Manokwari, TP – Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Manokwari diharapkan tidak mengesampingkan putusan adat yang dimasukkan sebagai pembelaan dalam memeriksa dan memutuskan suatu tindak pidana.
Majelis Peradilan Adat Papua (DAP) Wilayah III Doberay, Henoch I. Rumansara mengatakan, selain hukum positif, para hakim wajib melihat putusan adat sebagai rujukan pertimbangan untuk memutuskan dan menjatuhkan hukuman.
Terlebih, kata dia, terdakwa dan korban masih berusia anak-anak serta mempunyai kesempatan memperbaiki perbuatannya untuk masa depannya yang lebih baik.
Ia mengatakan, putusan Dewan Adat mempunyai kekuatan hukum yang diakui Undang-undang Otonomi Khusus (Otsus), sehingga mempunyai kedudukan yang sama dengan hukum positif.
Ditambahkan Rumansara, dengan adanya putusan adat, membuktikan suatu masalah telah disepakati, diselesaikan secara kekeluargaan antarkeluarga pelaku dan korban, sehingga tidak ada lagi masalah.
“Putusan adat ini mengandung kerukunan, kedamaian, dan ketentraman semua suku yang merupakan bentuk toleransi atas kearifan lokal masyarakat adat yang terjalin selama ini, sehingga hakim harus melihat hal ini dan tidak mengesampingkan putusan adat,” kata Rumansara kepada Tabura Pos di PN Manokwari, Selasa (25/5/2024).
Ia mencontohkan kasus yang dialami terdakwa RH dan korban M yang berproses di PN Manokwari. Keduanya, kata dia, sama-sama masih di bawah umur dan masih mempunyai masa depan.
Menurutnya, kasus ini sudah diselesaikan secara adat yang diketahui dan disepakati masing-masing kepala suku.
Dirinya membeberkan, keluarga RH sudah memenuhi hukum adat dengan membayar denda sebesar Rp. 100 juta dan 1 ekor babi serta RH bersedia bertanggung jawab atas perbuatannya bersama korban.
“Sanksi secara adat, terdakwa sudah penuhi dan keluarga kedua pihak sepakat diselesaikan secara kekeluargaan, sehingga demi kesejahteraan antara kedua pihak, maka kami harap terdakwa dibebaskan dari segala hukuman dari putusan hakim,” pintanya.
Dikatakannya, jangan sampai hukum positif membuat masa depan terdakwa sirna karena harus dipenjara, padahal kesalahan yang dilakukan masih bisa diperbaiki di hari esok. [SDR-R1]