Kalau auditor bermain dengan angka-angka, maka JPU akan bermain dengan kata-kata…
Manokwari, TP – Majelis hakim Pengadilan Tipikor Papua Barat pada Pengadilan Negeri (PN) Manokwari melanjutkan perkara dugaan tindak pidana korupsi (tipikor) atas ketiga terdakwa, Patrice Sihombing (mantan Kepala BPK Perwakilan Papua Barat), Abu Hanifa Siata (mantan Kasubaud BPK Perwakilan Papua Barat) dan David Pata Saung (Ketua Tim Pemeriksa PDDT Kabupaten Sorong), Jumat, 2 Agustus 2024 sore.
Persidangan dipimpin ketua majelis hakim, Helmin Somalay, SH, MH didampingi hakim anggota, Pitayartanto, SH dan Hermawanto, SH, dengan agenda pembacaan duplik penasehat hukum (PH) para terdakwa atas replik Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU-KPK).
Tim PH dari terdakwa Patrice Sihombing, Yan C. Warinussy, SH, Thresje J. Gaspersz, SH dan Jonny Hutahaean, SH menyayangkan sanggahan-sanggahan JPU KPK yang terkesan hanya asal menyanggah, tidak disertai argumentasi fakta persidangan yang valid.
Menurut PH, argumentasi yang disampaikan JPU dalam repliknya, tidak lebih dari penyampaian kembali hal-hal yang dituangkan dalam surat tuntutannya.
PH mengklaim, selama terdakwa mengikuti sidang tahap demi tahap, selalu kooperatif dan dalam mengajukan pertanyaan dan tanggapan terhadap keterangan para saksi, selalu berlaku sopan dan tidak emosional.
“Dalam membacakan pledoi atau pembelaan bereaksi terhadap tuntutan JPU itu adalah wajar karena fakta-fakta yang dimuat penuntut umum menurut terdakwa merupakan suatu fakta yang dipelintir. Bahkan, kalimat yang disampaikan para saksi ditafsirkan agar menjadi suatu rangkaian cerita dengan maksud agar sesuai dengan pasal yang didakwakan,” jelas PH.
Lanjut PH, pemelintiran fakta persidangan dan penafsiran kalimat yang disampaikan para saksi sejak sidang pada 11 Juni 2024, sudah dikhawatirkan terdakwa. Saat JPU bertanya kepada saksi auditor PDTT Kota Sorong, JPU menyampaikan kalimat ‘kalau kalian (para auditor, red) bermain dengan angka-angka, maka kami (JPU, red) akan bermain dengan kata-kata. “Kenyataannya, apa yang dikhawatirkan terdakwa terbukti dari surat tuntutan JPU,” ungkap PH.
Lanjut PH, JPU menanggapi reaksi terdakwa dan mengatakan terdakwa yang dalam nota pembelaannya menyampaikan pembelaan dengan penuh emosi dan amarah dan disimpulkan sifat dan karakter asli terdakwa dalam pelaksanaan pekerjaan sehari-hari di kantor saat terdakwa sebagai ‘bos’ Kepala BPK Perwakilan Papua Barat, menjadikan bawahan terdakwa, termasuk Tim Pemeriksa tidak akan berani membantah, apalagi melawan perintah dan arahan terdakwa karena sifat terdakwa yang emosional dan pemarah.
“Pendapat JPU tersebut sangat luar biasa karena dapat menyimpulkan perilaku dan karakter terdakwa dan kepada JPU sudah tepat diberi predikat ahli psikologi forensik,” kata PH.
Ditambahkan PH, keterangan saksi-saksi dan ahli yang dimuat dalam pledoi merupakan keterangan berdasarkan hasil sidang yang direkam dan relevan dengan dakwaan.
Sebaliknya, keterangan para saksi dan ahli dalam surat tuntutan sebagian merupakan copy paste dari berita acara pemeriksaan (BAP) penyidikan.
“Kalau pun ada keterangan para saksi yang dimuat dalam pledoi sama dengan keterangan para saksi yang dimuat JPU dalam tuntutannya, justru membuktikan apa yang dimuat dalam pledoi merupakan fakta yang terungkap di persidangan, bukan berdasarkan pada BAP penyidikan, seperti yang dilakukan JPU dalam merumuskan surat tuntutan,” papar PH.
PH merincikan, hal-hal pokok yang menjadi perbedaan fakta persidangan yang dimuat JPU dalam surat tuntutan dengan fakta hukum yang dimuat dalam pledoi PH terutama terkait: pertama, pemberian dan sumbangan partisipasi acara pengukuhan guru besar anggota VI BPK-RI Pius Lustrilanang di Purwokerto sebesar Rp. 50 juta.
Kedua, pertemuan terdakwa dengan Penjabat Bupati Sorong, Yan Piet Mosso pada 2 Oktober 2023 di Hotel Royal Mamberamo dan hasil dari pertemuan tersebut berikut tindak lanjutnya.
