Manokwari, TP – Terdakwa Jhony Koromad dituntut Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Teluk Bintuni dengan pidana selama 2 tahun dan 10 bulan penjara serta denda Rp. 100 juta subsidair 6 bulan kurungan.
Menurut JPU, terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dan diancam pidana pada ketentuan Pasal 3 jo Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1991 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat 1 Ke-1 KUHP.
Penasehat hukum terdakwa Jhony Koromad, Yan C. Warinussy, SH menilai, tuntutan JPU tidak faktual atau tidak sesuai fakta di persidangan. Sebab, JPU tidak memasukkan keterangan kedua terdakwa, Jhony Koromad dan Fredi Parubak, yang menjadi saksi mahkota tentang apa yang dialami keduanya, sehingga ini menjadi perkara.
“Dalam keterangan Fredi Parubak, uang yang mengalir ke dia, itu hanya Rp. 90 juta dari pencairan dua kali,” ungkap Warinussy kepada Tabura Pos di kediamannya, Kamis, 26 Juni 2025.
Menurut Warinussy, setiap kali pencairan, uangnya diambil Simon Dowansiba dan Mujiburi Anshar Nurdin. “Perusahaan yang digunakan mengerjakan pekerjaan pembangunan jembatan Kali Wasian tahap 3 itu adalah perusahaan milik Mujiburi Anshar Nurdin, PT Nusa Marga Raya,” ungkap Warinussy.
Dijelaskan Warinussy, pekerjaan ini lahir dari pokok pikiran (pokir) DPRD Kabupaten Teluk Bintuni, dalam hal ini, Simon Dowansiba. Akhirnya, sebagai orang dekat dari Simon Dowansiba, maka Fredi Parubak yang diminta untuk mengerjakan, dengan mencari perusahaan dan belakangan ‘meminjam’ perusahaan milik Anshar Nurdin.
“Tahap 3 ini bukan pekerjaan pengadaan rangka baja, tapi pekerjaan struktur jembatan. Struktur jembatan itu dibangun di pabriknya di Bekasi,” jelas Warinussy.
Selain ‘meminjam’ perusahaan milik Anshar Nurdin, sambung Warinussy, tidak ada penyerahan kuasa direktur dari Anshar Nurdin kepada Fredi Parubak, maka semua proses penandatanganan dokumen, ditandatangani Anshar Nurdin.
“Waktu pencairan uang di bank, Anshar juga ada sama-sama Fredi Parubak, mencairkan uang. Sesudah uang cair, uang diserahkan ke Fredi untuk dikasih ke Simon. Inilah yang dipakai untuk membayar rangka baja, lalu sisanya, dia kantongi,” papar Warinussy.
Ironisnya, keterangan yang sangat signifikan ini, sama sekali tidak disinggung jaksa dalam tuntutannya. “Keterangan itu dihilangkan,” ucap Warinussy.
Ditambahkannya, keterangan Jhony Koromad bahwa yang dilakukan dalam pekerjaan ini adalah pekerjaan struktur jembatan sepanjang 36 meter. Ia mengakui, meski proses pembayaran pembangunan struktur jembatan terlambat akibat uang yang mengalir ke Anshar Nurdin, Simon Dowansiba, dan dipakai Fredi Parubak, sehingga proses pembayaran tidak dilakukan dengan cepat.
“Awalnya mereka bayar uang muka Rp. 200 juta. Belakangan mereka berusaha, kredit dan segala macamnya, baru dilakukan pembayaran. Ini dijelaskan di dalam sidang, tetapi ini tidak diangkat dalam tuntutan, tetapi dihilangkan oleh jaksa,” kata Warinussy.
Setelah proses pembayaran, struktur jembatan dikirim dan sudah tiba di Manokwari. Lanjut Warinussy, di persidangan, Simon Dowansiba menerangkan bahwa pekerjaan tahap 3 ini hanya sampai di Manokwari.
“Pekerjaan membawa barang dari Manokwari sampai di Bintuni, dalam hal ini di Beimes, kemudian dipasang, itu nanti ada kontrak baru lagi. Artinya ada tahap 4. Barang itu sudah ada di Manokwari dan jaksa sendiri mengakui barang itu kami tidak sita sebagai barang bukti, tetapi dititipkan di Rupbasan,” jelasnya.
Diutarakan Warinussy, inilah sejumlah fakta dalam persidangan yang tidak diperhitungkan atau dipertimbangkan terkait kerugian keuangan negara.
