Manokwari, TP – Mahasiswa dari BEM Universitas Papua (Unipa) Manokwari menggelar unjuk rasa agar pemerintah mencabut Undang-undang TNI dan proyek strategis nasional (PSN) di seluruh tanah Papua, Kamis (10/4/2025).
Aksi yang dimulai pukul 08.00 WIT dikawal ketat aparat keamanan dengan sejumlah kendaraan taktis yang dipimpin Kapolresta Manokwari, Kombes Pol. Ongky Isgunawan dan dihadiri Dandim 1801 Manokwari, Kolonel Inf. Agus P. Donny.
Menurut para mahasiswa, pengesahan UU TNI hanya melemahkan supremasi dan control sipil terhadap militer, bahkan sektor kehidupan akan dikontrol dengan militer. Pengesahan UU TNI dianggap sebagai nafsu besar pemerintah untuk berkuasa di semua sektor.
Selain itu, mahasiswa menilai, pengesahan UU TNI akan membawa masyarakat pada masa Orde Baru, dimana akan terjadi penindasan dan semua sektor kehidupan akan dikendalikan penuh oleh militer.
“Kita minta Presiden Prabowo Subianto cabut UU TNI. Kami butuh keadilan, kesejahteraan. Pemerintah seperti menutup mata sampai hari ini di Papua masih ada warga yang mengungsi, tidak punya rumah layak, dan masih ada warga yang lapar,” ungkap mahasiswa.
Ditegaskan, pengesahan UU TNI adalah kepentingan pemerintah, bukan kepentingan masyarakat. “UU TNI akan berdampak pada masyarakat. Jadi, kami ingin UU TNI segera dicabut,” pintanya.
Selain mendesak pemerintah mencabut UU TNI, mahasiswa juga menolak tegas PSN di seluruh tanah Papua. Menurut mahasiswa, PSN di tanah Papua adalah sebuah penjajahan yang bertujuan merampas kekayaan alam di tanah Papua yang berdampak pada kerusakan lingkungan.
Sementara itu, koordinator lapangan aksi unjuk rasa, Edison Iyai mengatakan, aksi unjuk rasa ini dilatarbelakangi pengesahan UU TNI di tengah sorotan publik terhadap revisi UU TNI.
Menurutnya, pengesahan UU TNI sebagai bentuk dari rendahnya komitmen terhadap transparansi dan partisipasi publik dalam penyusunan regulasi yang berdampak Iuas terhadap tata kelola pertahanan negara.
Secara substansi, ungkap dia, revisi UU TNI masih mengandung pasal-pasal bermasalah yang mengancam demokrasi dan penegakan HAM di Indonesia.
Di samping itu, agenda revisi UU TNI justru akan melemahkan profesionalisme militer sendiri dan sangat berpotensi mengembalikan Dwi Fungsi TNI, dimana militer aktif bisa menduduki jabatan-jabatan sipil.
Dijelaskannya, perluasan penempatan TNI aktif pada jabatan sipil tidak sesuai prinsip profesionalisme TNI dan beresiko memunculkan masalah.
Ditambahkannya, revisi Pasal 47 Ayat 2 itu memungkinkan prajurit TNI aktif menduduki jabatan sipil di kementerian dan lembaga pemerintah. “Ini adalah kemunduran besar refomasi TNI, mengancam kembalinya Dwi Fungsi ABRI seperti pada masa Orde Baru, dimana militer tidak hanya menjaga pertahanan tetapi juga mengendalikan ruang-ruang sipil dan politik,” ungkapnya.
Bukan itu saja, penambahan usia pensiun menjadi 60 tahun dalam revisi ini tidak memperkuat pertahanan, tetapi memperburuk masalah di internal TNI, seperti surplus perwira tinggi dan stagnasi karir prajurit muda.
Di sisi lain, ia membeberkan, PSN yang terus dipaksakan di atas tanah-tanah adat Papua tanpa persetujuan penuh masyarakat adat selaku pemilik hak ulayat.
Disebutkan, proyek food estate di Merauke dan beragam proyek insfrastruktur lain tidak hanya menyebabkan perampasan tanah adat, juga membuka ruang militerisasi lewat pelibatan TNI dalam pengamanan proyek yang semakin mempersempit ruang hidup dan aspirasi masyarakat adat.