Ketiga, makna kalimat yang disampaikan saksi Dzul Firmansyah Dengo saat menemui terdakwa di Hotel Rylich Panorama pada 1 November 2023.
PH mengungkapkan, untuk menghadiri undangan acara pengukuhan Pius Lustrilanang sebagai guru besar Universitas Jenderal Sudirman di Purwokerto, terdakwa Patrice Sihombing mengundang saksi Yan Piet Mosso via WhatsApp. Namun, saksi membalas tidak dapat hadir dan dalam percakapan tersebut tidak ada pembicaraan selain daripada undangan untuk kesediaan saksi untuk hadir.
Keterangan saksi Ari Wijayanti saat menemui terdakwa dengan maksud menyerahkan uang sebesar Rp. 50 juta sesuai arahan Penjabat Bupati, tetapi terdakwa menolak menerima pemberian dan meminta dibawa saja ke Sorong. Namun, saksi Ari Wijayanti memaknai penolakan terdakwa dengan menyebutkan nanti saja di Sorong.
Disebutkan PH, terkait kelanjutan pemberian uang, Ari Wijayanti tidak pernah berkomunikasi lagi sejak adanya penolakan dari terdakwa. Begitu juga Ari Wijayanti sendiri maupun terdakwa tidak pernah mendapatkan informasi uang tersebut diserahkan saksi Maniel Syatfle kepada Efer Segidifat untuk digabung dengan uang yang disediakan Efer Segidifat sebesar Rp. 250 juta. Kemudian, uang diserahkan kepada David Pata Saung untuk membagikannya kepada anggota Tim Pemeriksa BPK sebagai uang pengganti hotel.
Keterangan Yan Piet Mosso dalam BAP poin 22, 23, dan 24, keterangan saksi tersebut dalam BAP penyidikan sesuai fakta adalah dukungan untuk pembangunan Kantor BPK Perwakilan Provinsi Papua Barat Daya di Sorong dan bantuan agar para OPD menyiapkan berkas-berkas atau data-data untuk Tim Pemeriksa BPK, bukan bantuan uang.
Setelah pertemuan di antara terdakwa dan Yan Piet Mosso, tidak ada penyampaian kepada David Pata Saung ‘Vid, nanti kalau ada komitmen dari Pemkab Sorong, nanti akan ada orang yang mengambilnya’.
Begitu juga Yan Piet Mosso pada persidangan, Selasa, 14 Mei 2024, menyatakan, saat exit meeting pada 10 November 2023, tidak ada menyampaikan secara berbisik kepada saksi David Pata Saung ‘dukungan kepada terdakwa, saksi siap membantu’ dan saksi Yan Piet Mosso tidak pernah memerintahkan atau meminta almarhum Herizet untuk memberi sesuatu kepada Tim Pemeriksa BPK. David Pata Saung pun tidak menolak keterangan Yan Piet Mosso, justru membenarkannya.
Ditegaskann PH, dari rangkaian fakta-fakta, telah jelas dan terang pemberian uang sebesar Rp. 980 juta kepada David Pata Saung tidak didasarkan karena adanya permintaan dari Patrice Sihombing kepada Yan Piet Mosso saat menyampaikan undangan. Selain itu, juga bukan didasarkan karena ada permintaan terdakwa saat bertemu Yan Piet Mosso pada 2 Oktober 2023.
“Jika memang benar dalil JPU bahwa pemberian dan penerimaan uang dari Kabupaten Sorong didasarkan pada pertemuan terdakwa dan Yan Piet Mosso di Hotel Royal Mamberamo pada 2 Oktober 2023, mengapa sebelum pertemuan sudah ada pemberian dan penerimaan uang kepada David Pata Saung sebesar Rp. 100 juta, sekitar 3-4 hari setelah entry meeting seperti diterangkan Efer Segidifat dan Helena Pigey,” jelas PH.
Terkait sanggahan JPU bahwa pemberian uang dari Pemkab Sorong melalui Efer Segidifat dan Maniel Syatfle yang ditujukan untuk Abu Hanifa Siata, David Pata Saung, dan anggota Tim Pemeriksa PDTT Kabupaten Sorong.
Menurut PH, yang menerima uang secara fisik dan menguasai pemberian dari Pemkab Sorong sebesar Rp. 980 juta adalah David Pata Saung.
Setelah uang dikuasai, David Pata Saung sesuai keinginannya dengan leluasa menggunakannya dengan cara membagi kepada anggota Tim Pemeriksa dan Pengendali Teknis. Sedangkan terdakwa Patrice Sihombing tidak mengetahui pemberian dan pembagian uang tersebut.
Sesuai keterangan Efer Segidifat dan Maniel Syatfle, pemberian uang sebesar Rp. 300 juta sebagai pengganti hotel Tim Pemeriksa yang diketahui menginap di Hotel Mamberamo. Terdakwa sendiri tidak pernah menginap di Hotel Mamberamo selama pemeriksaan.
