Manokwari, TP – Sekretaris Jenderal Dewan Adat Papua Sekretaris Dewan Adat Papua (Sekjen DAP), Yan C. Warinussy mengingatkan Presiden, Prabowo Subianto agar meletakkan kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang Berat dalam kasus kematian tragis dan atau pembunuhan kilat di luar hukum yang terjadi pada 26 April 1984 di Pantai Pasir Enam, Jayapura dan mengakibatkan Arnold Clemens Ap Kurator Museum Antropologi Universitas Cenderawasih Abepura-Jayapura atau Ketua Grup Musik Tradisonal Papua Mambesak dan Eduard Mofu, salah satu anggota Grup Mambesak, segera dibuka dan diselidiki secara hukum.
Hal ini penting dilakukan sesuai amanat Undang –undang Republik Indonesia Nomor: 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) serta Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Menurutnya, Dewan Adat Papua (DAP) memiliki kepentingan berdasarkan amanat Pasal 45 Ayat 1 dan Ayat 2 UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.
Dengan demikian, berkenaan dengan peringatan 41 tahun kematian Arnold Clemens Ap dan Eduard Mofu, DAP menyerukan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto segera memberikan keputusan resmi untuk dilakukann penyelidikan hukum dan hak asasi manusia terhadap kematian di luar hukum yang dialami kedua seniman orang asli Papua pada 41 tahun lalu.
DAP menyerukan agar Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas HAM) dapat dilibatkan pada garda terdepan dalam penyelidikan kasus ini.
DAP juga menyerukan agar Dewan Hak Asasi Manusia, Perserikatan Bangsa Bangsa (Dewan HAM PBB) untuk terlibat penuh dalam memberikan saran dan rekomendasi penting kepada Pemerintah.
“DAP akan terus mengawal hal ini sesuai amanat Statuta, Pedoman Dasar dan Pedoman Operasional DAP serta Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia Undang-undang Dasar 1945 dan amandemennya serta aturan perundangan yang berlaku,” ungkap Warinussy dalam press release yang diterima Tabura Pos, Sabtu (26/4).
Selain itu, Warinussy yang juga Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari mendesak Presiden segera menyelesaikan proses hukum kasus dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity) yang terjadi di Wasior, Kabupaten Teluk Wondama, Provinsi Papua Barat sekitar Juni-Juli 2001.
Kasus Wasior tersebut telah tidak jelas proses hukumnya selama lebih kurang 24 tahun terakhir ini meski pun Indonesia sebagai sebuah negara hukum dan negara demokrasi, sesungguhnya telah memiliki hukum materil Hak Asasi Manusia (HAM) yang terkandung di dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM serta adanya hukum formil yang diatur dalam UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Namun demikian, sejumlah kasus dugaan pelanggaran HAM Berat di Indonesia, termasuk kasus Wasior 2001 belum dapat diselesaikan secara hukum.
Kendati pun dalam kurun waktu 3 tahun terakhir ini, Pemerintah sejak jaman pemerintahan Presiden Joko Widodo telah berupaya melakukan penyelesaian non judicial (di luar hukum), tetapi LP3BH tidak melihat adanya hasil yang memberikan jaminan sosial kemasyarakatan dan adil bagi para eks korban dan keluarga korban kasus Wasior 2001 hingga hari ini.
Oleh karena itu, sambung dia, dengan rasa hormat, LP3BH Manokwari mendesak Pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo segera menyelesaikan kasus Wasior sesuai amanat konstitusi NKRI yakni Undang-undang Dasar (UUD) 1945.
“LP3BH Manokwari percaya bahwa keberadaan Pasal 45 dan Pasal 46 UU No. 21 Tahun 2001 telah memberi ruang bagi langkah progresif dalam menyelesaikan segenap kasus dugaan pelanggaran HAM Berat di tanah Papua, khususnya Wasior,” pungkasnya. [*AND-R1]