Manokwari, TP – Keberadaan kapal-kapal besar dari luar mulai mengancam nasib para nelayan di Kabupaten Manokwari. Kondisi ini diperparah dengan kesulitan para nelayan untuk mendapatkan BBM dalam 3 bulan terakhir ini.
Ketua Perkumpulan Nelayan Papua Barat, Abraham Wanma mengatakan, persoalan yang dialami para nelayan kecil ini, maka pemerintah harus mengambil sikap, salah satunya mengubah konsep dan perlakuan terhadap nelayan kecil dengan bantuan kapal besar.
Menurutnya, jika pemerintah membantu nelayan kecil dengan perahu kecil, otomatis nelayan kecil akan kesulitan, apalagi dengan keberadaan kapal-kapal besar dari luar yang mencari ikan di perairan Manokwari.
Dikatakannya, daripada mengizinkan kapal-kapal besar masuk mencari ikan, maka sebaiknya pemerintah memberdayakan masyarakat atau nelayan kecil. Dengan demikian, akan mengurangi pengangguran dan meningkatkan sumber pendapatan daerah.
Wanma mengungkapkan, berdasarkan aturan yang dikeluarkan, kapal-kapal besar dari luar yang mencari ikan harus keluar sejauh 12 mile. Masalahnya, kata dia, apakah aturan yang dibuat ini diukur dari garis pantai Tanjung Bakaro atau diukur dari pulau paling luar.
“Jika diukur dari garis pulau paling luar, maka seharunya diukur dari Pulau Mapia, tetapi jika diukur dari garis Kota Manokwari, otomatis kapal-kapal yang dari luar mencari di area territorial,” jelas Wanma kepada Tabura Pos di salah satu hotel di Manokwari, kemarin.
Ia membeberkan, selain persoalan keberadaan kapal-kapal besar, salah satu kendala yang dihadapi para nelayan kecil adalah kesulitan mendapatkan BBM.
Diungkapkan Wanma, kondisi ini sudah dirasakan para nelayan dalam 3 bulan terakhir, terhitung Juni 2024 silam. Untuk saat ini, kata dia, para nelayan kecil membeli BBM dari pengecer dengan harga lebih tinggi.
“Awalnya kan kalau kita beli di SPBN itu seharga Rp. 10.000 per liter. Kalau beli di pengecer, itu harganya di atas. Kalau kita beli 1 jerigen 35 liter itu harganya Rp. 350.000. Kalau di pengecer bisa sampai Rp. 550.000, belum ditambah dengan harga oli, makanan, dan lain sebagainya untuk operasional,” rinci Wanma.
Ia membeberkan, permasalahan BBM ini sebenarnya masalah internal dari pihak pengelola saja, tetapi berdampak terhadap para nelayan kecil.
Wanma mengaku, pihaknya sudah berupaya ke dinas terkait maupun PT Pertamina untuk menanyakan masalah tersebut, dan memang masalahnya ada pada pihak pengelola.
Dengan kondisi tersebut, Wanma menyarankan dinas terkait melengkapi data base nelayan agar kuota nelayan ini dikeluarkan sesuai data yang berlaku.
Dirinya mengakui, sekarang data base-nya sedang dalam pengumpulan, tetapi masalah kuota BBM yang lama itu masih memakai data yang lama dari pihak Pertamina.
“Saya berharap pemerintah membuat kebijakan yang ada agar kuota itu dikeluarkan dahulu sambil menunggu data yang sedang dibuat. Kebutuhan BBM kita per bulan 75 ton untuk seluruh nelayan,” ungkap Wanma.
Ia menambahkan, kondisi yang terjadi sekarang bukan hanya berdampak terhadap nelayan kecil semata, tetapi juga para pedagang, pihak yang mengelola ikan, termasuk masyarakat.
“Kalau nelayan tidak melaut, otomatis pedagang dan pihak yang mengelola ikan tidak mendapat hasil penjualan. Lalu, bagaimana nasib keluarga mereka yang berharap dari hasil laut,” tandas Wanma. [AND-R1]