Jakarta – ANTARA Bagi seluruh rakyat Indonesia, kemerdekaan Indonesia yang akan menginjak usia 80 tahun pada 2025 bukanlah sekadar perayaan nostalgia Proklamasi 17 Agustus 1945.
Lebih dari itu, kemerdekaan adalah sebuah proyek abadi, perjuangan tanpa henti demi mencapai kedaulatan penuh dan kekuatan nasional yang utuh.
Visi besar ini berpuncak pada “Indonesia Emas 2045”, seratus tahun kemerdekaan, di mana Indonesia diharapkan berdiri gagah sebagai bangsa yang kuat, adil, dan disegani di panggung global.
Momen 80 tahun ini, menurut Presiden Indonesia Prabowo Subianto, adalah panggilan untuk refleksi kritis.
Apakah kita sudah benar-benar mencapai potensi terbaik sebagai bangsa yang merdeka? Pertanyaan ini menjadi landasan untuk melangkah maju, bukan terjebak dalam romantisme sejarah.
Indonesia harus mampu bersaing di kancah global, bukan hanya sebagai penonton, melainkan pemain kunci yang disegani. Ini adalah tantangan yang harus dijawab dengan kerja keras dan strategi matang.
Visi Indonesia Emas 2045 bukan sekadar mimpi, melainkan target konkret yang harus diwujudkan.
Kekuatan sebagai fondasi
Presiden Prabowo secara konsisten menekankan bahwa kekuatan adalah prasyarat mutlak untuk mempertahankan kemerdekaan sejati.
Mengutip sejarawan Yunani kuno Thucydides, “yang kuat melakukan apa yang mereka bisa, dan yang lemah menderita apa yang harus mereka derita,” ia memandang bahwa bangsa yang lemah berisiko dijajah kembali, baik secara fisik maupun ekonomi.
Oleh karena itu, kemerdekaan berarti membangun kekuatan militer dan ekonomi yang tak tertandingi sebagai perisai kokoh untuk melindungi kepentingan nasional.
Ini juga panggilan untuk kesadaran kolektif bahwa kekuatan adalah prasyarat mutlak bagi kelangsungan hidup dan martabat bangsa di tengah persaingan global yang tak mengenal kompromi.
Visi kemerdekaan dari Presiden Prabowo juga sangat berakar pada nasionalisme, mengambil inspirasi dari Bapak Pendiri bangsa, terutama Soekarno.
Ia mentransformasi filosofi Trisakti Soekarno—berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan—menjadi slogan kontemporer “Indonesia First, make Indonesia great again“.
Presiden Prabowo berulang kali menegaskan bahwa kekayaan alam Indonesia yang melimpah harus dikelola sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyat, bukan justru mengalir ke luar negeri, yang ia sebut sebagai bentuk “kolonialisme” ekonomi modern.
Kemerdekaan ekonomi berarti mengurangi kebergantungan pada impor secara drastis dan mendorong produksi barang-barang esensial secara mandiri, membangun fondasi yang kuat untuk kekuatan nasional secara keseluruhan.
Martabat di panggung dunia
Konsep “Si vis pacem para bellum” (Jika ingin damai, bersiaplah untuk perang) adalah inti dari pandangan Presiden Prabowo tentang kemerdekaan eksternal. Kemerdekaan bukanlah sikap pasif, melainkan kemampuan untuk mempertahankan diri dan memproyeksikan kekuatan yang kredibel untuk mencegah agresi.
Ini sejalan dengan pemikiran Carl von Clausewitz yang memandang militer sebagai instrumen politik yang vital, di mana kekuatan pertahanan yang terkelola dengan baik adalah kunci untuk mencapai tujuan politik yang lebih besar.
Program modernisasi militer yang ambisius, seperti Perisai Trisula Nusantara dengan akuisisi jet tempur Rafale dan kapal selam Scorpene, adalah upaya nyata untuk memastikan Indonesia memiliki kapabilitas pertahanan yang mumpuni di tengah dinamika geopolitik yang kompleks.
Ini adalah investasi jangka panjang untuk memastikan perdamaian yang bermartabat, bukan hasil dari kelemahan.
Meskipun menganut realisme yang kuat, Presiden Prabowo juga menekankan pentingnya diplomasi yang “bebas dan aktif” serta kebijakan “seribu teman terlalu sedikit, satu musuh terlalu banyak”.
Dalam konteks hubungan internasional, kemerdekaan berarti Indonesia harus mampu menjalin hubungan baik dengan semua negara tanpa terjerat dalam blok kekuatan tertentu.
Pendekatan pragmatis ini, yang menggemakan realisme Hans J Morgenthau, bertujuan untuk memaksimalkan otonomi strategis Indonesia di panggung internasional.
Ini adalah manifestasi dari “diplomasi eksistensial” yang bertujuan untuk menegaskan kehadiran dan pengaruh Indonesia di dunia, memastikan suara bangsa ini didengar dan dihormati dalam setiap forum global.
Dalam dunia yang semakin multipolar, kemampuan untuk menyeimbangkan hubungan dengan berbagai kekuatan besar adalah kunci untuk menjaga kedaulatan dan memajukan kepentingan nasional.
Presiden Prabowo secara tulus mengakui bahwa kemerdekaan Indonesia tidak didapat secara cuma-cuma, melainkan melalui pengorbanan besar dari seluruh rakyat, terutama mereka yang paling rentan dan pekerja keras.
Oleh karena itu, makna kemerdekaan juga mencakup tanggung jawab moral dan politik untuk memastikan kesejahteraan rakyat dan mengatasi tantangan internal seperti korupsi dan ketidakadilan ekonomi.
Visi “Indonesia Emas 2045” adalah puncak dari perjuangan kemerdekaan ini, di mana Indonesia tidak hanya menjadi negara maju secara ekonomi, tetapi juga adil secara sosial dan dihormati secara global.
Ini adalah janji untuk melunasi “utang sejarah” kepada para pejuang dan rakyat yang telah berkorban, dengan membangun sebuah bangsa yang makmur dan berkeadilan bagi semua.
Dalam konteks 80 Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia, pandangannya tentang kemerdekaan adalah seruan untuk terus berjuang membangun kekuatan nasional yang komprehensif—militer, ekonomi, dan diplomatik—agar Indonesia dapat berdiri tegak sebagai bangsa yang berdaulat penuh dan berpengaruh di dunia, mewujudkan cita-cita para pendiri bangsa.
Ini adalah panggilan untuk kerja keras, persatuan, dan keberanian dalam menghadapi tantangan masa depan, demi terwujudnya Indonesia yang benar-benar merdeka dan berdaulat di abad ke-21.
*) Rioberto Sidauruk adalah Dosen STIH Gunung Jati Tangerang, aktif menulis isu kemandirian nasional, bertugas sebagai Tenaga Ahli DPR RI.
(Oleh Rioberto Sidauruk *)
Editor : Sapto Heru Purnomojoyo