Manokwari, TP – Di balik hiruk-pikuk Pasar Wosi, Kabupaten Manokwari, ada seorang lelaki yang setia menemani ritme kehidupannya, selama 37 tahun terakhir. Dia adalah Mika Kereway (57 tahun), seorang tukang jahit dan sol sepatu.
Setiap hari, sejak pagi sampai sore, Mika Kereway yang terlihat sederhana, bisa ditemui di los yang tidak lebih dari tiga meter persegi. Dengan peralatan seperti jarum, benang, palu, lem, dan sol karet berbagai ukuran, tangannya dengan terampil mengembalikan kondisi sepatu yang rusak.
“Saya sudah melakoni pekerjaan ini selama 37 tahun atau saat awal Pasar Wosi dibuka. Waktu itu harga sol sepatu masih sangat murah,” kenang Mika Kereway kepada Tabura Pos di Pasar Wosi, Manokwari, Kamis, 21 Agustus 2025.
Dikatakan Mika Kereway, yang membuatnya bertahan hampir empat dekade, bukan hanya sekedar persoalan ekonomi, tetapi hubungan emosional dengan pelanggan yang setia datang meski sudah banyak tempat servis sepatu.
“Jadi selain menjahit sepatu dan sandal, saya melayani pembuatan sisir, mata tombak ikan, kacamata molo dan sebagainya. Memang tidak seramai dulu, tapi masih ada pelanggan yang sering datang ke sini,” ungkapnya.
Dari pekerjaan ini, Mika Kereway ternyata mampu menghidupi keluarga dan berhasil menyekolahkan kelima anaknya. Bahkan, anak sulungnya bisa menempuh pendidikan tinggi di salah satu perguruan tinggi di Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel).
Namun, ia menyimpan suatu kekhawatiran. Sebab di usianya yang semakin bertambah tua, dirinya merasa khawatir bisa ikut mempengaruhi pekerjaannya, sedangkan masih ada keluarga dan anak-anak yang membutuhkan biaya dan pendidikan.
Selain itu, ungkapnya, gempuran toko sepatu baru atau tempat menjahit sepatu yang semakin banyak, bahkan lebih modern, tidak bisa dipungkiri dapat mengurangi pelanggannya. Apalagi anak muda sekarang lebih memilih membeli yang baru daripada memperbaikinya.
“Kalau zaman dulu saya masih bisa dapat sampai Rp. 500.000 per hari, tapi sekarang kondisi ekonomi semakin sulit dan pelanggan mulai sepi. Sekarang penghasilan sudah tidak banyak, tapi seberapa pun hasilnya, harus tetap disyukuri,” tandas Mika Kereway dengan semangat.
Menurutnya, pekerjaan sebagai tukang menjahit sepatu membutuhkan kesabaran dan ketelatenan. Diakuinya, sejak zaman sepatu kulit model jadul sampai model Sneakers sekarang, semua pernah diperbaikinya.
“Untuk saya pekerjaan ini adalah soal martabat dan kemandirian. Saya bisa menghidupi keluarga dan menyekolahkan lima anak saya. Anak-anak saya sekolah, saya tidak minta-minta apalagi berharap bantuan pemerintah. Saya punya skill, saya kerja yang jujur,” ucapnya.
Mika Kereway berharap anak-anak muda di luar sana selalu mengasah kemampuan dan mengembangkannya menjadi bernilai ekonomi.
“Anak muda sekarang mana ada yang mau bekerja seperti ini. Mereka mau yang instan, yang hasilnya langsung dilihat, sementara kerja seperti ini membutuhkan kesabaran dan ketelatenan,” ujar Mika Kereway. [AND-R1]


