Mereka juga menilai revisi UU TNI dan keberadaan PSN saling berhubungan, dimana TNI diberikan ruang legal untuk masuk ke ranah sipil dan ekonomi, lalu digunakan mengamankan proyek-proyek pembangunan yang merampas ruang hidup rakyat Papua.
“Ini bukan sekedar pelanggaran terhadap Konstitusi dan semangat Reformasi 1998, tetapi juga pelanggaran hak-hak masyarakat adat Papua atas tanah, identitas, dan masa depannya,” tambah dia.
Untuk menghentikan siklus pelanggaran JAM dan pembangunan yang menindas, ia menyebut ada beberapa solusi berbasis pendekatan HAM dan partisipasi lokal, yakni mencabut pasal-pasal bermasalah dalam UU TNI.
DPR dan pemerintah harus menarik kembali atau merevisi ulang pasal-pasal dalam UU TNI yang memungkinkan militer aktif menduduki jabatan sipil. “Harus ditegaskan bahwa peran militer hanya di bidang pertahanan, bukan urusan sipil sesuai amanat reformasi dan UUD 1945,” katanya.
Kemudian sambung dia, menghentikan proyek PSN yang tidak berdasarkan persetujuan masyarakat adat. Pemerintah harus mengakui dan melindungi wilayah adat secara hukum serta menjamin hak hidup dan lingkungan masyarakat adat Papua.
Selanjutnya, membentuk komisi independen pemantau HAM dan reformasi militer di Papua. Pembentukan badan independen itu melibatkan Komnas HAM, LPSK, akademisi Papua, dan tokoh adat untuk menyusun peta jalan demiliterisasi Papua, memantau pelanggaran HAM oleh aparat negara, dan merekomendasikan sanksi atau reformasi kelembagaan.
Lalu, mewujudkan pembangunan Papua dengan pendekatan kultural dan kontekstual. “Negara harus bergeser dari pendekatan pembangunan dari atas ke pendekatan partisipatif yang mengakui nilai budaya dan sosial masyarakat adat. Prioritaskan pendidikan, kesehatan, dan pengakuan hukum wilayah adat, bukan hanya infrastruktur,” pintanya.
Sekaintan dengan hal tersebut di atas, para mahasiswa menuntut 5 hal, yaitu: mencabut revisi UU TNI yang mengancam supremasi sipil dan membuka jalan bagi militerisme dalam ruang sipil.
Hentikan dan evaluasi seluruh PSN di Papua yang tidak melibatkan partisipasi masyarakat adat dan hanya menguntungkan elit ekonomi dan politik.
Kembalikan fungsi TNI pada tugas pokok pertahanan negara, bukan sebagai aktor pembangunan atau pengendali wilayah sipil.
Hormati hak masyarakat adat Papua atas tanah dan kehidupan sesuai amanat UUD 1945 dan Deklarasi PBB tentang hak-hak masyarakat adat serta mensahkan UU tentang masyarakat ada demi menjamin yang adil.
“Kami mahasiswa Universitas Papua akan terus berdiri bersama masyarakat adat Papua dan semua kelompok tertindas di negeri ini melawan segala bentuk ketidakadilan, militerisme, dan perampasan ruang hidup. Papua bukan tanah kosong. Tanah ini adalah rumah, identitas, dan masa depan masyarakat adat yang telah hidup di dalamnya selama ribuan tahun,” tukasnya.
Nyaris Ricuh
Dari pantauan Tabura Pos, unjuk rasa ini digelar pada 3 titik, yakni di depan Kampus Unipa Manokwari, depan Asrama Mansinam di Jl. Gunung Salju, Amban dan perempatan traffic light Makalow.
Di tengah aksi, terjadi insiden kecelakaan yang diduga 2 pemuda dan mengenai polisi yang sedang melakukan pengamanan. Akhirnya, kedua pemuda itu diamankan beserta 2 sepeda motor ke Polresta Manokwari.
Kondisi ini direspon mahasiswa dan nyaris terjadi kericuhan, sehingga aparat keamanan sempat melepaskan tembakan gas air mata. Mahasiswa pun membubarkan diri, lalu bergabung dengan mahasiswa lain yang sedang berorasi di perempatan Makalow.