“Dianggap total lost. Dia berpatokan pada ahli keuangan negara yang mengatakan kalau pekerjaan pengadaan itu berarti barang itu terpasang. Kalau tidak terpasang, dianggap total lost atau fiktif,” tukasnya.
Ditegaskan Warinussy, meski tuntutan JPU tidak berdasarkan fakta persidangan, tetapi sebagai seorang pengacara tetap akan membela kliennya dan tidak perlu ada aksi berlebihan. “Kita sudah susun pembelaan untuk dibacakan pada sidang nanti,” katanya.
Ada Tebang Pilih
Disinggung apakah dalam penanganan perkara dugaan tipikor ini ada kesan tebang pilih? “Menurut saya iya, tebang pilih jelas, karena di dalam fakta persidangan. Waktu Simon Dowansiba sudah diungkapkan Fredi Parubak dan Jhony Koromad. Demikian halnya ketika Anshar Nurdin diperiksa sebagai saksi, juga dibantah dan diperjelas kedua terdakwa. Klien saya, tidak terbukti ada aliran uang yang mengalir kepada dia, sama sekali tidak ada,” tegasnya.
Warinussy menegaskan bahwa kedua terdakwa sesungguhnya ‘dikorbankan’ dari sejumlah pihak yang harus bertanggung jawab, diantaranya Simon Dowansiba, Anshar Nurdin maupun kuasa pengguna anggaran (KPA), Andarias Tomi Tulak sebagai Kepala Dinas PUPR Kabupaten Teluk Bintuni.
“KPA ini tiga kali dipanggil, tetapi tidak datang dengan alasan sakit. Kami sudah sampaikan di depan sidang bahwa jaksa harus menunjukkan dia diperiksa di rumah sakit yang representatif, tapi ini tidak, diperiksa di sebuah klinik,” sesal Warinussy.
Ditegaskannya, peran dari KPA sangat jelas, yakni menjadi ‘penjaga gawang’ terakhir untuk menyelamatkan keuangan negara. “Dia yang tanda tangan dokumen sehingga proses pencairan bisa terjadi. Klien saya sebagai PPK, dia hanya menandatangani bahwa progress pekerjaan sudah 100 persen,” tambahnya.
Sebab, sambung Warinussy, Jhony Koromad sudah melakukan pengecekan ke Jakarta dengan biaya sendiri dan pekerjaan struktur jembatan sudah diselesaikan. “Struktur jembatan sepanjang 36 meter sudah selesai, tinggal dikirim saja,” tuturnya.
Di samping itu, Warinussy mengaku heran, mengapa proses pemeriksaan terhadap Andarias Tomi Tulak justru dilakukan Kajari Teluk Bintuni, Jusak E. Ayomi, SH, MH.
“Nah sekarang jadi pertanyaan besar, ada apa, sehingga seorang Kajari langsung turun tangan melakukan pemeriksaan terhadap seorang Andarias Tomi Tulak,” tanya Warinussy.
Pada kesempatan ini, Warinussy juga berharap pihak keluarga dapat mengikuti prosedur dan menghormati pengadilan yang menjadi benteng terakhir bagi pencari keadilan.
“Oleh karena itu, kita harus berupaya memberi penghormatan kepada mereka. Yang pegang palu itu hakim, dia yang ketuk dan menyatakan seseorang itu bersalah atau tidak bersalah,” ujar Warinussy.
Informasi yang diterima Tabura Pos, terdakwa Fredi Parubak juga dituntut dengan pidana selama 2 tahun dan 10 bulan, denda Rp. 100 juta subsidair 6 bulan kurungan.
JPU berpendapat, terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dan diancam pidana pada Pasal 3 jo Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat 1 Ke-1 KUHP.
Selain itu, terdakwa juga dibebankan membayar uang pengganti sebesar Rp. 973.950.330 dan apabila dalam jangka waktu 1 bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, terdakwa tidak membayar uang pengganti, maka jaksa dapat menyita dan melelang harta kekayaan milik terdakwa guna menutupi kerugian keuangan negara dan apabila harta kekayaan terdakwa tidak mencukupi, diganti dengan pidana penjara selama 1 tahun dan 5 bulan penjara.
“Iya benar, klien kami (Fredi Parubak, red) juga dituntut dengan pidana 2 tahun dan 10 bulan,” singkat penasehat hukum terdakwa Fredi Parubak, Paulus S.R. Renyaan, SH yang ditemui Tabura Pos di PN Manokwari, belum lama ini. [TIM2-R1]