Manokwari,TP – Kebun Kelapa Sawit dan hak pengusahaan hutan (HPH) merupakan dua hal yang berbeda, baik dalam pengelolaan maupun pemanfaatan hasil hutan. Ibarat memakai tiket kapal untuk bepergian menumpangi pesawat terbang.
“Ya, tidak mungkin bisa,” tegas Intelektual Muda Papua, Yose R. Papuana Mayor, S.Hut menanggapi pernyataan resmi Menteri Investasi, Bahlil Lahadalia terhadap video dan gambar bertema “All Eyes On Papua” yang viral di media sosial belakangan ini.
Seperti yang disiarkan sejumlah media nasional, Jumat 7/6/2024 bahwa, Bahlil meminta masyarakat tidak terjebak dengan sekelompok orang yang tidak ingin Indonesia maju.
Ia menyebut hutan di Merauke bukan hutan adat yang mencakup hak pengusahaan hutan (HPH).Menurut Bahlil, HPH merupakan hak pengusahakan hutan termasuk kegiatan penebangan kayu, permudaan, pemeliharaan hutan, pengolahan dan pemasaran hasil hutan sesuai rencana kerja pengusahaan sesuai ketentuan berlaku dan berdasarkan asas kelestarian hutan serta asas perusahaan.
Dijelaskan Mayor, sebenarnya HPH bukan pemilik hak ulayat, mereka hanyalah pengelola areal dengan batas waktu tertentu dari masyarakat hukum adat sebagai pemilik yang sah.
“Jadi bagi saya statement yang dikeluarkan Menteri investasi sangatlah tidak logis dan sangatlah keliru, masa bukan hak masyarakat adat karena itu adalah areal eks HPH,” terang kepada wartawan via sambungan teleponnya, Sabtu (8/6/2024).Menurut Mayor, investasi itu penting namun hak-hak masyarakat adat jangan dikebiri. Jangan karena kepentingan kelompok-kelompok tertentu akhirnya hak-hak masyarakat adat dikorbankan.
Seharusnya, Ketua Satgas Swasembada Gula dan Bioetanol bertemu bersama tokoh-tokoh adat dari suku Awyu dan Moi yang saat ini berjuang di Jakarta menuntut hak atas tanah adat mereka, bukan bersuara lewat media.
“Sebelum kebun sawit beroperasi, tentunya semua potensi hutan yang ada dalam areal itu akan dibersihkan hingga rata tanah. Lalu, dimulai penataan dan penanaman,” ujar Mayor.
Namun, perlu diingat bahwa, kondisi hutan pasca pembersihan itu tidak akan kembali nomal dan alami seperti kondisi awal, sebab keseluruhan areal akan diganti dengan pohon Sawit.
Ditambahkan Alumni Fakultas Kehutanan Unipa ini bahwa, kawasan itu bukan areal yang kecil, areal konsesi perkebunan sawit pada 2 tempat yang berbeda ini memiliki luasan yang tidak tanggung-tanggung.
Dimana, luas areal itu seluas 18.000 hektar dan 36.000 hektar, tentunya banyak potensi hutan yang akan hilang, baik tumbuhan, jalur satwa, flora, fauna endemik dan berpengaruh pada daya filter alami terhadap emisi karbo, termusuk nilai-nilai budaya. “Kalau kita kaji dari pendekatan etika lingkungan berapa banyak hak tumbuhan dan hewan untuk hidup yang dirampas akibat hal tersebut,” ujar Mayor.
Pembukaan areal seluas itu, lanjut dia, berpotensi menghilangkan 25 Juta Ton CO2. Artinya, Papua sebagai penyumbang emisi 5% pada tahun 2030, hal ini akan berdampak pada kehidupan masyarakat dunia karena panas global yang terus meningkat.
Mayor mengapresiasi inisiatif kelompok yang berkampanye di media sosial untuk menolak perkembunan sawit tersebut, dengan tema “All Eyes On Papua” Dirinya berharap, kampus-kampus yang ada di tanah Papua khusunya dan seluruh Indonesia tidak tinggal diam, tetapi ikutserta mengkaji secara metolodogi dan berusara sebagai wujud agen of control kepada kebijakan pemerintah. Mayor menyarankan, Menteri Investasi tidak hanya melihat kepentingan investasi.
Namun dapat melihat lebih luas tentang dampak bagi lingkungan dan kehidupan akibat dari invetasi.
“semua pihak diharapkan lebih jelih dan serius melihat persoalan ini terutama civitas akademi harusnya lebih kritis sikapi kebijakan negara yang mengatasnamakan hajat hidup orang banyak,” pungkas Mayor. [FSM]