Jakarta – Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Sakti Wahyu Trenggono menegaskan bahwa penangkapan ikan tak boleh dilakukan secara sembarangan.
“Saya studi ke seluruh dunia, bahkan China sekalipun sudah melakukan ini (quota-based measured fishing/penangkapan ikan terukur) dengan baik. Tidak boleh sembarangan tangkap,” ucapnya dalam Peluncuran Blue Food Assessment (BFA) Indonesia dan Indonesia Blue Economy Index (IBEI) di Jakarta, Rabu.
Walaupun Peraturan Pemerintah (PP) tentang Penangkapan Ikan tahun 2023 telah diterbitkan, pihaknya mengaku belum berhasil dijalankan dengan baik.
Dengan dukungan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas), lanjutnya, tentu tahun ini KKP meminta agar seluruh kapal penangkap tak boleh lagi dimiliki oleh perorangan, tetapi harus perusahaan.
“Kalau untuk pembangunan nelayan tradisional sudah kita siapkan, namanya Kampung Nelayan Merah Putih. Ini salah satu contoh dan ini terbukti sekali telah terjadi peningkatan kualitas produk dan peningkatan pendapatan di Biak (Papua),” ungkap Trenggono.
Dia menginginkan Menteri PPN/Kepala Bappenas Rachmat Pambudy bisa berkunjung ke Pulau Biak yang saat ini telah memiliki dermaga, pabrik es, hingga cold storage yang dijalankan oleh koperasi.
Koperasi ini mengubah cara nelayan berbisnis dengan mendorong dalam melakukan one day fishing dengan ikan yang ditangkap langsung disimpan di cold storage setiba di darat, dari sebelumnya menggunakan kontainer yang dijual dengan sepeda motor ke pasar.
“Model seperti ini oleh Bapak Presiden saya diminta untuk membangun 1.100 titik yang sekarang sedang dalam proses untuk menuju itu,” kata Menteri KKP.
Jika hal tersebut dapat dilakukan, maka penangkapan ikan terukur dinilai akan bisa dijaga dengan menurunkan tingkat produksi secara tajam.
“Harapan saya ke depan bukan lagi meningkat produksinya, tapi harus mendekati nol. Kenapa demikian? Supaya laut Indonesia tetap menjadi laut yang makmur untuk kepentingan regenerasi atau generasi yang akan datang,” ujar dia. [Pewarta: M Baqir Idrus Alatas/Editor: Abdul Hakim Muhiddin/ANTARA]