Manokwari, TP – Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU-KPK) berpantun dalam agenda replik, menanggapi pembelaan (pledoi) terdakwa, Patrice L. Sihombing dan penasehat hukumnya di Pengadilan Tipikor Papua Barat pada Pengadilan Negeri (PN) Manokwari, Rabu (31/7/2024) pagi.
Pantun pertama dikatakan ‘menepuk air didulang, terpercik ke muka sendiri’. Peribahasa itu rasanya tepat disampaikan kepada terdakwa yang dalam nota pledoinya menyampaikan pembelaan dengan penuh emosi dan amarah.
Emosi dan amarah tersebut dengan sendirinya menunjukkan sifat dan karakter asli terdakwa yang selama persidangan disembunyikan dan ditutup-tutupi.
JPU membeberkan, terdakwa selaku Kepala BPK Perwakilan Papua Barat, sekaligus penanggungjawab Tim Pemeriksa pada saat melaksanakan tugas negara, justru meminta-minta proyek kepada entitas yang diperiksa di Kabupaten Teluk Bintuni, menitipkan orang terdakwa untuk bekerja sebagai konsultan di Kabupaten Sorong dan puncaknya adalah pada saat terdakwa meminta dan menerima uang dari para entitas yang diperiksanya. “Semuanya bermotif untuk mencari keuntungan pribadi terdakwa dan koleganya,” tambah JPU.
Selanjutnya, beber JPU, tuntutan selama 7 tahun dan 3 bulan penjara, rasanya sudah adil dengan harapan dapat diterima oleh terdakwa dan terdakwa dapat bertobat serta memperbaiki diri setelahnya.
Namun justru terdakwa dan penasehat hukum meminta terdakwa dibebaskan dengan dalih melempar kesalahan dan tanggung jawab kepada bawahan terdakwa. “Tentu seorang pemimpin sejati tidak akan melakukan hal yang demikian,” urai JPU.
JPU lalu melantunkan pantun kedua. “Jalan-jalan ke Raja Ampat, Papua, jangan lupa beli oleh-oleh buah merah. Kalaulah berbuat salah bersama, janganlah dilempar ke anak buah. Di Jogja kampusnya Gajah Mada, di Medan kampusnya Nomensen, kalaulah Tuan orang beragama, janganlah Tuan sumpahi orang lain,” tandas JPU mengakhiri pendahuluan repliknya.
Menurut JPU, dalih atau alasan tersebut tidak dapat diterima dan hanyalah pembelaan diri saja, karena bertentangan dengan fakta hukum dalam persidangan dan alat bukti.
Hal ini dijelaskan JPU menanggapi pembelaan bahwa terdakwa tidak pernah meminta dan menerima uang dalam proses pemeriksaan oleh Tim Pemeriksa BPK.
Terdakwa berdalih penerimaan uang oleh Tim Pemeriksa BPK adalah tanggung jawab masing-masing ketua tim dan anggota pemeriksa yang menerima uang tersebut dan tanpa sepengetahuan terdakwa.
Lanjut JPU, benar ada pertemuan antara terdakwa Patrice Sihombing dan saksi Yan Piet Mosso selaku Penjabat Bupati Sorong yang membahas persiapan pembentukan Kantor Perwakilan BPK Provinsi Papua Barat Daya.
Namun ada fakta lain yang dihilangkan oleh terdakwa dan penasehat hukum, yaitu fakta adanya permintaan uang dari terdakwa kepada Yan Piet Mosso dalam rangka mendukung operasional Tim Pemeriksa BPK yang sedang melakukan pemeriksaan PDTT di Kabupaten Sorong.
JPU mengungkapkan adanya permintaan uang yang disampaikan terdakwa kepada Yan Piet Mosso saat mengundang acara pengukuhan guru besar, Pius Lustrilanang (anggota VI BPK-RI) sebelum dilakukan pemeriksaan PDTT di Kabupaten Sorong dan saat pertemuan di Hotel Royal Mamberamo, beberapa hari setelah entry meeting PDTT di Kabupaten Sorong maupun yang disampaikan David Pata Saung.
“Pada saat itu disanggupi Yan Piet Mosso untuk memberikan uang, maka terbukti bahwa sejak saat itu pula terdakwa telah menerima janji akan adanya penerimaan uang dari Yan Piet Mosso,” papar JPU.
Ditambahkan JPU, terdakwa tidak pernah menghubungi lagi Yan Piet Mosso maupun David Pata Saung untuk membatalkan permintaan uang yang dilakukan terdakwa sebelumnya hingga kemudian janji penerimaan uang itu terealisasi sejumlah total Rp. 980 juta sebagaimana telah diuraikan secara rinci dalam surat tuntutan.
Terdakwa berdalih pemberian uang dari Pemkab Sorong melalui Efer Segidifat dan Maniel Syatfle ditujukan untuk Abu Hanifa Siata, David Pata Saung, dan anggota Tim Pemeriksa PDTT Kabupaten Sorong.
“Dalih terdakwa bertentangan dengan fakta hukum dalam persidangan dan merupakan pendapat sepihak terdakwa semata. Dalam persidangan berdasarkan keterangan saksi Yan Piet Mosso yang bersesuaian dengan keterangan Efer Segidifat, Maniel Syatfle, dan Ari Wijayanti menerangkan pemberian tersebut oleh karena adanya permintaan uang dari terdakwa secara langsung kepada Yan Piet Mosso maupun melalui David Pata Saung yang dikemas dengan bahasa ‘sumbangan partisipasi’ dan ‘operasional tim’,” ungkap JPU.
Terdakwa berdalih JPU tidak dapat membuktikan pengkondisian dan pengaturan hasil pemeriksaan Tim Pemeriksa BPK, karena terdakwa berdalih penuntut umum tidak pernah memeriksa dan menunjukkan temuan-temuan yang dihilangkan oleh Tim Pemeriksa.
