Manokwari, TABURAPOS.CO – Hukuman yang diberikan terhadap 4 pelaku anak dalam kasus dugaan persetubuhan siswi SMA berinisial L di Manokwari, lebih ringan dibandingkan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) Kejari Manokwari selama 3 tahun pidana penjara.
Vonis itu sudah dibacakan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Manokwari yang diketuai, Berlinda U. Mayor, SH, LLM, dalam persidangan yang digelar tertutup untuk umum, Jumat (14/4) dini hari.
Humas PN Manokwari, Markham Faried, SH, MH merincikan, dari keempat pelaku anak, yaitu: MMRR alias B dijatuhi pidana selama 2 tahun dan 6 bulan (2,5 tahun) penjara dan pelatihan kerja selama 3 bulan.
Selanjutnya, pelaku anak berinisial JN alias C, dijatuhi pidana penjara selama 2 tahun dan 6 bulan (2,5 tahun) dan pelatihan kerja selama 3 bulan serta pelaku anak berinisial MYP alias Y, dijatuhi pidana pembinaan dalam lembaga selama 1 tahun dan pelatihan kerja selama 3 bulan.
Kemudian, sambung Humas PN, untuk pelaku anak berinisial GW alias I, dijatuhi hukuman pidana penjara selama 2 tahun dan 6 bulan (2,5 tahun) serta pelatihan kerja selama 3 bulan.
“Jadi dari empat pelaku anak, tiga diantaranya dijatuhi pidana 2,5 tahun penjara dan pelatihan kerja selama 3 bulan. Sedangkan satu pelaku anak, dijatuhi pidana berupa pembinaan dalam lembaga selama 1 tahun dan pelatihan kerja selama 3 bulan,” rinci Humas PN kepada Tabura Pos di PN Manokwari, Jumat (14/4) sore.
Markham Faried menjelaskan, pelatihan kerja ini merupakan pengganti dari denda, dimana dalam perkara anak itu bersifat kumulatif, selain penjara, ada denda, sehingga penjatuhan denda tidak bisa dijatuhkan terhadap pelaku anak, maka diganti dengan pelatihan kerja.
Dijelaskannya, dalam UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), Pasal 69 sudah disebutkan, ada pidana pokok dan pidana tambahan, dimana ada kategori penjatuhan pidana, termasuk pidana paling ringan berupa peringatan sampai terberatnya adalah pidana penjara.
Sedangkan untuk pelaksanaan dan tata cara penjatuhan pidana, ungkap Humas PN, sudah diatur dalam PP No. 58 Tahun 2022 tentang tata cara penjatuhan pidananya.
“Jadi untuk pelaku anak itu tidak hanya pidana penjara, tetapi juga ada pidana lain, seperti pembinaan dalam lembaga, dan adanya pelatihan kerja,” ungkap dia.
Sementara untuk mekanisme pembinaan dalam lembaga, pelaku anak tidak dilakukan penjatuhan, seperti pemidanaan penjara. Artinya, anak tersebut dilakukan pembinaan dalam lembaga.
“Nah lembaga itu ada dua dalam PP tersebut, salah satunya lembaga dari pemerintah atau swasta. Kalau lembaga dari pemerintah, tentu harus dilihat apa saja yang disediakan pemerintah, lembaga apa saja yang bisa menerima, dan pemidanaan yang dijatuhkan pembinaan dalam lembaga. Kalau yang swasta itu, harus bersertifikat terakreditasi. Dalam hal ini, anak ini dijatuhi pidana pembinaan di lembaga Yayasan Alisan Center, Wosi Dalam yang sudah bekerja sama melakukan MoU dengan Balai Pemasyarakatan (Bapas) Kelas I Manokwari, sehingga terhadap pelatihan kerja dan pembinaan dalam lembaga, bisa dijalankan di Yayasan Alisan Center,” papar Markham Faried.
Ditanya apakah pelaku anak yang dijatuhi pidana pembinaan dalam lembaga, tidak harus menjalani hukuman pidana? Ia menegaskan, yang bersangkutan tidak ditahan dan harus segera dikeluarkan dari LPKA (Lembaga Pemasyarakatan Khusus Anak).
