Manokwari, TP – Status orang asli Papua (OAP) bagi calon wakil bupati yang akan maju di suatu daerah di Papua pada Pilkada serentak 2024 nanti sempat menjadi ‘pertanyaan sekaligus seruan’ dari beberapa kalangan yang digaungkan pada saat menjelang Pilkada serentak 2024. Termasuk di Kabupaten Manokwari.
Salah satu perumus UU Otsus nomor 1 tahun 2001, Agus Sumule mengkisahkan, UU Otsus dirumuskan oleh tim di mana dalam Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) Papua nomor 1 Tahun 2001 dan perubahan UU Otsus nomor 2 Tahun 2021 tidak mengatur ketentuan tersebut.
Dalam UU Otsus Papua yang diatur hanya keharusan status orang asli bagi calon gubernur dan wakil gubernur yang bakal maju pada pemilihan gubernur dan wakil gubernur di suatu provinis di tanah Papua.
Salah satu perumus UU Otsus nomor 1 tahun 2001, Agus Sumule mengkisahkan, UU Otsus dirumuskan oleh tim dari Pemerintah Papua, DPR Provinsi Papua, Akademisi dari Uncen yang salah satu timnya adalah dirinya dan lainnya.
Sumule mengatakan, UU Otsus nomor 1 tahun 2001, lahir karena tiga hal, yaitu perlindungan, pemihakan, dan pemberdayaan bagi OAP.
“Hari ini saya usia 61 tahun ingat barang ini (UU Otsus red) 24 tahun yang lalu. Saya punya teman-teman yang pada saat itu terlibat dalam tim merumuskan sudah banyak yang Tuhan panggil. Saya ingin kita ingat tentang tiga hal itu, yaitu perlindungan, pemihakan, dan pemberdayaan sebagai latar belakang lahirnya UU Otsus,” ujar Sumule sebagai narasumber dalam sosialisasi pendaftaran gubernur dan bupati yang diselenggarakan KPU Provinsi Papua Barat, di Aston Hotel Manokwari, Kamis (1/8/2024) malam.
Sekaitan dengan penjelasan dalam kaitannya dengan pemilihan kepala daerah (Pilkada), Sumule mengungkapkan bahwa definisi OAP saat perumusan UU Otsus nomor 1 tahun 2001, yaitu OAP adalah orang-orang atau suku yang berasal dari ras melanesia di Provinsi Papua.
Sumule mengungkapkan, UU Otsus nomor 1 tahun 2001 ketika disepakati lembarannya tidak terlalu tebal atau tipis. Karena, saat itu waktunya tidak banyak.
Sehingga, kesepahaman yang diatur dalam UU Otsus dimaksud, adalah terutama hubungan antara Jakarta dan Papua.
Termasuk sambung, Sumule, kesepahaman penjelasan tentang orang-orang yang bakal maju sebagai calon gubernur dan wakil gubernur di tanah Papua, adalah orang asli Papua. Karena, Jakarta menilai gubernur dan wakil gubernur merupakan wakil Pemerintah Pusat.
“Karena saat itu waktunya tidak banyak, maka hal-hal yang sifatnya internal silahkan diatur sendiri dalam peraturan daerah khusus, kurang lebih kesepamahamannya seperti itu. Dimana buktinya, di DPR RI ada buku merah agenda negara yang berisi tentang proses yang terjadi. Silahkan bapak, ibu lihat,” jelasnya.
Akademisi Unipa ini menambahkan, setelah disepakati di Jakarta, tim kerja rancangan UU Otsus saat itu kembali ke Papua, dan ada hal-hal yang tidak ditindaklanjuti lagi oleh tim. Termasuk, kesepahaman bupati dan wakil bupati adalah OAP. Karena, setibanya di Papua, tim kerja saat itu dibubarkan oleh pemerintah Papua.
“Ada hal-hal yang tidak ditindaklanjuti termasuk soal kesepahaman termasuk soal bupati dan wakil bupati OAP,” imbuhnya.
Sumule menambahkan, secara logika kesepahaman bupati dan wakil bupati adalah OAP harus mengikuti kesepahaman tentang gubernur dan wakil gubernur, karena prinsipnya sama.
“Mengapa diatur hubungan Jakarta dan Papua karena gubernur adalah wakil pemerintah pusat, sementara bupati tidak. Jadi, mau diatur ke dalam, tapi ternyata tidak ada sampai hari ini,” pungkas Sumule. [SDR-R3]