Mereka mendesak aparat kepolisian melepas 2 rekannya dan mengancam akan terus melakukan aksi dan tidak akan menyerahkan aspirasinya.
Setelah bernegosiasi, kedua pemuda yang diduga mahasiswa ini dikembalikan ke rombongan aksi dengan catatan menandatangani surat persetujuan dan jaminan dari anggota DPR Papua Barat, Aloysius Siep.
Kapolresta Manokwari, Kombes Pol. Ongky Isgunawan mengatakan, surat itu berisi kesepakatan bahwa keduanya tidak akan mengulangi perbuatannya dan jika di kemudian hari masih melakukan pelanggaran, siap diproses sesuai prosedur hukum.
“Silakan sampaikan aspirasi. Kalau sesuai prosedur, kami kawal. Kalau tidak sesuai prosedur, kami lakukan tindakan. Kalau tidak puas, silakan buat laporan. Kalau debat, tidak selesai,” ujar Kapolresta.
Dalam aksinya, mahasiswa meminta DPR Papua Barat dan MRPB menindaklanjuti aspirasi ini ke Pemerintah Pusat, tidak sekedar datang mendengar dan menerima aspirasi, lalu dibawa pulang atau dijadikan bantal.
“Jangan hanya diskusi, tapi eksekusinya nol. Kalau kita diam, penindasan akan terus terjadi. Kami harap aspirasi kami dibawa ke Presiden Prabowo Subiyanto,” pinta mahasiswa.
Wakil Ketua DPR Papua Barat, Petrus Makbon mengapresiasi mahasiswa, sehingga dirinya menemui langsung untuk mendengar serta menerima aspirasi agar ditindaklanjuti.
“Ketika kami terima surat dari BEM, kami ditugaskan datang ke sini. Saya ke sini atas perintah pimpinan dewan. Saya bangga dengan perjuangan ini. Mohon maaf kami belum punya kantor, sehingga kami menemui langsung di lokasi aksi. Kami datang menerima aspirasi, kami siap melanjutkan aspirasi yang disampaikan,” kata Makbon.
Ditambahkan anggota DPR Papua Barat, Aloysius Siep menambahkan, terkait hak adat, DPR Papua Barat siap mendukung. Surat yang masuk ke DPR sudah disampaikan ke pusat dan keputusan tertinggi berada di pusat.
“Pada intinya, apa yang disampaikan, kami menerima. Sebagai anggota DPR, kami terima aspirasi dan diteruskan sesuai porsi kami. Intinya tujuan kita semua sama, untuk kebaikan, jadi mari kita kawal sama-sama,” ajak Siep.
Hal senada dikatakan Ketua MRPB, Judson F. Waprak. Ia menegaskan, MRPB siap membuka ruang bagi mahasiswa dalam menyampaikan aspirasu, tetapi harus disampaikan dengan baik dan benar.
Dalam penyampaian aspirasi, terutama memperjuangkan hak-hak dasar orang Papua, kata dia, harus dilakukan dengan kompak oleh seluruh mahasiswa, bukan hanya sebagian orang.
Ia menambahkan, perlu disadari bahwa demokrasi tidak bisa selalu disampaikan melalui aksi demonstrasi, apalagi ribut-ribut, tetapi orang intelek, juga perlu duduk bersama lalu memberikan nilai tawar kepada negara.
Dirinya pun mengundang BEM mahasiswa di Papua Barat untuk turun ke pelosok di 7 kabupaten untuk meminta aspirasi masyarakat, lembaga masyarakat adat, dan gereja terkait tujuan demo hari ini.
“Supaya semua datang sama-sama. Kalau perlu undang lembaga adat, kita bicara sama-sama,” katanya seraya mengatakan mari berjuang bersama tanpa harus mengeluarkan darah, tetapi melalui diplomasi dengan catatan semua harus kompak.
Dari pantauan, setelah 7 jam berunjuk rasa, mulai pukul 08.00 WIT, akhirnya para mahasiswa membubarkan diri pada pukul 15.10 WIT setelah menyerahkan aspirasinya ke DPR Papua Barat dan MRPB. [AND-R1]