memeluk terdakwa sembari memberikan penguatan agar terdakwa kuat menjalani proses ini.
Seperti diketahui, JPU menuntut terdakwa berinisial JCSC dengan pidana penjara selama 5 tahun penjara.
Menurut JPU, terdakwa terbukti melanggar dakwaan kesatu primer, Pasal 45 Ayat 4 jo Pasal 27 Ayat 4 UU No. 19 Tahun 2016 Atas Perubahan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik jo Pasal 64 Ayat 1 KUHPidana.
Tuntutan JPU itu dibacakan dalam persidangan yang dipimpin majelis hakim yang diketuai, Dr. Markham Faried, SH, MH, didampingi hakim anggota, Berlinda U. Mayor, SH, LLM dan Rakhmat Fandika Timur, SH.
Humas PN Manokwari, Dr. Markham Faried, SH, MH mengatakan, sidang terhadap terdakwa berinisial JCSC yang digelar ini, beragenda pembacaan tuntutan JPU dan tuntutan sudah dibacakan.
“Pada pokoknya terdakwa dituntut dengan pidana penjara selama lima tahun dan denda Rp. 100 juta subsider tiga bulan kurungan,” kata Humas PN yang dikonfirmasi Tabura Pos usai persidangan, Kamis (15/2/2024).

Diakui Markham Faried bahwa terdakwa dituntut, terbukti melakukan tindak pidana dalam dakwaan kesatu primer, penuntut umum. “Jadi tuntutannya lima tahun dan denda Rp. 100 juta subsider tiga bulan kurungan,” jelas Humas PN.
Untuk agenda persidangan berikut adalah pembelaan dari penasehat hukum terdakwa, Yosep Malik, SH maupun terdakwa secara langsung, dilanjutkan tanggapan dari JPU. “Nanti setelahnya akan dilihat lagi, apakah majelis hakim memerlukan untuk bermusyawarah, putusan,” tandas Markham Faried.
Ditanya alasan penundaan sidang hanya berselang sehari, bukan seminggu ini terkait masa tahanan terhadap terdakwa yang akan segera berakhir?
“Iya, terkait masa tahanan yang sudah tidak bisa diperpanjang lagi, karena itu, majelis hakim mempersingkat waktu agenda persidangan, disesuaikan, karena ada hak-hak dari terdakwa,” ujar Humas PN.
Markham Faried menuturkan, terdakwa yang merupakan seorang perempuan, masuk kategori perempuan berhadapan dengan hukum, dimana ada Peraturan Makhamah Agung (Perma) tentang bagaimana menyidangkan perempuan yang berhadapan dengan hukum, baik berstatus terdakwa, saksi maupun korban, sehingga hak-haknya tidak ada yang dicederai.
Dicecar dengan tuntutan terhadap terdakwa yang dinilai terlalu tinggi, melebihi tuntutan penuntut umum terhadap terdakwa kasus tindak pidana korupsi (tipikor), padahal kasus yang didakwakan terhadap JCSC hanya kasus dugaan pelanggaran ITE?
“Kalau terkait tuntutan, tentu lebih tepat ditanyakan langsung kepada penuntut umum. Penuntut umum-lah yang mengajukan tuntutan dan ini ranahnya penuntut umum, apa pertimbangan penuntut umum menuntut penjara lima tahun,” katanya.
Diutarakan Humas PN, tuntutan tersebut menjadi ranah penuntut umum, bagian dan wewenang penuntut umum yang mengajukan tuntutan.
Di persidangan, Kamis (7/12/2023) malam, JPU menyebutkan bahwa terdakwa, JCSC, sejak 2022 sampai 9 September 2023 sekitar pukul 11.30 WIT atau setidak-tidaknya pada 2022 sampai 2023 di Kabupaten Manokwari atau di suatu tempat dalam wilayah hukum PN Manokwari, dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan atau mentransmisikan dan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan atau pengancaman, beberapa kali, dipandang sebagai satu perbuatan yang diteruskan yang dilakukan dengan cara sebagai berikut:
Diungkapkan JPU, sekitar 2022, saksi yang belakangan diketahui merupakan seorang bupati, berkenalan dengan seorang perempuan melalui aplikasi Telegram, yang mengaku bernama dengan inisial JC.
