Manokwari, TP – Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Provinsi Papua Barat mulai menarik retribusi terhadap wisatawan yang berkunjung ke museum Pekabaran Injil (PI) di Tanah Papua yang berlokasi di Pulau Mansinam, Kabupaten Manokwari.
Plt. Kepala Disbudpar Provinsi Papua Barat, Yakobus Basongan membenarkan bahwa penarikan retribusi perdana terhadap para wisatawan yang berkunjung ke museum PI di Tanah Papua dimulai, Rabu, 5 Februari 2025.
Ia mengatakan, penarikan retribusi itu sesuai Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2024 tentang Retribusi, dimana setiap organisasi perangkat daerah (OPD) di lingkungan Pemprov Papua Barat didorong untuk meningkatkan sumber pendapatan asli daerah (PAD).
“Penarikan retribusi ini dilakukan perdana bertepatan dengan HUT Pekabaran Injil di Tanah Papua yang ke-170 pada 5 Februari 2025. Ini baru awal, jadi kita tarik retribusi Rp. 2.000 per orang,” kata Basongan kepada Tabura Pos di ruang kerjanya, Kamis (20/3/2025).
Menurut dia, museum PI di Tanah Papua merupakan aset Pemprov dan sudah diserahkan Kementerian Pariwisata dan bisa dikelola sebagai sumber PAD dan sudah dimasukkan dalam regulasi retribusi.
Dijelaskannya, retribusi yang dikenakan terhadap orang yang berkunjung masih tergolong kecil, yakni Rp. 2.000 per sekali masuk, tetapi tarif ini tidak demikian dalam perdanya.
Namun, kata Basongan, karena ini baru awal, sehingga ke depan akan segera disesuaikan dengan tarif yang ada dalam perda.
“Dalam perda sudah diatur klasifikasi retribusinya, tapi saya tidak begitu ingat klasifikasi retribusinya, namun sudah dimuat. Misalnya untuk wisatawan mancanegara tarifnya Rp. 10.000, lalu masyarakat umum, anak sekolah, dan lainnya sudah diatur,” katanya.
Selain museum, ia menambahkan, pihaknya juga akan mengelola cagar budaya Situs Aitumeri atau situs peninggalan pada masa Zendeling di Kabupaten Teluk Wondama.
“Cagar budaya situs Aitumeri juga sudah dimasukkan dalam perda. Hanya saja, sementara kita masih membangun koordinasi dengan teman-teman di Pemkab Teluk Wondama, masyarakat pemilik hak ulayat dan pihak pengelola. Nanti kita sama-sama akan menetapkan berapa tarif retribusinya,” kata Basongan.
Di samping itu, kata Basongan, pihaknya juga akan segera berkoordinasi dengan Pemkab Fakfak terkait pengelolaan cagar budaya Masjid Tua Patimburak. Semua ini, lanjut dia, baik situs Aitumeri maupun Masjid Tua Patimburak sudah masuk dalam perda, tetapi perlu dikoordinasikan dengan pemkab setempat.
Ia menambahkan, selain situs-situs peninggalan, ada potensi lain yang mungkin perlu didorong sebagai sumber PAD terhadap Provinsi Papua Barat, seperti kawasan Burung Pintar di Mokwam, potensi wisata bahari di kawasan Teluk Cenderawasih, Teluk Triton maupun salah satu situs peninggalan di Kampung Lobo, Kabupaten Kaimana, serta potensi lainnya di wilayah Papua Barat.
“Beberapa potensi yang disebut di atas seperti kawasan Burung Pintar di Mokwan, Teluk Cenderawasih, Teluk Triton, situs peninggalan di Kampung Lobo, Taman Wisata Gunungan Meja dan lainnya, belum kami masukkan dalam perda. Inilah yang kami rencana ke depan untuk usulkan dalam perubahan agar bisa menarik retribusi bagi wisatawan yang berkunjung ke sini,” tandas Basongan.
Dikatakannya, sejumlah cagar budaya di Papua Barat sudah ditempatkan pihak pengelola dari Disbudpar Provinsi Papua Barat. Sebab, ungkap dia, jika menarik retribusi, harus ada biaya yang keluar untuk membiayai perawatan situs, operasional dan pengelola.
“Kalau kita menarik retribusi, maka anggaran itu dapat dikelola untuk membiayai operasional para petugas dan perawatan situs itu sendiri,” jelas Basongan.
Ia menambahkan, pihaknya sedang berkoordinasi dengan Dinas Kehutanan dan Balai Besar Taman Nasional Teluk Cenderawasih untuk memproses Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi (SIMAKSIN).
Diutarakan Basongan, inilah yang perlu dibahas bersama pihak legislatif, sehingga ke depan potensi ini bisa memberikan sumber PAD bagi Papua Barat. Sebab, kata dia, objek wisatanya berada di kabupaten atau provinsi, tetapi uangnya masuk ke kementerian.
“Inilah yang selama ini terjadi. Potensinya ada di daerah, tapi uangnya masuk ke kementerian di pusat. Ini kan salah, seharusnya dibagikan secara persenan. Kita bisa mengaturnya secara baik agar ada kewenangan kabupaten dan provinsi di dalamnya supaya kita bersama-sama mendapatkan dampaknya,” pungkas Basongan. [FSM-R1]