Manokwari, TP – Sekretaris Jenderal (Sekjen) Komite Nasional Pemuda Papua, (KNPP), Zakarias Horota dengan tegas menolak rencana pemerintah pusat membuka 2 juta hektar lahan di Tanah Papua, khususnya di Provinsi Papua Selatan guna mendatangkan transmigrasi nasional dengan menyediakan rumah dan tanah seluas 4 hektar bagi setiap Kepala Keluarga (KK).
Diungkapkan Horota, data resmi Dinas Tenaga Kerja dan Kependudukan Provinsi Papua, per 31 Maret 2000 tercatat, penempatan transmigrasi di wilayah Papua sejak pra-Pelita sampai akhir Pelita VII (30 tahun) atau sebelum reformasi tahun 2000.
Dimana, sambung dia, terdapat 217 lokasi transmigrasi, dengan jumlah 78.650 KK dan anggota keluarga 306.447 orang transmigran dalam 270 Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) yang tersebar di seluruh tanah Papua.
Program ini, kata dia, berakhir di Papua pada penempatan transmigran periode tahun 1999-2000, yaitu sebanyak 650 KK dengan jumlah jiwa 2.884, diantaranya di Manokwari, Teluk Bintuni, Babo (200-910 jiwa), di Kerom Arso 14 yaitu, 100 KK (421 jiwa), Merauke 100 KK (499 Jiwa), Mimika dan Timika 250 KK (1054 Jiwa).
Menurutnya, secara demografis, program ini mempengaruhi jumlah, karakteristik, komposisi, struktur penduduk Papua. Sebab, perubahan kependudukan akan menimbulkan masalah sosial multidimensi, multikompleks, dan multipersepsi di kalangan masyarakat, pemerintah daerah dan pusat.
Program ini sejak awal menimbulkan pro kontra dengan berbagai motif, alasan, pertimbangan dan tujuan menyangkut manfaatnya bagi perbaikan Orang Asli Papua.
Lebih lanjut, kata Horota, persoalan utama adalah ketidaktepatan pendekatan, strategi, kebijakan, dan program sosial budaya, memantapkan integrasi sosial, interaksi sosial, dan keakraban jaringan sosial lintas ras, suku bangsa, dan etnik dalam masyarakat majemuk saat ini.
“Apa manfaat program transmigrasi bagi masyarakat Adat Papua sekarang? Fakta yang terjadi sekarang adalah daerah-daerah tujuan transmigrasi sejak era pra Pelita hingga Pelita VII (30) tahun tidak ada manfaatnya bagi peningkatan ekonomi dan kesejahteraan khususnya bagi Masyarakat Adat di daerah itu,” tegas Horota dalam pers release yang diterima Tabura Pos via WhatsApp, Kamis (31/10/2024).
Menurutnya, justru orang asli Papua kehilangan hak atas tanah adat mereka yang diambil alih oleh pemerintah pusat melalui izin-izin usaha perkebunan oleh perusahaan perkebunan yang melakukan usaha budidaya perkebunan dan terintegrasi dengan usaha industri pengolahan hasil perkebunan.
Dimana izin-izin usaha dari pemerintah pusat dikeluarkan secara sepihak tanpa adanya suatu kesepakatan perjanjian dan pelepasan tanah adat dan tidak ada ganti rugi atas tanah-tanah adat.
Fakta hari ini semua warga transmigran di tanah Papua yang diberikan modal tanah, rumah, alat kerja, sekarang merekalah yang makmur dan masyarakat asli pemilik tanah adat tetap miskin.
“Bagi saya program transmigrasi nasional sebagai ‘Kolonisasi’, Jawanisasi, Islamisasi, Imperialisme Budaya, Militerisasi dan Alienasi Tanah seperti apa yang dikatakan oleh Prof. Dr Ikrar Nusa Bhakti,” tegas Horota.
Untuk itu, dirinya mendukung pernyataan Anggota DPD RI Daerah Pemilihan (Dapil) Papua Barat, Lamek Dowansiba yang meminta Presiden Prabowo Subianto untuk mengkaji ulang rencana pemerintah menggarap program transmigrasi ke Papua.
Disamping itu, dirinya berharap, kepada semua Senator DPD-RI asal 6 provinsi di tanah Papua agar sama-sama menyuarakan suara keadilan masyarakat Adat Papua kepada pemerintah pusat.
Sebagai Sekjen KNPP yang adalah pilar pemuda Presidium Dewan Papua (PDP) menyerukan kepada seluruh pemuda Papua di 7 wilayah adat Papua untuk tidak tinggal diam.
“Tapi turut menyuarakan secara damai dan bermartabat dalam koridor hukum yang berlaku dalam NKRI untuk melindungi dan menjaga hak-hak atas tanah adatnya yang adalah warisan paling istimewa dari Tuhan Sang Pencipta langit dan bumi,” tandas Horota. [*FSM-R5]


















