Manokwari, TP – Biji coklat (kakao) Ransiki produk PT Eiber Suth Cokran Kabupaten Manokwari Selatan (Mansel), akhirnya mengantongi sertifikasi Standar Nasional Indonesia (SNI), dari Badan Standarisasi Instrumen Pertanian (BSIP) Papua Barat.
Direktur Muda Manajemen Pemasaran dan Komunikasi PT Eiber Suth Cokran Mansel, Febri Sumbung mengatakan, sertifikasi SNI baru diperoleh Juli bulan ini yang dikeluarkan oleh BSIP Papua Barat, setelah melalui proses sejak tahun 2023 lalu.
“Biji coklat Ransiki sampai saat ini walaupun penjualannya sudah sampai ke luar negeri kita belum punya standar. Kita coba koordinasi bagaimana untuk lolos SNI biji kakao Ransiki. Proses pengurusannya sudah sejak tahun lalu dan di bulan Juli ini kita sudah bisa menerima sertifikasi SNI,” ujarnya kepada Tabura Pos di Kantor BSIP Papua Barat, belum lama ini.
Dengan sudah mengantongi sertifikasi SNI, maka biji coklat Ransiki, Kabupaten Mansel secara mutu sudah sangat terjamin.
Febri mengatakan, saat ini PT Eiber Suth Cokran Kabupaten Mansel sedang berproses untuk meningkatkan produksi. Di samping itu, pihaknya juga sedang beralih dari sistem bertani konvensinal ke sistem organik.
Dia menjelaskan, PT Eiber Suth Cokran memiliki lahan seluas 2.000 hektar hasil pinjam pakai dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Mansel.

Di mana, dari 2.000 hektar itu, 1.200 hektarnya dimanfaatkan sebagai perkebunan kakao dan komoditas lain. Sedangkan, 800 hektar sisanya dimanfaatkan untuk daerah konservasi.
Febri menerangkan, di atas lahan seluas 1.200
dulunya terdapat pohon kakao yang sudah tua dengan umur sekitar 35 sampai 45 tahun. Di mana, 200 hektarnya sudah direhabilitasi.
“Jadi coklat tua yang masih ada kita remajakan kembali dan yang sudah mati kita tanam kembali dengan target tumbuh sekitar 850 pohon per hektar untuk mencapai produksi,” jelasnya.
Dia mengungkapkan, untuk saat ini, produksi masih cukup di bawah dengan rata-rata produksi pada 200 hektar yang sudah terehabilitasi, yaitu sekitar 30 ton biji kakao kering per tahun.
Menurutnya, jumlah produksi ini masih di bawah target karena beberapa faktor, pertama- proses bertani konvensional yang dulu menggunakan eksternal input, seperti pupuk, kimia. Akan tetapi, sekarang dalam tahap organik.
Febri menambahkan, dengan proses rehabilitasi dan tahapan organik ini, pasti ada penurunan produksi meskipun tidak sampai seratus persen.
“Sekarang kita sedang upaya bagaimana caranya agar satu hektar itu bisa full tumbuh 850 pohon dan jika proses organik ini sudah berjalan 3-5 tahun dan dynamic agroforestry terimplementasi dengan baik sehingga kebun itu recovery secara alami kita harapkan produksi bisa naik,” jelasnya.
Direktur Muda Manajemen Pemasaran dan Komunikasi PT Eiber Suth Cokran Mansel ini mengatakan, sampai saat ini masih dilakukan pengiriman ke luar rata-rata produksi yang sudah divermentasi dari kebun PT Eiber Suth Cokran sekitar 30 sampai 35 ton biji kakao kering per tahunnya.
Menurutnya, produksi itu masih di bawah target untuk jangka menengah yang dipasang rata-rata sebanyak 500 ton per tahun.
Akan tetapi, dirinya yakin, dalam jangka 5 sampai 10 tahun kedepan pada saat 1.200 hektar sudah proses rehabilitasi dan bisa berproduksi 70 sampai 100 persen, maka target produksi 500 ton biji kering kakao per tahun bisa tercapai. [SDR-R3]