“Yang bersangkutan harus menjalani pembinaan dalam lembaga selama 1 tahun. Terkait kegiatan dan aktivitasnya, tentu nanti bisa ditanyakan lebih lanjut ke Bapas yang bekerja sama dengan Yayasan Alisan Center,” tukasnya.
Apabila nanti mau melihat bagaimana pelaksanaan eksekusi putusan, pembinaan dalam lembaga, nanti bisa dilihat di Yayasan Alisan Center.
“Termasuk pelaku-pelaku anak yang lain yang dijatuhi pidana penjara dan pelatihan kerja, itu dilakukan di Yayasan Alisan Center. Untuk waktu-waktunya bisa disesuaikan dengan Yayasan Alisan Center, pelaksanaan pelatihan kerjanya dalam bentuk apa, bisa dilihat di Yayasan Alisan Center,” saran Humas PN.
Dicecar tentang pelaksanaan pidana terhadap 3 pelaku anak lain, jelas Markham Faried, karena mereka dijatuhi pidana penjara, tentu akan menjalani masa pidana penjara di LPKA selama 2 tahun dan 6 bulan, ditambah pelatihan kerja.
“Untuk mekanisme dan pelaksanaannya, itu eksekusi putusannya oleh jaksa, jaksa melakukan pengawasan dalam perkara penyelesaian SPPA. Selain jaksa melaksanakan pengawasan dan eksekusi, ada Bapas yang melaksanakan pembinaan dan pendampingan terhadap anak, sehingga terhadap penjatuhan dan pelaksanaan pelatihan kerja, apakah setelah pidana penjara atau tidak, tentu nanti bisa ditanyakan ke Bapas,” jelas Humas PN.
Ditanya apakah ketiga pelaku anak yang dipidana penjara ini terbukti melakukan persetubuhan terhadap korban?
“Untuk ketiga pelaku anak itu terbukti ya, melakukan tindak pidana turut serta, atas nama MMRR alias B, JN alias C, dan GW alias I. Ketiganya terbukti melakukan turut serta dengan kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan. Artinya, terbukti sebagaimana dakwaan alternatif pertama penuntut umum,” ungkap Markham Faried.
Untuk pelaku anak berinisial MYP alias Y, tambah Humas PN, dinyatakan terbukti turut serta melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul sebagaimana didakwakan pada dakwaan alternatif kedua.
Oleh sebab itulah, jelas Markham Faried, ada perbedaan di antara ketiga pelaku anak dan 1 pelaku anak ini, sehingga penjatuhan hukumannya pun berbeda.
“Jadi majelis hakim dalam putusannya mempertimbangkan bahwa itu dijatuhkan pemidanaan yang berbeda sesuai dengan berat, ringannya atau bobot beratnya pidana yang dilakukan pelaku anak tersebut,” ujar Humas PN.
Dirinya tidak membantah bahwa tuntutan yang dibacakan JPU terhadap keempat pelaku anak selama 3 tahun pidana penjara, untuk semua pelaku anak. “Jadi tidak ada pembedaan, dalam tuntutan,” jelasnya.
Disinggung apakah JPU maupun penasehat hukum para pelaku anak ini mengajukan banding atas putusan majelis hakim, Humas PN mengakui, memang di persidangan, JPU menyatakan pikir-pikir, beberapa penasehat hukum menerima, ada yang pikir-pikir, dan ada juga yang menyatakan akan mengajukan upaya hukum banding.
“Tapi sampai hari ini, Jumat, kalau dilihat di dalam kepaniteraan pidana, belum ada penasehat hukum yang mengajukan permohonan banding. Nanti kita lihat dalam jangka waktu 7 hari, apakah ada yang mengajukan upaya hukum banding atau tidak,” katanya.
Soal pelaksanaan sidang terhadap keempat pelaku anak yang digelar hingga dini hari, Markham Faried menjelaskan, itu dikarenakan jangka waktu persidangan yang singkat, mepet, kepadatan jadwal sidang, keterbatasan ruang sidang maupun keterbatasan hakim.
“Beberapa hakim sudah ada yang cuti. Ini juga kan ada beberapa hakim yang belum bersertifikasi anak, maka hakim yang terbatas itu mengakibatkan jangka waktu persidangan mepet sampai dini hari,” pungkas Markham Faried. [HEN-R1]