Manokwari, TP – Akademisi Universitas Papua (Unipa), Anton Sineri mengatakan, krisis lingkungan bukan hanya terjadi di belantara terpencil. Tetapi, hadir juga di jantung kota seperti, Taman Wisata Alam Gunung Meja (TWAGM) di Manokwari.
Menurut Sineri, TWAGM merupakan cermin nyata dari bagaimana kawasan konservasi bisa lumpuh di tengah geliat pembangunan kota.
Dikatakan Sineri, TWAGM selama ini disebut sebagai ‘Paru-paru Manokwari’ julukan yang nyaris menjadi retorika rutin tanpa makna nyata di lapangan.
Ungkap dia, fakta menunjukkan bahwa hutan konservasi seluas 462,16 hektar itu perlahan-lahan kehilangan fungsi ekologisnya, bukan karena bencana alam, melainkan karena kegagalan sistematis dalam tata kelola kawasan konservasi di tengah kota.
“Secara ekologis, TWAGM adalah kawasan strategis. Menjadi rumah bagi lebih dari 100 jenis pohon, 65 spesies tumbuhan obat, berbagai jenis fauna khas Papua seperti kuskus dan kakatua putih jambul kuning,” terang Sineri dalam pers release yang di terima Tabura Pos via WhatsApp, kemarin.
Sineri yang juga dosen Fakultas Kehutanan Unipa ini menyebutkan, TWAGM menyimpan 44 mata air aktif, di mana 7 di antaranya menjadi sumber utama air bersih untuk masyarakat Kota Manokwari, dan menyediakan cadangan air sebesar 1,6 juta ton per tahun.
Namun, sambung dia, data menunjukkan fakta mencemaskan: lebih dari 25 lokasi aktif pembuangan sampah berada dalam kawasan, rumah-rumah warga dibangun di atas batas konservasi, dan kebun-kebun baru bermunculan tanpa izin.
Kata dia, berdasarkan Data Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua Barat menunjukkan, meskipun kawasan ini sudah ditetapkan secara hukum melalui SK Menteri Kehutanan No. 91/Menhut-II/2012.
Sayangnya, aktivitas ilegal masih terjadi secara rutin, Pemukiman warga bahkan telah melampaui patok batas kawasan, dan ini terjadi di berbagai sisi seperti Fanindi, Amban, Ayambori dan Brawijaya.
Gunung Meja adalah contoh nyata bagaimana kawasan konservasi di kawasan urban bisa berfungsi sebagai benteng terakhir terhadap krisis iklim dan ekologi. Jika tidak segera diperkuat, ancaman degradasi akan datang lebih cepat daripada solusi.
Ia menambahkan, Pakar lingkungan dari Universitas Papua menilai bahwa, pengelolaan TWAGM harus melibatkan pendekatan kolaboratif dengan masyarakat adat.
“Kita tidak bisa hanya mengandalkan pendekatan dari atas. Perlu restorasi sosial, edukasi berbasis nilai lokal, dan insentif bagi pelestari kawasan,” ujarnya.
Karena itu, lanjut Sineri, refleksi pentingnya adalah Gunung Meja tidak akan bertahan jika sistem perlindungannya tidak direstorasi.
Untuk itu, Sineri menyarankan perlu adanya penataan ulang zonasi dan pemutakhiran batas digital. Lalu, Aliansi antara pengelola, masyarakat adat, dan pemerintah kota, Penguatan mekanisme pelaporan digital berbasis warga dan Edukasi lintas generasi tentang fungsi ekologis Gunung Meja.
TWAGM seharusnya dijadikan model kawasan konservasi berbasis kota (urban conservation zone), bukan hanya dilihat sebagai beban kawasan atau blok pembangunan yang ‘menghalangi’ ekspansi kota.
Lebih lanjut, jelas dia, dalam konteks perubahan iklim, Gunung Meja adalah benteng terakhir ketahanan ekologis Manokwari. Maka, perlu didorong model baru dalam pengelolaan kawasan ini yakni Model Konservasi Lintas Sektor.
Dimana, Solusi tidak cukup hanya dengan patroli dan pagar, tetapi perlu pendekatan lintas sektor, diantaranya.
Sebut Sineri, Penguatan sistem pengawasan berbasis komunitas adat dan universitas lokal. Kemudian, Penataan ulang batas kawasan berbasis digital dan integrasi penuh dalam RTRW.
Selanjutnya, skema insentif dan tanggung jawab bersama antara BBKSDA, Pemda, dan masyarakat serta Pemanfaatan TWAGM sebagai ruang edukasi dan ekowisata konservasi, bukan eksploitatif.
Lebih jauh, pendekatan konservasi di kawasan urban seperti Gunung Meja menuntut keberanian untuk menyusun ‘model baru pengelolaan lanskap ekologis kota’ yang menjadikan konservasi bukan beban tata ruang, tetapi fondasi kehidupan.
“Gunung Meja bukan sekadar kawasan hijau. Ia adalah penyangga eksistensi manusia di Manokwari. Jika kita kehilangan Gunung Meja, kita bukan hanya kehilangan hutan—tetapi kehilangan arah,” tandas Sineri. [*FSM-R5]