Aceh, TP – Selesai acara pembukaan Pekan Olahraga Nasional (PON) XXI Aceh-Sumut di Stadion Harapan Bangsa, Penjabat (Pj) Gubernur Papua Barat, Drs. Ali Baham Temongmere, M.TP didampinggi Ketua PKK Ny. Sitti Mardiana Temongmere bersama rombongan menyempatkan diri mengunjungi Museum Tsunami Aceh, dintaranya situs Kapal Apung PLTD I di Desa Punge, Blancut dan Rumah Kapal Apung di Desa Lampulo, Kuta Alam, Banda Aceh, Selasa (10/9).
Setelah 20 tahun berlalu, jejak dari peristiwa bencana dan gempa Tsunami Aceh yang terjadi tanggal 26 Desember 2004 silam itu masih bisa dikenang dengan mengunjungi Musem Tsunami Aceh yang terletak di Jalan Iskandar Muda, Baiturahman, Kota Aceh.
Museum Tsunami Aceh menyimpan 6.038 koleksi sebagai simbol dan pengingat bagaimana dahsyatnya gempa berkekuatan 9,3 Skala Richter kala itu.
Sebelum memasuki lorong museum, pengunjung telah disuguhi pemandangan bangkai helikopter dan truk yang turut menjadi saksi saat Tsunami menyapu Tanah Rencong.
Setelah berkeliling Museum Tsunami Aceh, rombongan Pj Gubernur Papua Barat bertolak mengunjungi Kapal Apung PLTD 1 yang ikut terseret sejauh 3 km ke pusat Kota Banda Aceh.
“Kapal ini memiliki panjang 63 meter dengan berat 2.600 ton. Saat ombak Tsunami datang ketiga kalinya baru kapal ini terseret, sebanyak 6 dari 7 anak buah kapal yang berada di dalam kapal meninggal dunia. Saat itu kita tidak ada apa-apanya, kaya dan miskin, tua dan muda sama di mata Tuhan. Dalam waktu tiga puluh menit habis tersapu Tsunami,” kata Ulfa dan Lina mengisahkan peristiwa gempa dan Tsunami kepada Pj Gubernur Papua Barat di dalam Museum Kapal Apung PLTD I.
Lina menuturkan, saat peristiwa gempa dan Tsunami terjadi, seluruh rumah warga di sekitar Kapal Apung PLTD dan Kapal Apung nelayan yang terdampar di atap rumah warga di Lampulo, habis tersapu ombak Tsunami.
“Saya masih ingat persis peristiwa itu, banyak anggota keluarga kami yang meninggal dunia. Kala itu usia saya masih sembilan tahun,” ucap Lina sembari menunjukkan posisi rumahnya kepada Tabura Pos.
“Peristiwa gempa dan Tsunami harus dimaknai sebagai pelajaran penting bagi seluruh umat manusia bahwa kita diminta untuk menempatkan perdamaian di atas segalanya. Perdamaian itu ada dua hakikinya, pertama harus dekat dengan Tuhan dan kedua harus membangun hubungan sesama manusia dengan baik. Oleh karena itu, mulai dari Aceh sampai Tanah Papua harus bersatu, beriman dan bertaqwa kepada Tuhan,” ucap Temongmere saat ditanyai kesannya setelah mengunjungi museum dan situs gempa dan Tsunami Aceh. [K&K-R2]
