Manokwari, TP – Oknum DPRD Kabupaten Fakfak berinisial AGIB yang diduga terlibat dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi (tipikor), ternyata belum ‘disentuh’ penyidik Kejari Fakfak, menjadi pertanyaan publik.
Padahal dalam perkara ini, sudah ada dua orang yang diproses hukum dan perkaranya sudah inkrah atau berkekuatan hukum dari Pengadilan Tipikor Papua Barat di Manokwari atas terpidana, Erwin C.D. Sahetapy dan Muhammad Nur Namudat.
Oknum DPRD Fakfak di dalam persidangan, terungkap ikut ‘menikmati’ uang sebesar Rp. 50 juta terkait pengadaan perahu fiber Kasko 40 PK dan mesin tempel 50 PK di Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Fakfak Tahun Anggaran 2022 sebesar Rp. 169.823.791.
Uang yang sempat ‘dinikmati’ oknum DPRD Fakfak ini, akhirnya dikembalikan setelah pihak Kejari Fakfak menyidangkan perkara atas kedua terdakwa. Ironisnya, pihak kejaksaan sampai sekarang terkesan belum memproses hukum AGIB yang bebas berkeliaran dengan sejumlah pertimbangan.
Sejumlah pertimbangan terhadap oknum DPRD Fakfak berinisial AGIB, yakni keturunan raja, akan maju kembali sebagai anggota DPRD, dan sudah mengembalikan kerugian keuangan negara sekitar Rp. 50 juta yang sempat ‘dinikmatinya’.
Pertimbangan pihak Kejari Fakfak belum memproses hukum AGIB, oknum DPRD Fakfak dengan sejumlah pertimbangan, ditanggapi serius praktisi hukum, Paulus K. Simonda, SH.
“Sebelum dan sampai menjadi praktisi hukum, saya belum pernah mendengar karena dia keturunan keraton, keturunan raja, atau keturunan siluman apa ka, tidak bisa diproses hukum,” kata Simonda kepada Tabura Pos di Pengadilan Negeri (PN) Manokwari, Senin, 8 Juli 2024.
Dikatakannya, asas hukum di Indonesia menganut equality before the law (kesamaan di hadapan hukum) dan rule of law atau hukum harus tegak lurus, tidak boleh menyamping ke kiri atau ke kanan.
“Siapa pun itu, harus ditindak dan apa pun jabatannya. Anehnya, ini lucu, kajari ini belajar hukum nggak ya? Masa dia mengatakan bahwa ada pertimbangan karena dia keturunan raja. Wow,” kata Simonda.
Dengan adanya pertimbangan itu, kata dia, maka banyak orang akan mengaku keturunan raja atau keturunan keraton agar tidak diproses hukum. “Dampak negatifnya di situ, harus hati-hati. Pak kajari harus berpikir dalam mengeluarkan pernyataan ini, tidak boleh sembarang,” harapnya.
Selain itu, tambah Simonda, pertimbangan yang bersangkutan akan maju sebagai anggota DPRD, juga akan memicu dampak hukum yang tidak baik di negara ini.
“Kenapa, orang bisa mengaku ketika ada pidana, mengaku saya keturunan raja ini atau mau maju calon anggota dewan, sehingga berdampak. Ini bicara di publik loh,” katanya mengingatkan.
Untuk itu, ia meminta pihak Kejati Papua Barat dan Kejaksaan Agung (Kejagung) RI melakukan pemeriksaan, mengapa kasus dugaan tipikor yang diduga melibatkan oknum DPRD Fakfak belum diproses hukum oleh pihak Kejari Fakfak.
“Tolong periksa. Ini berdampak buruk dalam proses penegakan hukum. Kalau begini, oh enak, saya juga bisa mengaku keturunan raja dari mana ka, dari Tidore ka atau sultan dari keraton Solo ka. Kan bisa, bisa saja terjadi, jadi hati-hati, karena dampaknya buruk dalam penegakan hukum,” tukasnya.
Simonda menjelaskan, cukup ironis lagi, hal yang tidak sesuai aturan hukum, justru dilakukan penegak hukum. Bukan hanya lucu saja, sambung dia, selama hidupnya, baru mendengar pernyataan seperti ini dilontarkan seorang kajari, keturunan raja menjadi pertimbangan tidak diproses hukum.
Ditanya soal alasan oknum DPRD tersebut sudah mengembalikan kerugian keuangan negara? Simonda menegaskan, pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghentikan atau menghapus delik tindak pidana, apalagi korupsi.
