Manokwari, TP – Pemerintah disebut masih mempunyai ‘utang’ cukup besar untuk masyarakat adat Suku Sebyar, Kabupaten Teluk Bintuni, Provinsi Papua Barat. Padahal, pemerintah telah ‘menikmati’ hasil gas alam cair (LNG) yang berasal dari Train 1, 2, dan 3 di lapangan gas Tangguh.
Kepala Suku Besar Sebyar, Haji Aci Kosepa pun menceritakan tentang ‘utang’ pemerintah terhadap masyarakat adat Suku Sebyar dan perjuangannya menuntut hak-hak masyarakat adat yang selama ini terabaikan.
Kosepa membeberkan, terdapat 15 sumur di Train 1 dan 2, tetapi yang baru dibayar hanya 6 sumur sebesar Rp. 60 miliar, sedangkan masih tersisa 9 sumur yang belum dibayarkan sebesar Rp. 90 miliar.
Untuk Train 3 yang sudah dibuka dan beroperasi, kata Kosepa, terdapat 120 sumur yang belum pernah dibayarkan.
Dirinya menerangkan perjuangan menuntut hak masyarakat adat Sebyar, mulai berkoordinasi dengan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Teluk Bintuni, bertemu Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia di sela-sela HUT Kabupaten Teluk Bintuni ke-22, 9 Juni 2025.
Awalnya, kata Kosepa, masyarakat adat mau berdemo menuntut hak-hak ulayat yang belum ‘dilunasi’ pemerintah. “Hari itu saya ada ikut upacara HUT Kabupaten Teluk Bintuni ke-22,” ungkap Kosepa didampingi Sekretaris Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Sebyar (LPMS), Allo Serang kepada Tabura Pos di Kantor Gubernur Papua Barat, kemarin.
Dikatakannya, waktu itu ia mau mendemo kedatangan Menteri ESDM, tetapi Bupati Teluk Bintuni, Yohanis Manibuy berkoordinasi dengan Kepala Distrik Weriagar, Ibrahim Patiran dan beberapa orang agar dirinya mengurungkan niat berdemo.
“Mereka bilang, Bupati ada panggil bapak suku ke sana. Jadi malam itu kita ke sana bertemu Bupati. Bupati bilang, om suku tidak usah demo, karena Bahlil ini saya yang undang datang untuk ulang tahun Kabupaten Teluk Bintuni,” kata Kosepa menirukan permintaan Bupati.
Sebab, lanjut Kosepa, jika dirinya melancarkan aksi demo menolak kedatangan Menteri ESDM, tentu akan mempermalukan Bupati Teluk Bintuni.
“Malam itu kita ke sana, jadi saya serahkan proposal ke Bupati, termasuk pernyataan sikap untuk meminta Bupati memfasilitasi saya ke Jakarta mengurus hak-hak masyarakat adat yang belum dibayar,” ungkap Kepala Suku Besar Sebyar.
Setelah menyerahkan proposal, jelas Kosepa, Bupati mengatakan akan mempelajarinya. Untuk menindaklanjuti proposal tersebut, sambung Kosepa, dirinya dan Hengky Kutanggas bertemu Bupati Teluk Bintuni di kantornya.
“Saya tanya, kira-kira saya punya proposal kapan bapak bisa realisasikan? Pak Bupati katakan kepada saya selaku Kepala Suku Besar Sebyar bahwa saya harus tanya Alfons Manibui dulu. Kalau dia setuju, berarti saya bisa keluarkan dana untuk bapak Kepala Suku berangkat ke Jakarta untuk menemui Menteri ESDM,” papar Kosepa.
Ditambahkan Kosepa, dirinya sudah bertemu Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia di sela-sela HUT Kabupaten Teluk Bintuni ke-22. “Saya bilang Pak Menteri ESDM, sekarang kita punya hak, LNG Tangguh, Train 1, 2, dan 3 belum bayar. Akhirnya, Bahlil bilang kalau begitu, bapak suku ketemu Bupati untuk fasilitasi berangkat ke Jakarta, baru nanti kita bicara di Jakarta. Itu omongan Menteri ESDM kepada saya sebagai Kepala Suku Sebyar,” rinci Kosepa.
Setelah mendengar arahan dari Bahlil, ia pun menyampaikan pesan tersebut ke Bupati. Namun, ungkap dia, Bupati menyampaikan lagi bahwa dirinya harus melaporkan terlebih dahulu ke Alfons Manibui.
“Alfons setuju dulu baru om dorang bisa berangkat ke Jakarta. Terus saya katakan sama Anisto, bukan Alfons yang bupati, Anisto yang Bupati, kenapa mau tanya Alfons lagi? Tapi sampai sekarang tidak ada kelanjutan. Padahal saya ketemu Bupati atas petunjuk Bahlil,” kata Kosepa.
Merasa kecewa dengan ketidakjelasan tersebut, maka dirinya berusaha meminjam uang Rp. 10 juta untuk berangkat ke Manokwari. Tujuan ke Manokwari, tambahnya, untuk bertemu Gubernur Papua Barat, Dominggus Mandacan.
