Sorong, TABURAPOS.CO – Ikhwanudin alias Abah (52 tahun), terdakwa kasus pencabulan sejumlah santrinya di Pondok Pesantren (Ponpes) Salafiyah Syafi’iyah, Kabupaten Sorong, dijatuhi hukuman pidana selama 12 tahun penjara, denda Rp. 1 miliar subsider 6 bulan kurungan, Rabu (21/2/2024).
Bukan itu saja, majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Sorong yang diketuai, Fransiskus Y. Babthista, SH dan dua hakim anggota masing-masing Bernadus Papendang, SH dan Rivai R. Tukuboya, SH, mewajibkan terdakwa membayar restitusi sebesar Rp. 59.216.500 terhadap ketiga korban.
Menurut majelis hakim, terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pencabulan terhadap anak sebagaimana Pasal 82 Ayat 1, Ayat 2, dan Ayat 4 jo Pasal 76 e UU No. 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.
Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Sorong, Katrina Dimara, SH menuntut Ikhwanudin dengan pidana penjara selama 12 tahun, denda Rp. 1 miliar subsider 3 bulan kurungan.
Dari pantauan Tabura Pos usai persidangan, keluarga seorang korban merasa kecewa atas putusan majelis hakim yang dinilai terlalu ringan, hanya 12 tahun penjara. Padahal, akibat dari perbuatannya, korban merasa trauma berat dan selalu ketakutan ketika melihat setiap pria dewasa, seusia dengan terdakwa.
“Korbannya tidak hanya satu orang, melainkan lebih dari lima orang. Saya harap putusan ini seharusnya bisa dipertimbangkan kembali. Saya hanya ingin memperjuangkan keadilan untuk anak perempuan saya, karena akibat kejadian tersebut, anak saya menjadi trauma parah,” kata D, ibu dari seorang korban, usai mendengarkan putusan majelis hakim.

Diungkapkan D, setiap malam, anaknya terbangun dan berteriak ketakutan, apalagi ketika bertemu dengan pria dewasa. “Saya harap ada pihak yang bisa membantu memperjuangkan keadilan untuk kami,” harapnya.
Sementara penasehat hukum terdakwa, Siti Umpain, SH mengaku menerima putusan majelis hakim. Secara pribadi, dirinya sebagai orangtua, tidak setuju dengan perbuatan terdakwa, Ikhwanudin.
Namun, lanjut dia, selaku penasehat hukum harus memberikan pembelaan terhadap terdakwa dalam persidangan sebagai bentuk profesionalisme dan memenuhi hak terdakwa untuk mendapatkan pendampingan dari pengacara.
“Pada prinsipnya, sebagai orangtua, kami juga pasti marah jika mendapat perlakuan seperti itu. Soal putusan majelis hakim, klien kami sudah menerima, tapi kalau keluarga korban keberatan, maka mereka boleh mengajukan banding,” kata Siti Umpain kepada para wartawan usai persidangan.
Ikhwanudin merupakan pimpinan Ponpes Salafiyah Syafi’iyah yang diduga telah menyetubui tiga orang santri. Aksinya terungkap setelah korban pertama melapor ke Polres Sorong pada 28 Agustus 2023, disusul dua korban lain sehari kemudian, 29 Agustus 2023.
Diungkapkan, korban pertama dicabuli dan disetubuhi beberapa kali oleh terdakwa sejak 2014 sampai pertengahan 2019, dimana ketika pertama kali dicabuli saat korbannya masih duduk di Kelas VII MTs.
Menurut Kapolres Sorong, AKBP Yohanes Agustiandaru dalam konferensi pers, Jumat, 15 September 2023 silam, korban ini disetubuhi Ikhwanudin sebanyak dua kali.
Pertama, dilakukan pertengahan 2019 saat korban duduk di Kelas XII MA, kemudian kejadian kedua dilakukan tersangka pada pertengahan 2019.
“Dengan dua TKP berbeda, ada yang di bagian belakang Ponpes, tidak jauh dari tempat menjemur pakaian asrama putri. Ada juga di kamar tidur tersangka,” ungkap Kapolres.
Lanjutnya, korban kedua dicabuli sebanyak satu kali sekitar 2017 ketika korban masih berusia 14 tahun. Setelah pencabulan tersebut, korban kedua juga disetubuhui sekali oleh tersangka pada 20 Agustus 2023.
“Tepatnya pukul 23.00 WIT bertempat di sebuah ruangan kosong yang tidak dipakai di asrama Ponpes, dimana saat terjadi persetubuhan pada korban kedua, dirinya sudah berusia 20 tahun,” jelasnya.
Sementara korban ketiga pernah dicabuli tersangka sebanyak lima kali. Kejadian pertama saat korban duduk di Kelas X MA. Kejadian tersebut berulang dalam kurun waktu yang tidak jauh berbeda.
“Kejadian pertama hingga ketiga dilakukan tersangka pada Februari 2021 dengan TKP di belakang asrama putri. Kejadian keempat dan kelima dilakukan pada Maret 2021 dengan TKP yang sama,” rincinya.
Setelah melakukan pengembangan dan penyelidikan atas tiga laporan polisi, diketahui masih ada dua santri lagi yang menjadi korban.
Ia menjelaskan, kasus pencabulan terungkap sejak ada LP dari korban pertama. Sesuai keterangan, pada Rabu, 23 Agustus 2023 sekitar pukul 23.00 WIT, Ikhwanudin memanggil korban pertama, tetapi ditolak. Akhirnya, tersangka mendatangi korban di kamarnya dan menyiramkan air.
Lanjut Kapolres, tersangka juga melakukan kekerasan dengan menjambak rambut korban. Keesokan harinya, Kamis, 24 Agustus 2023, korban pertama ini bercerita kepada temannya, lalu temannya menelpon dan memberitahukan kejadian tersebut kepada orangtua korban pertama, sehingga orangtuanya menarik anaknya dari Ponpes dan melaporkan kejadian itu ke Polres Sorong. “Dari situ dilakukan penelusuran hingga ditemukan korban lain,” kata Kapolres.
Modus dari kejadian ini, ungkap Kapolres, untuk memenuhi hasrat tersangka, karena korban sering bertemu tersangka. Di samping itu, kata dia, kadang para korban membersihkan kios di rumah tersangka dan membantu memasak.
Diduga, katanya, saat rumah sepi, karena keluarga tersangka pun sedang keluar, maka momen tersebut dimanfaatkan tersangka melancarkan aksinya.
“Ada juga ketika sudah malam hari, tersangka memanggil korban dan untuk bertemu di tempat yang sudah ditentukan oleh tersangka, sehingga terjadi persetubuhan maupun pencabulan tersebut,” terangnya.
Untuk memuluskan aksinya, terdakwa melakukan pengancaman verbal terhadap korban, karena status tersangka adalah pengasuh pada Ponpes.
“Alasan itu yang membuat para korban bungkam, sehingga dalam kurun waktu cukup lama, korban tidak berani melaporkan kejadian itu. Apalagi hal ini dianggap sebagai aib bagi korban, sehingga mungkin ada rasa malu mengungkap atau melaporkan kejadian ini kepada siapa pun,” tutup Kapolres. [CR24-R1]