“Itu jelas dan memang tidak bisa dibantah oleh siapa pun. Apalagi ini sudah ada dua orang yang diproses hukum dan kasusnya sudah berkekuatan hukum tetap atau inkrah. Jadi harus ada keadilan dong. Masa yang dua orang diproses, yang satu orang ini, tidak diproses hukum,” ujar Simonda.
Diungkapkannya, jika benar hal tersebut yang diterapkan, tentu proses penegakan hukum di negara ini tidak adil dan tebang pilih.
“Tajam ke bawah, tumpul ke atas. Jangan karena alasan keturunan raja, tajam ke bawah, tumpul ke atas. Tidak bisa begitu,” katanya mengingatkan.
Simonda menjelaskan, yang tidak bisa dihukum hanya satu, Tuhan, sedangkan selebihnya dari itu, apalagi manusia, tentu semua bisa diproses hukum. “Tidak ada manusia yang bisa menghukum Tuhan, tapi yang namanya manusia, hukum berlaku,” ujarnya.
Dirinya pun bertanya, apakah sekarang ini masih ada kerajaan dalam sistem pemerintahan di Indonesia? “Setahu saya tidak ada raja deh. Setahu saya kalau di Papua, hanya kepala suku. Terus, muncul keturunan raja, ini dari siapa? Intinya begini, jangan buat hal yang lucu dan orang akan bertanya, belajar hukum ka tidak?,” katanya.
Menurut Simonda, semua pertimbangan yang disampaikan pihak Kejari Fakfak, yakni keturunan raja, mau maju sebagai anggota DPRD, dan telah mengembalikan kerugian keuangan negara, tidak bisa diterima, sehingga oknum DPRD Fakfak, AGIB, harus diproses hukum seperti kedua terpidana lain.
“Pengembalian kerugian negara tidak menghapus atau menghentikan pidana, hanya meringankan hukuman,” tegas Simonda.
Di samping itu, Simonda mengungkapkan, tidak ada surat edaran dari Kejagung tentang pengembalian kerugian keuangan negara Rp. 50 juta, tidak diproses hukum. Sepengetahuannya, memang ada imbauan bahwa kerugian negara di bawah Rp. 50 juta, bisa diselesaikan dengan mengembalikan kerugian negara.
Ia menjelaskan, memang ada pertimbangan mekanisme ini dipilih sebagai upaya pelaksanaan proses hukum secara cepat, sederhana, dan berbiaya ringan.
“Kan ongkosnya besar kalau memproses tindak pidana korupsi. Kalau di bawah Rp. 50 juta, kan negara justru rugi. Tapi kalau di atas Rp. 50 juta, harus diproses,” tukasnya.
Sebelumnya, Kajari Fakfak, Jhon I. Malamassam tidak menampik adanya dugaan keterlibatan oknum DPRD Fakfak berinisial AGIB yang belum diproses hukum, seperti kedua terpidana, Erwin Sahetapy dan Muhammad Nur Namudat.
Dikatakan Malamassam, informasi terkait dugaan tersebut memang ada, tetapi oknum tersebut telah mengembalikan uang Rp. 50 juta. Diakuinya, Aspidsus Kejati Papua Barat telah menanyakan hal tersebut.
“Kebetulan saya baru sebulan, terus saya tanyakan ke Pidsus. Informasinya memang ada keterlibatan, tetapi yang bersangkutan sudah mengembalikan. Kalau tidak salah sebesar Rp. 50 juta lebih. Ada transfer ke dia, tapi dia sudah mengembalikan,” jelas Kajari yang dikonfirmasi Tabura Pos di Bandara Rendani, Manokwari, Jumat, 5 Juli 2024.
Malamassam mengatakan, berdasarkan surat edaran dari Jaksa Agung, maka pihaknya tidak akan memperkeruh suasana, apalagi oknum yang bersangkutan, pertimbangannya salah satu keturunan raja dan akan maju kembali sebagai anggota DPRD.
“Jadi, petunjuk dari pimpinan kita, jangan membuat gaduh, tapi kan dia sudah berniat baik untuk mengembalikan,” kata Malamassam.
Ditambahkan Kajari, seandainya yang bersangkutan tidak mengembalikan, maka kemungkinan pihaknya mempertimbangkan setelah selesai pilkada. “Ini kan menjelang pilkada, jadi kita harus jaga situasi. Mungkin itu intinya,” tandas Malamassam. [HEN-R1]