Manokwari, TP – Sekretaris Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) Provinsi Papua Barat, Melkias Werinussa menyebut, perdagangan saat ini terlalu terbuka, bahkan terkadang barang masuk dan keluar tanpa diketahui.
Untuk itu, kata Werinussa, perlu pembentukan tim, bukan hanya di tingkat kabupaten, tetapi juga di provinsi serta penyusunan proyeksi neraca pangan sebagai upaya mengantisipasi penanganan terhadap masalah pangan, pemenuhan ketersediaan dan pasokan pangan serta dalam upaya stabilisasi harga pangan.
Menurut Asisten II Setda Provinsi Papua Barat ini, neraca pangan akan menghasilkan kebijakan, bagaimana penanganan terhadap masalah pangan, apakah barang itu didatangkan antar-pulau atau tidak.
“Tapi, pangan kita itu kadang-kadang keluar tanpa kita ketahui,” ungkap Werinussa dalam Sosialisasi dan Bimbingan Teknis Penyusunan Proyeksi Neraca Pangan Wilayah, di salah satu hotel di Kabupaten Manokwari, Kamis (25/4).
Ditegaskannya, neraca pangan sangat penting untuk mengetahui posisi kebutuhan pangan daerah dan seperti apa proyeksi daerah. Namun, sambung Werinussy, jika dilihat kondisi perdagangan saat ini terlalu terbuka dan terkadang tidak bisa diketahui.
Misalnya, ia menjelaskan, barang didatangkan dari mana, siapa pengirim, kemudian tujuannya, apakah memang kebutuhan atau kondisi harga dan lain sebagainya.
Artinya, ia menjelaskan, dengan neraca pangan ini, bisa diketahui berapa kebutuhan, berapa produksi, dan seperti apa ketahanan pangan, termasuk bagaimana bisa menjaga fluktuasu harga dan stok.
“Ini juga penting bagaimana peran instansi terkait, seperti Karantina Pelabuhan, kita perlu bicara sama-sama. Ketika ada barang masuk atau keluar itu, kita bisa tahu, kita pantau. Ada banyak pintu masuk lewat darat juga bisa kita punya cabai, ikan laut, itu bisa keluar atau masuk, kita tidak tahu. itu tidak bisa terpantau, hanya tiba-tiba kita kaget di pasar sudah kurang dan harganya sudah melonjak. Lalu cara mengantisipasnya, kita tidak pernah bicara itu barang,” ungkap Werinussa.
Menurutnya, peran dinas dan instansi terkait, mulai tingkat kabupaten sampai provinsi, sangat penting dan cukup strategis dalam berkolaborasi memproyeksi neraca pangan agar ke depan bisa menjaga ketersediaan pangan, minimal tiga bulan ke depan.
“Kalau lebih dari tiga bulan, nanti dibilang ada penimbunan. Jadi, di gudang itu hanya sampai batas tiga bulan, tidak boleh lebih, karena di gudang juga diatur, ada undang-undangnya,” ujar Asisten II.
Dirinya mencontohkan, saat ini komoditi yang menimbulkan angka inflasi paling tinggi adalah beras dan ikan tongkol. Tercatat sekitar 460 sekian itu komoditi yang menimbulkan bobot inflasi paling tinggi beras dan ikan tongkol.
Misalnya, ungkap dia, jika beras saja, satu komoditi mengalami kenaikan, itu bisa menimbulkan angka inflasi tinggi, padahal angka inflasi ini secara nasional harus sama-sama bisa dijaga.
“Ini yang menjadi catatan kita, karena kebetulan saya juga Sekretaris Tim TPID, jadi saya menganggap penting. Kebetulan tim TPID, beberapa waktu lalu, sempat mendapatkan penghargaan dari Kemendagri melalui Kementerian Keuangan, alokasi dana yang cukup, karena kita bisa menjaga angka inflasi di bawah angka 3,” terang Werinussa.
Ia menambahkan, ketersediaan pangan tidak bisa diatasi oleh sektor pemerintahan semata, tetapi butuh kolaborasi, seperti misalnya pelaku usaha harus bisa dirangkul sebagai mitra.
Diharapkannya, setelah neraca pangan ada, maka ke depan harus ada kebijakan atau bisa mengambil keputusan untuk bisa segera melakukan kerja sama dengan provinsi lain sebagai suplai untuk ketahanan pangan saat komoditinya tidak ada.
Tidak itu saja, kerja sama juga harus bisa terjalin antara provinsi dan kabupaten serta kabupaten dan kabupaten.
“Kita sendiri agak susah masuk kepada teman-teman yang sedang berinvestasi sekarang, karena kita punya kontinuitas produksi tidak bisa kita jamin. Kita tidak bisa penuhi, itu jadi masalah,” ujarnya.
Untuk itu, sambung Werinussa, provinsi membutuhkan suplai data yang cukup dan baik dari kabupaten, karena ketika data itu error sedikit saja, kebijakan yang diambil akan salah.
“Pastikan pengambilan data dengan benar agar saat diolah bisa menghasilkan kebijakan yang tepat,” pinta Werinussa. [AND-R1]