“Dalam surat dakwaan penuntut umum mengenai perbuatan-perbuatan yang dilakukan tim pemeriksa tidak terbatas pada pengkondisian atau pengaturan hasil pemeriksaan, melainkan juga adanya pemberian kemudahan-kemudahan yang dilakukan Tim Pemeriksa BPK kepada entitas yang sedang diperiksa,” jawab JPU.
Sambung JPU, terdakwa berdalih ada perbedaan jumlah uang yang didakwakan pada saat pemberian dari Yan Piet Mosso sebesar Rp. 450 juta, sedangkan dalam dakwaan penerima sebesar Rp. 1 miliar, lalu dalam surat tuntutan menjadi Rp. 980 juta.
Menanggapi dalih tersebut, jelas JPU, nilai Rp. 450 juta adalah nilai dalam dakwaan pemberian Yan Piet Mosso selaku Penjabat Bupati Sorong kepada terdakwa dan Tim Pemeriksa BPK.
Pemberian Rp. 450 juta adalah pemberian yang diberikan atas arahan dan sepengetahuan Yan Piet Mosso, sehingga didakwakan kepada Yan Piet Mosso.
“Sedangkan dalam dakwaan penerima nilainya sebesar Rp. 1 miliar adalah nilai keseluruhan yang diberikan oleh Pemkab Sorong, yakni Rp. 450 juta dari Yan Piet Mosso dan Rp. 550 juta dari Herizet selaku Kepala Dinas PU Kabupaten Sorong,” sebut JPU.
Di samping itu, terdakwa juga berdalih tidak terdapat minimal 2 alat bukti yang dapat membuktikan terdakwa meminta dan menerima uang dari para entitas yang diperiksa oleh Tim Pemeriksa BPK Perwakilan Papua Barat yang melakukan pemeriksaan, melainkan hanya berdasarkan keterangan saksi David Pata Saung.
“Alat bukti dalam perkara pidana secara khusus diatur dalam Pasal 184 Ayat 1 KUHAP, yang terdiri dari keterangan saksi, surat, keterangan ahli, petunjuk, dan keterangan terdakwa,” terang JPU.
Menurut JPU, khusus permintaan uang oleh terdakwa tidak hanya diketahui dan diterangkan saksi David Pata Saung, melainkan juga diketahui dan diterangkan saksi Yan Piet Mosso yang mengetahui secara langsung permintaan uang oleh terdakwa yang dibungkus dengan kode atau bahasa ‘dukungan partisipasi’ dan ‘operasional tim’.
“Keterangan saksi David Pata Saung dan Yan Piet Mosso ini juga bersesuaian dengan keterangan saksi-saksi yang diminta Yan Piet Mosso untuk menyiapkan dan memberikan uang, yakni saksi Ari Wijayanti, Efer Segidifat, dan Maniel Syatfle,” papar JPU.
Selain alat bukti keterangan saksi, tegas JPU, penuntut umum telah menghadirkan alat bukti lain berupa keterangan ahli, Prof. Dr. Hibnu Nugroho, SH, MH (ahli hukum pidana dan tindak pidana korupsi) serta Prof. Dr. Sunny Ummul Firdaus, SH, MH (ahli hukum administrasi negara dan tata negara).
“Dengan demikian, untuk membuktikan unsur menerima hadiah atau janji telah terdapat lebih dari 3 alat bukti yang sah yang telah diajukan oleh penuntut umum, yakni keterangan saksi, keterangan ahli, petunjuk, dan barang bukti,” rinci JPU.
Kemudian, keberatan terdakwa terkait proses penyelidikan, penangkapan, dan penyidikan terhadap terdakwa.
JPU menjelaskan, keberatan terdakwa terkait proses penyelidikan, penangkapan, dan penyidikan merupakan pokok keberatan yang seharusnya disampaikan dalam praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 KUHAP yakni mengenai sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, sehingga tidak tepat diajukan dalam pokok perkara yang saat ini sedang disidangkan.
Diungkapkan JPU, dalih dan alasan sebagaimana diuraikan di atas, maka sudah terlihat jelas niat jahat atau mens rea terdakwa Patrice Sihombing, tetapi terdakwa berusaha melepaskan diri dari kesalahan dan pertanggungjawaban pidana atas perbuatannya yang dilakukan bersama-sama David Pata Saung, Abu Hanifa Siata, dan Dzul Firmansyah dengan melemparkan kesalahannya kepada David Pata Saung, Abu Hanifa Siata, Dzul Firmansyah, Charles Ignatius Wiyono dan Tim Pemeriksa BPK lainnya di lingkungan BPK Perwakilan Papua Barat atau dengan kata lain ‘mengkambinghitamkan’ anak buah yang sebenarnya melakukan perbuatan karena adanya arahan dan permintaan dari terdakwa.
“Oleh karena itu, kami penuntut umum bersikap tetap pada surat tuntutan pidana yang telah dibacakan, Rabu, 17 Juli 2024 dan nota pembelaan terdakwa dan penasehat hukumnya harus dinyatakan ditolak seluruhnya,” pinta JPU.
Replik ini disampaikan Tim JPU-KPK, yaitu: Dian Hamisena, Meyer V. Simanjuntak, Tonny F. Pangaribuan, dan Richard Marpaung di hadapan majelis hakim yang diketuai, Helmin Somalay, SH, MH dan hakim anggota, Pitayartanto, SH dan Hermawanto, SH, dihadiri tim penasehat hukum terdakwa serta ketiga terdakwa, Patrice L. Sihombing, Abu Hanifa Siata, dan David Pata Saung. [TIM2-R1]