Manokwari, TABURAPOS.CO – LNG Tangguh mempunyai tanggung jawab penuh terhadap keberadaan masyarakat adat di lokasi LNG Tangguh beroperasi.
Hal ini ditegaskan Anggota DPD-RI Perwakilan Papua Barat, Filep Wamafma menanggapi adanya pandangan yang menyatakan bahwa, Corporate Social Responsibility (CSR) bukanlah menjadi tanggung jawab utama dari perusahaan dalam hal ini LNG Tangguh.
Wamafma menjelaskan, kewajiban perusahaan melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) secara jelas termaktub dalam Pasal 75 Ayat 1 Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 bahwa, perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan TJSL.
“Jadi TJSL itu wajib, dan jelas menjadi bagian dari tanggung jawab utama perusahaan. Sehingga perusahaan tidak hanya ambil kekayaan alam, lalu mengembalikan dalam bentuk pajak dan setoran ke pemerintah, tapi juga kepada masyarakat. Jadi jangan dicampuradukkan,” jelas Wamafma dalam pers release yang diterima Tabura Pos, Selasa (22/3/2023).
Ditegaskan Wamafma, konsep CSR di luar negeri boleh berbeda dengan di Indonesia. Akan tetapi, seluruh perusahaan yang beroperasi di Indonesia wajib mematuhi peraturan yang berlaku terutama di dalam negeri.
“Kalau di luar negeri, sifatnya bisa jadi voluntary (suka rela). Tapi di Indonesia wajib sifatnya,” ujar Wamafma seraya menambahkan, apa konstribusi LNG Tangguh terhadap masyarakat merupakan pertanyaan yang lahir dari pemikiran tentang CSR.
“LNG Tangguh kan sudah lama berdiri. Sejauh mana perannya melalui CSR ini berjalan? Jangan dianggap bukan kewajiban, ini perintah UU. LNG Tangguh memang tidak bertukar peran dengan pemerintah, tapi LNG Tangguh berdasarkan UU memiliki kewajiban untuk peduli terhadap kemajuan dan kesejahteraan masyarakat lokal di mana perusahaan tersebut berdomisili dan menjalankan aktivitas operasionalnya,” ungkapnya.
Wamafma menambahkan, dibeberapa aturan lain juga mengatur tentang kewajiban untuk CSR, misalnya Pasal 47, 52, 83 UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Pasal 30, 32, 48, 50 UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan hingga Pasal 40 UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
“Bahkan meskipun pasal tentang CSR ini pernah digugat di MK, namun MK menolak gugatan tersebut. Dalam Putusan Nomor 53/PUU-VI/2008, MK menyatakan pertama, menjadikan CSR sebagai suatu kewajiban hukum melalui rumusan Pasal 74 yang merupakan kebijakan hukum dari pembentuk UU untuk mengatur dan menerapkan CSR dengan suatu sanksi,” tandas Wamafma. [***FSM-R3]