Sanggahan JPU terkait pengkondisian dan pengaturan hasil pemeriksaan Tim BPK, PH menerangkan, komunikasi saksi Abu Hanifa Siata dengan Abdul Faris Umlatti, Lamberthus Jitmau dan Angelbertus G. Kocu tidak terkait pengkondisian temuan hasil pemeriksaan tetapi komunikasi itu merupakan upaya dari Abu Hanifa yang meminta bantuan dari para saksi untuk dapat dicalonkan menjadi Kepala BPK Perwakilan Provinsi Papua Barat Daya (PBD).
Sanggahan JPU terkait perbedaan jumlah pemberian uang yang didakwakan kepada Yan Piet Mosso, Efer Segidifat, dan Maniel Syatfle, dengan jumlah uang yang didakwakan kepada terdakwa David Pata Saung dan Abu Hanifa Siata.
PH mengungkapkan, dalam dakwaan terhadap Yan Piet Mosso, Efer Segidifat, dan Maniel Syatfle sebagai pemberi, hanya disebut pemberian dari Pemkab Sorong sebesar Rp. 430 juta dan terbukti sebagaimana putusan Pengadilan Tipikor dan dalam surat dakwaan sendiri tidak ikut didakwa ada pemberian uang sebesar Rp. 550 juta.
“Pemberian uang sebesar Rp. 300 juta adalah sebagai pengganti hotel Tim Pemeriksa yang diketahui menginap di Hotel Mamberamo, begitu juga sebagaimana diuraikan dalam pledoi halaman 280, pemberian uang sebesar Rp. 100 juta adalah untuk keperluan makan-minum Tim Pemeriksa selama 53 hari. Pemberian uang sebesar Rp. 10 juta dan Rp. 20 juta adalah untuk operasional Tim Pemeriksa dan pengganti hotel Abu Hanifa Siata,” urai PH.
Sanggahan JPU terkait minimal dua (2) alat bukti yang membuktikan terdakwa meminta dan menerima uang dari entitas.
Dijelaskan PH, dalam pembuktian di persidangan, tidak ada bukti petunjuk berupa komunikasi elektronik atau chat WhatsApp yang membuktikan adanya komunikasi elektronik antara almarhum Herizet dan David Pata Saung maupun dengan terdakwa atau pun dengan saksi lain, khususnya Yan Piet Mosso, Efer Segidifat, dan Maniel Syatfle yang dapat membuktikan ada pemberian uang dari Pemkab Sorong melalui almarhum Herizet kepada terdakwa yang dititipkan melalui David Pata Saung.
Terdakwa juga tidak pernah menyampaikan kepada David Pata Saung, uang akan diambil oleh orang suruhan terdakwa dan David Pata Saung tidak pernah melaporkan penerimaan uang dari almarhum Herizet. Terdakwa baru mengetahui setelah ada operasi tangkap tangan (OTT) berdasarkan pengakuan David Pata Saung.
“Dalam pledoi telah kami buktikan, terdakwa tidak pernah menerima pemberian dari Pemda Kota Sorong melalui Dzul Firmansyah Dengo maupun dari Pemkab Kabupaten Sorong Selatan melalui Charles Ignatius Wiyono,” jelas PH.
Tanggapan penasehat hukum atas sanggahan JPU terkait proses penyelidikan, penangkapan, dan penyidikan. Diutarakan PH, memang benar proses penyelidikan, penangkapan, dan penetapan tersangka seperti yang diuraikan JPU dalam replik, mekanismenya melalui praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 KUHAP.
Namun, sambung PH, terdakwa perlu mengungkapkan beberapa kejanggalan dan menjadi catatan atas apa yang dialami, dirasakan, serta menjadi perhatian terdakwa sejak penangkapan sampai proses pembacaan pledoi pribadi, semata-mata untuk membuktikan:
Pertama, penyidik KPK tidak profesional dalam hal penggunaan Sprinlidik, diskriminatif, dan tebang pilih dalam menetapkan pemberi dan penerima sebagai tersangka serta sengaja menyembunyikan saksi dalam proses penyidikan.
Kedua, JPU tidak profesional dalam hal menetapkan jumlah uang dalam surat dakwaan dan menghadirkan saksi-saksi di persidangan serta bermain kata-kata dalam merumuskan surat tuntutannya.
Ketiga, dengan demikian alasan yang disampaikan JPU dalam menyanggah pledoi pribadi terdakwa, tidak argumentatif.
“Kami tetap berkesimpulan, terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan sebagaimana dakwaan alternatif pertama maupun alternatif kedua. Oleh karena itu, kami tetap pada nota pembelaan kami yang sudah diajukan tanggal 29 Juli 2024,” tegas PH.
Setelah mendengarkan duplik yang dibacakan para PH ketiga terdakwa, ketua majelis hakim menutup persidangan dan akan dilanjutkan, Senin, 12 Agustus 2024, dengan agenda putusan. [TIM2-R1]