Manokwari, TP – Akademisi menekankan pentingnya harmonisasi antara hukum negara dan hukum adat dalam penegakan hukum di Indonesia.
Rektor Universitas Caritas, Prof. Dr. Roberth K.R. Hammar, S.H,.M.H,.MM.CLA mengatakan bahwa penegakan hukum selama ini erat kaitannya dengan hukum negara, padahal untuk harmonisasi dengan masyarakat adat juga perlu pengakuan terhadap hukum adat.
“Untuk menuju harmonisasi antara hukum negara dengan masyarakat adat, itu perlu juga melalui hukum adat,” kata Prof. Hammar kepada waratwan di Swiss-Belhotel Manokwari, Kamis (02/10).
Menurutnya bahkan didalam Undang-undang Agraria Nomor 5 Tahun 1960 Pasal 5, yang menyebutkan bahwa hukum agraria yang berlaku adalah hukum adat.
Berarti hukum adat itu berkaitan dengan sumber daya alam. Segala kebijakan negara yang diatur dalam regulasi harus melihat pengelolaan sumber daya alam. Itu harus menoleh hukum adat apa yang terjadi di sana.
Negara harus responsif, melalui alat-alat kelengkapannya mulai dari legislatif, eksekutif, hingga lembaga penegak hukum seperti kepolisian harus melihat praktik-praktik baik dalam masyarakat hukum adat.
Sehingga untuk penyelesaian perkara itu tidak semua hukum positif, terutama pidana ringan kenapa tidak diselesaikan dalam hukum adat mungkin mirip Restoratif Justice (RJ).
“Ini juga sebenarnya membantu negara agar tidak mengeluarkan uang banyak untuk membiayai orang di lembaga. Ini merupakan awal yang baik untuk pemerapan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 KUHP nasional yang baru, kraena di Undang-undang ini mengakui hukum adat,” jelasnya.
“Perlu sinergitas yang sangat kuat antara negara, masyarakat hukum adat, dan sebagainya dalam rangka membangun bangsa yang lebih solid dan kuat,” tambahnya.
Disinggung soal peradilan adat di Papua Barat, Prof. Hammar mengakui ini sudah didorong yang saat itu dirinya masih menjabat sebagai Kepala Biro Hukum sekitar 3-4 tahun lalu.
Namun Prof. Hammar mengakui memang belum berjalan karena ada kekhawatiran jika diterapkan mengingat di Papua Barat terdapat banyak suku.
“Tapi bagi saya itu bukan kebingungan. Kita tidak akan membentuk peradilan adat untuk masing-masing suku, tetapi kita akan membuat pedoman kerangka kelembagaannya saja. Isinya, hukum adat dari masing-masing daerah itu sendiri,” ungkapnya.
Prof. Hammar menambahkan bahwa memang yang perlu dipertimbangkan adalah penyelesaian ketika terjadi sengketa atau pelanggaran hukum antara orang adat dan bukan adat.
“Kira-kira seperti apa, itu yang perlu didiskusikan harus seperti apa untuk mencari celah yang tepat yang penting tidak bertentangan pada Norma norma yang ada pada Pancasila,” pungkasnya. [AND-R4]