Manokwari, TP – Sejumlah mahasiswa asal Kabupaten Teluk Bintuni, Provinsi Papua Barat menggelar aksi membisu sebagai bentuk protes terhadap PT Borneo Subur Prima (BSP), di depan Swiss-Belhotel, Manokwari, Selasa (27/5).
Menurut seorang mahasiswa, Darius Susure, aksi membisu ini sebagai bentuk protes dan penolakan terhadap keberadaan PT BSP, salah satu perusahaan kelapa sawit di Kabupaten Teluk Bintuni. Aksi protes dilakukan karena dinilai tidak melalui tahapan perizinan.
Susure menjelaskan, saat pertama masuk untuk melakukan sosialisasi di wilayah Aroba, Sumuri, masyarakat adat menolak, hutan tidak boleh digusur untuk penanaman kelapa sawit.
Selanjutnya, pihak PT BSP menyampaikan ke masyarakat setempat akan pergi dan kembali setelah 2 tahun. Namun kenyataannya, PT BSP kembali hanya kurun waktu sekitar 2 minggu ke Aroba.
Saat di Aroba, ungkap dia, pihak perusahaan tidak pernah duduk dengan masyarakat terkait Amdal, dimana pihak perusahaan hanya bertemu beberapa marga yang langsung menyerahkan wilayah adatnya.
“Artinya, ada orang yang digunakan saat turun pertama untuk pembebasan lahannya,” kata Susure kepada Tabura Pos di Swissi-Belhotel, Manokwari, Selasa (27/5).
Dikatakannya, saat pembebasan lahan, pihak perusahaan turun bicara dengan beberapa marga dan mengaku akan melakukan sosialisasi terkait kebun kelapa sawit. Lanjut Susure, masyarakat menerima atau tidak, itu akan diambil sampel, apakah perusahaan akan beroperasi atau tidak.
Namun faktanya, jelas Susure, tidak seperti itu, dimana pihak perusahaan langsung merekrut orang untuk masuk melakukan rintis batas-batas wilayah adat.
Setelah itu, beberapa minggu kemudian dilakukan pembayaran kepada beberapa marga dengan luas dan nilai yang berbeda.
Menurutnya, masyarakat juga merasa dijebak karena di dalam isi surat perjanjian disebutkan bahwa yang tumbuh di atas dan semua mineral di dalam tanah.
Padahal, jelas Susure, perizinannya hanya terkait penanaman kelapa sawit. Artinya, yang tumbuh di atas saja yang digusur, tetapi dalam isi surat perjanjian, mineral di dalam tanah juga menjadi haknya.
“Masyarakat melepaskan mineral di dalam tanah. Ini sesuatu yang terpisah karena mineral di dalam tanah ini kan bisa saja minyak. Itu berpotensi, karena hutan itu kan masih primer, belum tersentuh sama sekali,” ungkapnya.
Kemudian, di poin kedua, menggunakan sistem Hak Guna Usaha (HGU), dimana di dalam surat perjanjian, setelah 20 tahun beroperasi atau ketika selesai masa operasinya sawit, terserah pihak kedua, dalam hal ini perusahaan mau berinvestasi apapun di atas tanah tersebut, pihak pertama harus menyetujuinya. “Berarti mereka tidak melalui perizinan selanjutnya lagi,” ujar Susure.
Menurutnya, mahasiswa bersama MRPB, DPR, LSM, dan pengacara sudah turun ke Aroba untuk berbicara dengan masyarakat, dimana masyarakat menyampaikan sebenarnya ingin menolak, tapi sudah terlanjur menerima uang.
Untuk itu, kata dia, mahasiswa berharap Pemerintah Teluk Bintuni, dalam hal ini Bupati Teluk Bintuni tidak memberikan izin kepada perusahaan kelapa sawit tersebut.
“Kami minta ke Bupati, karena perusahaan ini juga beroperasi di Kabupaten Teluk Bintuni, tapi segala macam izin dan kantornya ada di Kabupaten Fakfak. Terus keuntungan apa yang akan dibawa ke Kabupaten Teluk Bintuni,” katanya.
Lanjutnya, hal ini menjadi bagian penting, sehingga mahasiswa melakukan aksi bisu. Aksi ini, kata dia, murni dari mahasiswa, karena mereka melihat orang tuanya seperti dibodohi karena diiming-imingi.
“Belum ada Amdal saja dia beroperasi. Pembayaran hak ulayat itu dasarnya dari mana? Seharusnya dasarnya dari Amdal, dia dibayar berapa per meter, itu harus tertuang di dalam Amdal, tapi itu tidak ada. Kemudian, dia bayar pakai apa? Artinya, masyarakat dibodohi dengan surat perjanjian ini, tidak ada dasar perusahaan membayar ini,” tukasnya.
Ditegaskannya, aksi membisu ini sebagai bentuk protes terhadap kegiatan yang dilakukan PT BSP bersama beberapa OPD di Provinsi dan Kabupaten, dimana kemungkinan ada lembaga MRPB di dalam. [AND-R1]