Kemudian, pertemanan tersebut berlanjut hingga ke aplikasi WhatsApp dan saksi ‘sang bupati’ pernah berkomunikasi dengan terdakwa via telepon. Lalu, terdakwa disebut pernah mengirimkan foto telanjangnya kepada saksi ‘sang bupati’.
Namun, lanjut JPU, saat itu terdakwa, JCSC belum mengetahui kalau saksi ini merupakan seorang bupati. Lantaran terdakwa pernah mengirimkan foto telanjang miliknya kepada saksi ‘sang bupati’, sehingga saksi ‘sang bupati’ berhenti menghubungi terdakwa.
“Karena saksi takut dengan adanya foto telanjang yang dikirimkan terdakwa kepada saksi digunakan untuk mengancam dan menjebak saksi,” jelas JPU dalam persidangan yang berlangsung terbuka untuk umum tersebut.
Setelah terdakwa mengetahui bahwa saksi adalah seorang bupati, terdakwa mengancam dan menjebak saksi ‘sang bupati’ akan menyebarkan atau memberitahukan kepada masyarakat yang dipimpinnya, termasuk terhadap istri dari ‘sang bupati’.
Terkait foto telanjang tersebut, terdakwa meminta dikirimkan uang sekitar Rp. 42 juta ke rekening BRI miliknya dan berjanji apabila saksi ‘sang bupati’ mengirimkan uang yang dimintainya, terdakwa tidak akan mengganggu dan menghubungi saksi dalam bentuk apapun.
Selanjutnya, terdakwa membuat surat pernyataan sendiri untuk tidak mengganggu dan menghubungi saksi ‘sang bupati’, sehingga pada 10 Mei 2022, saksi ‘sang bupati’ menyuruh saksi berinisial MD mengirimkan uang Rp. 42 juta yang diminta terdakwa melalui BRI secara cash.
“Setelah uang tersebut dikirim, lalu terdakwa mengirimkan saksi foto surat pernyataan yang dibuat terdakwa bermaterai Rp. 10.000, sehingga saksi percaya dan merasa sudah tidak ada permasalahan lagi,” tambah JPU.
Sementara di dalam sidang beragenda pemeriksaan saksi korban, sang bupati mengaku mengenal terdakwa melalui media sosial (medsos) dan membenarkan adanya pengancaman dan pemerasan yang dilakukan terdakwa.
Bahkan, sang bupati mengungkapkan, apabila ancamannya tidak dipenuhi, maka terdakwa mengancam akan diekspos. Ditegaskan sang bupati, dia dan terdakwa tidak pernah bertemu langsung, apalagi berbuat hal-hal yang berbau asusila.
Menurut saksi korban, tindakan yang dilakukan terdakwa ini juga telah mengancam keluarga, bahkan sang istri.
Dikatakan saksi korban, dalam ancamannya, terdakwa menyebutnya sebagai seorang pejabat yang suka main perempuan. “Dia juga bilang saya berhubungan sampai hamil, tapi kapan saya ketemu dia,” ujar saksi korban, dengan nada tanya.
Saksi korban melanjutkan, terdakwa mengancam secara langsung melalui Telegram dan ketika tidak dipenuhi, ancamannya langsung di-posting di Facebook dan media.
Diungkapkan sang bupati, terdakwa ini setiap kali minta uang sebesar Rp. 10 juta, Rp. 20 juta, dan pernah sampai Rp. 50 juta. “Pernah juga minta untuk beli truk, karena dia punya usaha, katanya,” ungkap saksi korban.
Soal kerugian yang dialami, sang bupati menyebut bahwa kerugian sekitar Rp. 300 juta lebih, bahkan hampir mencapai Rp. 400 juta.
Dikatakan saksi korban, sebenarnya dirinya tidak mempermasalahkan, tetapi keluarga juga menjadi korban, apalagi kerugiannya tidak sedikit, maka dia memutuskan untuk melaporkan kasus tersebut. “Saya juga jaga kredibilitas sebagai pejabat daerah,” tegas saksi korban. [TIM2-R1]