“Kami sudah ketemu Gubernur dan saya sampaikan masyarakat dari enam distrik minta saya sebagai Kepala Suku Besar Sebyar untuk bertemu Gubernur dan koordinasi, pertanyakan kita punya sembilan sumur di Train 1, 2, dan 3, kapan mau dibayar. Saya bertemu Gubernur karena di tingkat kabupaten tidak ada respon,” sesalnya.
Diakui Kosepa, berdasarkan hasil koordinasi dengan Gubernur, dirinya kemudian akan berupaya menemui Komisi VI dan VII DPR-RI, SKK Migas, dan Kementerian ESDM.
“Pak Gubernur merespon baik dan katakan setelah bertemu nanti, apa hasilnya tolong dilaporkan, sehingga Pak Gubernur bisa turun koordinasi dengan Bupati Teluk Bintuni,” terang Kosepa.
Kosepa menambahkan, yang diperjuangkan ini aspirasi masyarakat dari 6 distrik (Tomu, Weriagar, Kamundan, Aranday, Taroi, dan Yakora) yang masuk dalam wilayah adat Suku Sebyar.
“Masyarakat 6 distrik ini mengeluh ke saya selaku Kepala Suku Sebyar, kapan hak-hak kita dibayarkan. Makanya, saya bawa aspirasi itu dan berangkat untuk bertemu Gubernur,” kata Kosepa.
Sementara itu, Allo Serang menambahkan, masyarakat adat Suku Sebyar datang dari Teluk Bintuni untuk bertemu Gubernur, karena kehidupan masyarakat adat Suku Sebyar tak diperhatikan pemerintah daerah (pemda) sampai Pemerintah Pusat. Padahal, Sebyar menjadi penyumbang terbesar income untuk negara dan daerah.
Diungkapkannya, hak-hak masyarakat adat sebenarnya sudah tertulis dalam peraturan daerah khusus (perdasus). Jika sudah tertulis di perdasus, maka pemda mempunyai kewajiban atau berinisiatif mendukung perdasus dengan membuat peraturan daerah (perda) atau peraturan bupati (perbup).
“Tapi, itu tidak pernah dilakukan sampai sekarang. Di Bintuni sendiri, kami minta waktu mau bertemu pemerintah saja susah, makanya kita datang ke provinsi untuk meminta perhatian dari Gubernur yang direspon sangat baik,” klaim Allo.
Diuatarakn Allo, masyarakat adat Sebyar juga berharap negara ini bisa berlaku adil dan mengajarkan masyarakat dengan bijaksana, jangan diajar dengan cara yang biadab. “Tidak boleh, karena itulah yang selama ini terjadi,” sesalnya.
Terkait hak ulayat yang belum dibayar, ungkap Allo, awalnya masyarakat mengetahui hanya 6 sumur, kemudian pemerintah melakukan pembayaran sebesar Rp. 60 miliar. “Setelah sampai di Jakarta, mereka kasih keluar tabel, ternyata ada 15 sumur di Train 1 dan 2, sehingga sisanya sembilan sumur itu yang kita perjuangkan, sebesar Rp. 90 miliar,” rinci Allo.
Dirinya menjelaskan setelah pembukaan dan pengeboran di Train 3, ternyata ada 120 sumur, meski masyarakat adat belum mendapat tabel terkait ratusan sumur tersebut.
“Tapi atas izin yang dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup, ternyata ada 120 titik sumur. Sekarang sudah ada beberapa yang berproduksi, tetapi kami belum dapat apa-apa dari Train 3,” ujar Allo.
Allo menegaskan, jika Pemerintah Pusat tidak segera merealisasikan kewajibannya, maka masyarakat adat akan melarang kelanjutan operasional Train 3, 4 dan seterusnya. “Pembangunan kita larang, tidak boleh. Ini yang nanti kita ke Jakarta untuk bicara,” ucapnya.
Pabrik Pupuk di Fakfak
Di samping itu, Allo juga menyoroti pergeseran rencana pembangunan pabrik pupuk dari Teluk Bintuni ke Fakfak. Diutarakannya, hal ini juga sudah disampaikan ke Gubernur.
“Pabrik pupuk di Fakfak tidak layak, tidak boleh, apalagi kan bahan bakunya ada di Teluk Bintuni, bukan di Fakfak. Waktu itu sudah ada tempatnya, sudah dikasih, tapi digeser lagi ke Fakfak. Kita akan bicara supaya dikembalikan,” tukasnya.
Untuk itulah, ia mendesak pencabutan peraturan presiden tentang pembangunan pabrik pupuk di Fakfak yang dijadikan Proyek Strategis Nasional (PSN). Proyek ini melibatkan PT Pupuk Indonesia yang berlokasi di Distrik Arguni, Kabupaten Fakfak, Provinsi Papua Barat.
Dirinya berharap pergeseran pembangunan pabrik pupuk tidak mengadudomba sesama anak Papua. Diungkapkannya, kondisi tanah yang akan dijadikan lokasi pembangunan pabrik pupuk tak memenuhi syarat akibat tanahnya berongga.
“Ini juga akan kita sampaikan nanti waktu bertemu pihak terkait di Jakarta,” tandas Allo seraya berharap ke depan proses pembagian DBH Migas dilakukan secara transparan. [TIM2-R1]