Manokwari, TP – Akhirnya, penyidik Kejati Papua Barat menetapkan FDJS, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi Papua Barat, menjadi tersangka, Jumat (1/3/2024).
Penetapan FDJS menjadi tersangka atas dugaan tindak pidana korupsi (tipikor) penyalahgunaan Dana Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) Berdasarkan Beban Kerja PNS dan Belanja Tunjangan Khusus pada Disnakertrans Tahun Anggaran 2023.
Sebelum ditetapkan menjadi tersangka, FDJS menjalani proses pemeriksaan sebagai saksi kurang lebih 6 jam di Kejati Papua Barat, mulai pukul 10.00 WIT hingga pukul 16.22 WIT.
Menurut Kajati Papua Barat, Harli Siregar, FDJS ditetapkan menjadi tersangka setelah upaya pengumpulan bukti serta menemukan fakta yang kuat dan cukup untuk menetapkan status tersangka.
Setelah penetapan tersangka, kata dia, FDJS akan menjalani masa penahanan di Lapas Kelas II B Manokwari selama 20 hari ke depan.
Dikatakannya, penahanan terhadap FDJS dilakukan untuk mempercepat proses penyidikan, setelah mempertimbangkan syarat subjektif dan objektif, di samping melakukan perhitungan kerugian keuangan negara atau daerah.
Siregar menambahkan, penetapan tersangka FDJS ini akan menjadi pintu masuk atas laporan pengaduan lainnya. “Pada proses ini, upaya-upaya yang sudah dilakukan yakni menetapkan yang bersangkutan sebagai tersangka dan menahan yang bersangkutan,” kata Kajati kepada para wartawan di Kejati Papua Barat, kemarin.
Ditanya soal peran FDJS, kata Kajati, dalam kasus ini, tersangka berperan sebagai Kepala Disnakertrans Provinsi Papua Barat, sekaligus kuasa pengguna anggaran (KPA).
Ia menjelaskan, dengan kewenangan yang ada padanya, yang bersangkutan diduga menyalahgunakannya, kemudian dana-dana tersebut akhirnya bisa dikeluarkan dan seharusnya itu menjadi sisa, tetapi diambil untuk digunakan demi kepentingan pribadinya.
Ditambahkan Kajati, untuk motif dan modusnya, penyidik akan melakukan penggalian guna membuat perkara ini menjadi lebih terang, dari mana arus masuk dana itu, lalu ke mana dana itu keluar.
“Sampai saat ini, penyidik dengan fakta-fakta yang ada dan bukti permulaan yang cukup, menetapkan yang bersangkutan, karena beliau sebagai KPA. Nanti kita lihat, karena biasanya KPA perintah-perintah kepada bawahannya, apakah ada kerja sama yang kuat, nanti kita lihat,” terang Kajati.
Menurut Siregar, akibat perbuatan tersangka dalam perkara ini, diduga menyebabkan kerugian keuangan negara atau daerah sebesar Rp. 1.074.118.209 berdasarkan perhitungan akuntan publik, dimana nilai tersebut seharusnya dikembalikan ke kas daerah, tetapi itu seolah-olah sudah digunakan.
“Ini menjadi catatan penting, bukan persoalan nilai kerugiannya, tetapi yang paling utama adalah hak-haknya pegawai, tapi tidak dilakukan. Ini mencederai rasa keadilannya, padahal selaku KPA, selaku pimpinan OPD, seharusnya memikirkan kesejahteraan, tetapi ini dilakukan untuk kepentingan yang tidak sesuai. Saya kira ini harus menjadi pembelajaran bagi pemimpin siapa pun di tanah ini,” tandas Kajati.
Dalam kasus ini, tersangka diduga melanggar Pasal 2 Ayat 1 jo Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat 1 Ke-1 KUHP dan Pasal 3 jo Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat 1 Ke-1 KUHP. [AND-R1]