Manokwari, TP – Bupati Manokwari, Hermus Indou secara terang mengakui tidak mampu mengatur peredaran minuman keras (miras), saat menerima pengunjuka rasa, di halaman Kantor Bupati Manokwari, beberapa waktu lalu.
Oleh karena itu, pemerintah daerah membuat rancangan peraturan daerah (Ranperda) tentang pengendalian dan pengawasan minuman beralkohol (minol).
Ketua STIH Manokwari Dr. Filep Wamafma yang dimintai pandangannya, mengaku setuju dengan sikap bupati yang secara terbuka mengatakan tidak mampu mengendalikan peredaran miras di Manokwari.
“Saya setuju dengan sikap bupati. Tapi dengan catatan,” ujar Filep kepada para wartawan di Kampus STIH Wosi, Jumat (29/8/2025).
Menurutnya, jika bupati mengatakan akan ada perda pengendalian dan pengawasan, maka beliau ingin perda untuk menjawab persoalan miras di Manokwari. Berarti, ke depan miras/minol boleh diperdagangakan di Manokwari.
Akan tetapi, tegas Filep, teknisnya harus diatur bagaimana cara pengendalian dan pengawasan, sehingga tidak menimbulkan ketidakpastian.
“Apabila pemda ingin mengatur, maka pengaturannya harus real. Kalau miras didagangkan di Manokwari bagaimana minumnya, tempat jualnya, jumlah yang boleh diminum setiap orang, tempat minumnya, berapa banyak titik jualnya, sehingga tidak menimbulkan dampak sosial, gangguan umum,” tegasnya.
Filep menyarankan pemda harus memberikan referensi hukum yang akurat kepada publik bahwasannya perda adalah peraturan yang paling rendah dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
Diungkapkannya, dari aspek hukum perda tidak mampu mengendalikan miras, karena ada undang-undang yang lebih kuat mengizinkan miras diperdagangkan dengan syarat-syarat harus dipenuhi.
Di samping itu, perda memiliki kelemahan dari sisi sanksi. Sanksi perda sebatas tindak pidana ringan (tipiring) dan itu menjadi ruang bagi para mafia miras untuk bermain dikelemahan peraturan. Perda dibuat seapapun, sanksinya tidak boleh lebih dari undang-undang.
Kalau perda melarang sedangkan undang-undang mengizinkan, maka akan terjadi konflik perundang-undangan. Jika terjadi tentu yang digunakan adalah undang-undang.
“Kalau saya nilai, pemerintah kabupaten harus memberikan referensi yang akurat kepada publik bahwa perda ini adalah peraturan yang paling rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi,” jelasnya.
Selain itu, Filep mengatakan, perda tidak bisa berbicara tentang keinginan siapapun, tapi harus mampu menjawab persoalan. Kalau ada masyarakat yang menolak perda, maka harus ada solusi pada perda tersebut.
Ia mengaku mendukung adanya aksi demo, akan tetapi bukan berarti mendukung aksi-aksi yang dilakukan, melainkan mendukung untuk menjadi referensi bagi pembuat perda.
Ketua Komisi III DPD RI ini menekankan, perda perlu dibicarakan bersama-sama. Kalau tidak, maka ada pihak-pihak yang bermain. Karena, sudah menjadi rahasia umum ada pihak yang menghendaki perda pengendalian dan pengawasan miras tidak berlaku, terutama bagi mafia miras supaya tetap mendapatkan peluang pasar yang ilegal.
“Orang bisnis kan seperti begitu mau ilegal yang penting dilindungi, kalau sudah dilindungi aman dan tidak ada orang yang mau lawan. Ini yang harus kita antisipasi supaya perda ini lahir menjawab persoalan,” terangnya.
Bagi Filep, pembuatan perda harus dibuka ruang kepada semua orang, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, mahasiswa diberikan ruang berpendapat untuk memboboti perda. Karena perda dibuat untuk menjawab masalah.
Senator juga mengingatkan tentang penegakkan implementasi perda harus konsisten. Jangan sampai perda dibuat hanya menghabiskan waktu, tenaga, biaya, dan disahkan tapi tidak bermanfaat.
Pemda, kata Filep, bisa menggunakan perangkatnya yang ada seperti dinas perizinan dan lainnya, terutama Pol-PP sebagai ujung tombak penengakkan perda.
“SDM Pol PP harus ditingkatkan. Dilatih, dibina, menjadi penyidik, sehingga begitu ada masalah langsung diproses administrasi. Kalau ada yang bernilai pidana itu ranahnya kepolisian,” jelasnya.
Ditambahkan Filep, bertolak dari fakta perda nomor 5 tahun 2006 tentang miras, kelemahan ada pada implemetasi, bukan peraturannya. Membuat miras beredar bebas di Manokwari.
Menurutnya, di pasar gelap jual beli miras, semua orang punya kepentingan akan menggunakan caranya untuk mengintervensi segala hal agar perda itu tidak boleh ada supaya pasar gelap miras tetap jalan.
“Di pelabuhan ada Polair, Migrasi, Bea Cukai, ada KP3 Laut. Tentang bagaimana kontainer turun ambil miras semua tahu tapi semua diam. Polisi tahu distribusi miras di mana-mana, semua tahu tidak mungkin tidak ada yang tahu. Tapi kenapa semua diam dan tidak ada proses? berarti secara tersirat miras di Manowkari ini mafia miras bebas berkuasa,” terangnya.
Ketua STIH Manokwari ini mengingatkan, perda pengendalian dan pengawasan minol harus dipikirkan baik dan dibuka ke publik, karena tentu ada suara-suara penolakan mengingat Manowkari sebagai kota injil.
“Kota Injil kita jual miras nilai-nilainya hilang, tapi kalau tidak diatur maka pasar miras bebas semakin merajalela kiri kanan, siapa yang tidak tahu itu,” tukasnya.
Sekarang, kata Filep, tinggal konsep bupati dan pemerintah untuk mengendalikan dan mengawasi peredaran miras di Manokwari seperti apa kedepannya.
“Publik juga ingin melihat konsepnya bagaimana. Perda ini harus dibawa ke ruang publik, sehingga pembobotan itu makin kuat dan tidak menciptakan problem,” tukas Filep. [SDR-R4]



















