Manokwari, TP – Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Papua Barat mengungkapkan adanya informasi pihak sekolah yang menjual buku pelajaran setelah penerimaan peserta didik baru (PPDB).
Kepala Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Papua Barat, Musa Y. Sombuk menegaskan, perseorangan atau sekolah, dilarang menjual buku. Sekolah, kata dia, hanya menentukan paket buku yang disediakan agar masyarakat bisa membeli buku di tempat yang memang menjual buku.
“Dalam Permendikbud Nomor 2 Tahun 2008, pihak sekolah dilarang menjadi pengencer atau menjual buku kepada peserta didik,” kata Sombuk kepada Tabura Pos di ruang kerjanya, Selasa (16/7/2024).
Ia membeberkan, informasi yang diterima Ombudsman, pihak sekolah menjual satu paket buku senilai Rp. 250.000 hingga Rp. 300.000.
Oleh sebab itu, ia menegaskan, sekolah dilarang menjadi pengencer atau menjual buku, hanya menentukan judul buku, penulis, dan penerbit, nanti masyarakat yang mencari di pasaran.
Ditanya apakah ada penekanan terhadap para siswa dan siswi untuk harus membeli buku? Sombuk mengatakan, target pasarnya ke siswa atau siswi baru dan biasanya dimasukkan ke dalam kewajiban orang tua membeli.
“Pertama, sekolah dilarang, tetapi sekolah di posisi memiliki kuasa untuk meminta siswa untuk membeli. Bagi mereka yang melakukan hal itu, kami akan menelusurinya,” ungkap Sombuk.
Jika Ombudsman menemukan yang bersangkutan, tambah Sombuk, maka secara bertahap akan diminta agar yang bersangkutan tidak menjual buku. Namun, sambung dia, jika yang bersangkutan masih tetap melakukan aktivitas menjual buku, maka akan didorong akan pelanggaran administrasi, bahkan tindak pidana.
Ia berharap pihak sekolah lebih bijaksana, sehingga tidak ada penjualan buku-buku di sekolah, karena pihak sekolah dilarang menjual buku terhadap peserta didik.
Seragam Sekolah
Ia menambahkan, terkait seragam sekolah, sudah ada kemajuan dibandingkan tahun lalu. Sebab, kata dia, sudah ada pihak sekolah yang mengembalikan seragam sekolah maupun pramuka ke orang tua.
Namun, lanjut Sombuk, untuk seragam batik dan olahraga, masih dikelola sekolah atas dasar pembicaraan dengan komite, dimana komite mengakomodirnya dengan alasan spesifik.
“Nah, persoalan lainnya terkait harga. Harga seragam batik dan olahraga ini masuk akal atau tidak? Kita dapati di salah satu SD di Manokwari, kedua jenis seragam ini harganya Rp. 750.000. Dari monitoring kami, harga itu sudah disetujui,” tambah Sombuk.
Persoalannya, kata dia, bagaimana jika peserta didik tidak mampu dan bagaimana memenuhinya, apakah perlu dicicil atau seperti apa?
“Pada bagian ini, komite harus bijaksana melihat, apakah ada subsidi silang bagi yang tidak mampu? Inilah yang perlu kita sampaikan agar orang tua peserta didik bisa memahami. Ini di SD dan SMP, untuk SMA atau SMK, kita belum lihat,” pungkas Sombuk. [FSM-R1]