Manokwari, TP – Dewan Adat Papua (DAP) Wilayah III Doberai menunjuk Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBH) Sisar Matiti sebagai Kuasa Hukum untuk menyikapi Surat Edaran Nomor: SE.1 Tahun 2024 tentang Penyaluran dan Pemanfaatan dana RBP REDD+ for Result periode 2014-2016 Green Climate Fund Ouput 2 yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Surat Kuasa Khusus diserahkan Wakil Ketua DAP Wilayah III Doberai, George R. Konjol diterima Direktur Penanganan Perkara YLBH Sisar Matiti, Zainudin Patta, SH, di Kantor DAP Wilayah III Doberai, Kamis (22/8/2024).
“Kita menyerahan kuasa yang diberikan oleh Dewan Adat Papua Wilayah III Doberai, terdiri dari 2 provinsi, yaitu Papua Barat dan Papua Barat Daya. Sehingga, kedua pemerintah provinsi ini dapat melihat apa yang menjadi hak masyarakat adat, sehingga masyarakat tidak menjadi objek, namun dapat menerima manfaat hutan, tanah secara baik,” ujar Konjol kepada wartawan, usai penyerahan, kemarin.
Sementara, Direktur Penanganan Perkara YLBH Sisar Matiti, Zainudin Patta, SH mengatakan, setelah resmi menerima Surat Kuasa Khusus, pihaknya akan melakukan upaya-upaya hukum selanjutnya untuk memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat adat.
Dijelaskannya, pada intinya YLBH Sisar Matiti akan mengambilbil langkah-langkah hukum berkaitan dengan Surat Edaran Nomor: SE.1 Tahun 2024 tentang Penyaluran dan Pemanfaatan dana RBP REDD+ for Result periode 2014-2016 Green climate fund Ouput 2 yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Pihaknya menilai, surat edaran tersebut tidak memberikan rasa keadilan bagi masyarakat adat sebagai kepemilikan aset dari luasan hutan di Tanah Papua yang telah memberi kontribusi terhadap pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK).
“Bagaimana mana bisa ? masyarakat yang selama ini menjaga hutan tidak mendapatkan asas manfaat dari sekema pembagian pemanfaatan dana tersebut, masyarakat hanya dijadikan objek, ini tidak boleh terjadi, dimana keadilannya ?” jelasnya.
Selain itu, bahwa pengelolaan dana RPB (REDD+) oleh kementerian terkait, sejauh ini pemerintah daerah tidak pernah sampaikan secara terbuka kepada masyarakat adat yang memiliki peran penting dalam menjaga, mengelola serta melestarikan hutan.
“Ini ada apa ?” tanyanya.
Ditambahkan, terhadap permasalahan ini, pihaknya menduga semacam ada perampokan hak-hak masyarakat adat.
Untuk itu, sabagai Kuasa Hukum masyarakat adat akan mengambil langkah-langgkah hukum yang baik dan berguna bagi Pemberi Kuasa yaitu masyarakat adat.
Upaya hukum yang akan diambil, diantaranya: akan mengeluarkan surat teguran hukum kepada Pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat, termasuk dan tidak terbatas pihaknya juga akan menyurati negara-negara pendonor yang menikmati karbon yang dihasilkan dari hutan Indonesia khususnya tanah Papua.
Melalui pernyataan ini, secara terbuka pihaknya menyampaikan kepada Pemerintah Daerah Papua Barat, agar mekanisme distribusi dana tersebut dilakukan secara adil dan transparan langsung kepada masyarakat adat.
“Sekali lagi kami tegaskan bahwa masyarakat adat seharusnya menjadi penerima manfaat utama dari dana tersebut, bukan hanya pemerintah atau lembaga non-pemerintah,” pungkas Zainudin Patta. [SDR-R4]